El POV
Aku termenung duduk di teras rumah. Suasana malam memang tampak sepi. Angin sepoi menerpa kulitku. Sekarang terasa otakku sangat buntu sekali. Aku nggak tau harus berbuat apa agar bisa menggagalkan perjodohan konyol ini.
Aku harus berpikir keras malam ini, karena bagaimanapun aku tidak ingin menikah dengan Arum. Dia tidak secantik Vivian. Ku akui dia memang manis, tapi itu tidak cukup untuk menjadi istriku.
Bagaimana jika aku menikah dengan dia? Aku tidak mau menghabiskan seumur hidup ku bersama orang yang tidak aku cintai. Ingat seumur hidup itu lama.
Aku terkejut dari lamunanku karena pundakku di tepuk oleh ibu. Aku membalikkan badanku menghadap ibu, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah yang tidak jauh dari ibu.
"Apa yang kamu pikirkan di sini sampai malam begini?" tanya ibu dengan lembut.
Bagaimana aku bicara dengan ibu? Apakah ibu akan memberikan aku solusi. Atau malah sebaliknya. Ah aku jadi di lema.
"Kamu masih memikirkan perjodohan kakek kamu?" tanya ibu sepertinya bisa membaca pikiranku.
Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan ucapan ibu. Aku berharap kali ini ibu berada di tim aku.
"Bu, aku nggak bisa menikah dengan Arum, aku nggak mencintai dia Bu, apalagi dia udah seperti adik sama aku Bu."
"Seiring waktu cinta itu akan tumbuh kalau kamu tinggal bersama, percayalah sama ibu."
Ah dari jawaban ibu sudah tau bahwa ibu ternyata di tim yang sama dengan kakek. Jadi mereka memang sudah matang merencanakan pernikahan ini.
"Buk aku ini sudah punya kekasih, aku dan dia sudah lama bersama."
"Bawa dia ke sini dalam Minggu ini, kenalkan kepada kami, mungkin itu akan jadi pertimbangan kami."
"Tapi ini mendadak sekali Bu."
"Tidak ada yang mendadak, jika dia benar mencintai kamu maka dia akan melakukan hal yang sama dengan kamu agar kalian tetap bersama." jawab ibu dengan anggunnya.
"Arum juga wanita yang baik, keluarga kita sudah lama mengenal dia." ucap ibu lagi.
Aku tau bahwa Arum adalah wanita yang baik. Masalahnya ini untuk teman seumur hidup. Ah aku semakin pusing dengan semua ini.
Ibu akhirnya masuk kembali ke dalam rumah. Sedangkan aku juga masih duduk di teras sambil mencoba menghubungi Vivian.
Ah benar - benar sial sekali. Sejak tadi dia benar-benar tidak bisa di hubungi. Entah apa yang dia lakukan sehingga sulit sekali menerima teleponku.
Sebenarnya bisa saja aku kirimkan pesan, namun membicarakan pernikahan aku rasa tidak etis lewat sebuah pesan. Aku takut dia salah paham terhadapku.
Sudah dua hari aku berada di kampung. Kali ini aku memutuskan untuk mengambil cuti untuk memikirkan semuanya. Aku ingin berpikir dengan tenang dan bicara dengan baik dengan Arum.
Aku melihat dia datang bersama ibu entah dari mana. Dia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menyapa aku. Ku akui senyumannya manis. Tapi dia buka tipe wanita yang aku mau.
"Rum, duduk dulu, uwa kedalam dulu sebentar buatkan minum." kata ibuku.
"Nggak usah repot-repot wa."ucapnya dengan sopan dan manis.
"Repot apanya? udah duduk aja dulu."
Aku tau ini pasti ide - idenya ibu membawa gadis ini ke rumah. Apalagi dengan sengaja ibu meninggalkan kamu berdua.
"Aa apa kabar?" tanya gadis itu dengan nada lembut.
"Baik, kamu gimana? Udah tamat SMA ya?" tanyaku sambil memperhatikan dia.
"Alhamdulillah udah aa."
"Udah kerja?"
"Alhamdulillah udah aa, kerja di salon a, ya walaupun gajinya nggak Segede Aa tapi Alhamdulillah." ucapnya.
"Kamu nggak berniat kuliah di Jakarta?"
"Mau atuh Aa kalau ada uang, tapi kan Aa tau sendiri gimana kondisi ekonomi keluarga saya, begini aja saya udah bersyukur sekali aa." ucapnya lagi.
Wanita seperti ini memang sangat banyak bersyukur. Beruntungnya lelaki mendapatkan dia karena dia tidak akan menuntut apa - apa. Tapi kenapa aku tidak mau dengannya. Jawabannya karena dia memang bukan tipe aku.
Aku menelisik gayanya saat ini yang tidak menarik sama sekali. Dari busananya nampak sekali ia berasal dari kampung. Tidak seperti Vivian yang modern. Dia selalu menggunakan baju - baju yang modis dan kekinian.
"Kamu tau kalau kita ini di jodohkan?" tiba-tiba mulutku bertanya seperti itu.
"Tau aa, abah sendiri yang bicara sama kakek Aa di depan saya." jawabnya sambil menunduk.
"Jika aa keberatan menikah dengan saya tidak apa-apa Aa, saya juga tau diri bahwa gadis seperti saya ini mah mana pantas bersanding dengan aa." ucapannya yang membuat aku kaget.
Kenapa dia berkata seperti itu? Bukannya semua wanita yang ada di kampung ini sangat ingin di pinang oleh aku. Eh dia malah menyuruh aku menolaknya. Jika aku bisa sudah aku lakukan sejak malam itu.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" selidikku.
"Semua orang juga tau aa dan keluarga, selain kaya aa juga berpendidikan, pasti pikirannya modern, apalagi sudah tinggal bertahun-tahun di kota." ucapnya lagi.
"Kalau kamu merasa minder seperti itu, kenapa bukan kamu saja yang menolak?" pancing aku.
"Jika saya melakukan seperti itu, maka saya akan mencoreng nama keluarga Aa, bagaimanapun keluarga Aa adalah orang terpandang, mana mungkin aku melakukan hal seperti ini, itu namanya aku tidak tau diri a."
Aku melihat ketulusan dari jawabannya. Jika begini maka aku sendiri tidak akan bisa menolaknya secara lansung. Wanita ini terlalu baik untuk di sakiti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments