Part 4 ~ Pingsan

Bima dibawa ke ruangan interogasi, yang memang disiapkan hotel kalau terjadi tindakan kriminal atau kegiatan tidak terduga sebelum ada pihak kepolisian datang. Dia menduga pria bernama Alan lebih bijak dari Haris yang sudah memberikan pukulan, ternyata salah. Di depan Pak Erik dan salah satu rekan kerjanya, Bima kembali mendapatkan pukulan di wajah dan di perut.

Bahkan kali ini lebih menyakitkan dari pukulan Haris. Tubuh Bima sudah tersungkur dan dibantu berdiri, saat ada lagi seorang pria yang datang. Pria paruh baya yang dipanggil Papi oleh Alan. Bima sempat tertegun, karena Alan dan pria itu memang sangat mirip.

“Kenapa kamu bisa bersama putriku?” tanya pria itu.

Bima bingung menjelaskan apalagi, karena penjelasannya tidak dipercaya oleh Alan dan sekarang biang dari Alan dan Olivia kembali menanyakan hal yang sama. Akhirnya Bima membuka suara dan kembali menjelaskan.

“Kamu berani main api denganku, Tristan Emilio. Siapa kamu sampai berani menghancurkan hidup putriku dan membuat malu keluargaku. Acara pertunangan Olivia batal dan besok kami akan jadi bulan-bulanan media.”

“Om, saya dijebak. Coba kalian pikir lagi, saya nggak ada kenal kalian dan situasi ini aneh.”

“Kenapa kamu bisa berada di kamar itu dengan Oliv?” Kali ini Alan yang bertanya.

“Karena saya bertugas membersihkan kamar itu. Memang aneh, tiba-tiba saya tegang sempurna dan masuk ke kamar ada … gadis itu lalu ada bisikan setan dan terjadilah,” ungkapku.

“Bang sat!”

Alan kembali memberikan pukulannya. Wajah Bima sudah babak belur, dengan ujung bibir sobek dan berdarah. Pelipis pria itu juga lebam bahkan dari hidungnya keluar darah karena pukulan sebelumnya.

“Maaf pak, cukup! Kami paham yang keluarga Pak Tristan rasakan, tapi kekerasan tidak akan memecahkan masalah dan Bima bisa celaka malah memberatkan pihak keluarga Pak Tristan.”

Bima hanya mampu mendengar suara Pak Erik, dia sendiri sudah lunglai di atas lantai merasakan sakit di wajah dan area lain di tubuhnya yang sudah mendapatkan pukulan dari Alan.

“Hubungi kepolisian!” titah Tristan.

Bima pasrah mendengar keputusan keluarga Olivia, sudah pasti dia akan dipenjara.

“Maafin Bima, Mak. Si Otong merasakan nikmat tapi membawa sengsara,” ucap Bima dalam hati.

Sejam kemudian, pihak kepolisian datang dan Bima pun dibawa. Melewati pintu yang digunakan karyawan, agar tidak mengganggu pelayanan dan kenyaman tamu hotel lainnya.

Tidak pernah terbayangkan oleh Bima berurusan dengan pihak kepolisian karena tindak kriminal. Bahkan sekedar mencuri uang logam ibunya pun, dia tidak berani. Namun, saat ini Bima duduk di mobil yang sepanjang jalan berbunyi uwiw uwiw. Bahkan tangannya diborgol dan diapit oleh dua orang polisi berbadan besar.

“Kamu berurusan dengan orang yang salah,” ujar polisi di sebelah kiri Bima. Bima menoleh lalu kembali menunduk menatap tangannya yang terborgol.

Saat tiba di kantor polisi, Bima duduk di kursi salah satu meja. Borgolnya dilepas dan diburu banyak pertanyaan.

“Pindahin nih bocah, nanti yang terima laporan Pak Tristan si Bayu aja,” teriak petugas dihadapan Bima.

“Betah-betah lo di situ,” teriak petugas yang membawa Bima ke salah satu kurungan. Sudah ada dua orang di sana, yang satu berbaring dan yang satu duduk bersandar pada dinding.

Bima mengusap kasar wajahnya. Membayangkan bagaimana panik dan sedih wajah Ibunya kalau tahu dia berada di jeruji besi.  Pria itu menghela nafas mengingat wanita yang sudah dia lukai, mungkin saat ini sedang menangis dan kebingungan meratapi hidupnya.

Jebakan, kami benar dijebak. Aku diberi obat, mungkin saja wanita itu dibuat tidur hingga tidak tahu apa yang sudah terjadi, batin Bima.

Pria itu sudah menceritakan semua yang dia ingat, berharap para petugas membaca adanya kemungkinan kalau dia tidak bersalah.

***

“Bangun!”

Teriakan petugas dan pukulan jeruji besi membangunkan Bima, termasuk penghuni sel lainnya.

“Makan tuh!”

Kantong plastik berisi tiga bungkus nasi dengan lauk seadanya. Jangankan untuk makan, rahang Bima terasa sakit digerakan. Badannya sakit akibat dipukul juga perih di beberapa area luka. Semoga saja tidak infeksi, karena tidak diobati.

“Pak, saya boleh minta obat.” Bima memohon karena merasa tubuhnya semakin tidak nyaman.

“Halah, manja banget lo. Diem disitu, bentar lagi Pak Tristan dan pengacaranya datang. Lo berdoa saja, semoga mereka cabut tuntutan.”

Ketika sore, Bima dikunjungi Yudis -- kakaknya.

“Lo kenapa Bim? Urusan apa sampe lo babak belur dan dipenjara gini,” tutur Yudis. “Ibu belum tahu, tapi dia nanyain lo dari kemarin belum pulang. Apalagi ponsel lo nggak aktif.”

“Abang tahu dari mana, gue di sini?”

“Udin, dia telpon abang tadi siang. Dia bilang lo dibawa polisi, kena kasus sama tamu hotel.” Udin adalah tetangga beda gang dengan Bima, tapi bekerja di hotel yang sama. 

Bima meringis merasakan sakit di wajahnya saat dia ingin bicara.

“Bang, pokoknya lo harus percaya gue. Ini jebakan, gue nggak sepenuhnya salah. Memang perempuan itu … gue salah sama dia, tapi kami dijebak. Gue pesimis, bakal lolos dari hukum. Maafin gue Bang, kalau Ibu sampai tahu lo jelasin aja apa yang gue bilang tadi.”

Kunjungan Yudis tidak lama, bahkan Bima belum menjelaskan rinci kesalahannya. Kedatangan Tristan dan Alan bersama pengacara keluarga, menanyakan kembali pada Bima kronologis kejadian yang Bima dan Olivia alami.

“Saya merasa dijebak,” ujar Bima menutup penjelasannya.

“Untuk apa kamu dijebak dan kenapa harus mengorbankan adikku?” Pertanyaan Alan kembali mematahkan asumsi Bima.

“Anda bilang masuk ke kamar itu karena tugas, kami tidak menemukan troli kebersihan di koridor atau di depan kamar itu.”

“Saya bawa pak, saya geser agar merapat ke dinding. Khawatir menghalangi jalan. Bapak pengacara ‘kan, kenapa tidak periksa CCTV dan ahh Bella. Saya sempat mencicipi makanan dan air mineral dari wanita itu.”

“CCTV rusak,” ujar Alan.

Bima menyandarkan punggungnya, rencana penjebakan ini sungguh sempurna tapi siapa yang menjebaknya dan untuk apa. Dia bukan orang hebat dan merasa tidak punya musuh.

“Tunggu! Olivia, semalam harusnya pertunangan dia dengan pria yang ….”

“Haris. Olivia dan Haris seharusnya semalam bertunangan, tapi kamu mengacaukannya, bahkan menghancurkan masa depannya,” tutur Tristan. Pria itu akhirnya bicara, padahal sejak tadi dia hanya diam dengan posisi bersedekap mendengarkan penjelasan Bima.

“Mungkin saja jebakan ini untuk mengacaukan pertunangan Olivia. Aku hanya korban agar semuanya kacau.”

“Oliv yang jadi korban, bukan kamu. Dasar brengs3k,” maki Alan  lalu menarik kerah baju yang dikenakan BIma dan siap melayangkan kepalan tangannya.

“Alan!” teriak Tristan.

Bug.

Bima kembali mendapatkan pukulan dan tersungkur. Telinganya berdengung dan ujung bibirnya kembali berdarah, karena pukulan tepat di pipi.

“Hei bangun kamu!” pekik Alan.

“Alan, hentikan!” titah Tristan.

Pengacara keluarga Tristan mendekat dan berjongkok di depan Bima. “Sepertinya dia, pingsan.” 

 

 

Terpopuler

Comments

Ida Miswanti

Ida Miswanti

🤦Si Bima sempat-sempatnya Curhat 😅

2024-03-22

1

Sarita

Sarita

bima ,,nikmat sesaat derita selamanya .itu hanya hukuman dari manusia blm lagi hukuman dari tuhan

2024-02-07

0

Hearty 💕

Hearty 💕

Bisa ngerti sih Alan kalap spt itu

2023-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!