Sudah diputuskan, Ashila akan memanggil pria yang bersamanya saat ini dengan sebutan Lucky. Sang pria pun sama sekali tak menolak. Mungkin pria itu juga merasa senang dengan sebutan yang Ashila berikan.
Ashila mengajak Lucky untuk segera naik ke unitnya di lantai tiga. Konyolnya, bahkan sebelum mereka naik, Lucky sempat bertanya adakah lift di sana. Benar-benar tak masuk akal. Bagaimana rumah susun sesederhana ini bisa memiliki lift. Tentu saja, Lucky hanya disuguhi anak tangga yang jumlahnya mungkin tak terhitung karena saking tingginya.
“Di sini cuma ada tangga, Ky. Gak masalah, aku bisa bantu kamu naik. Aku akan tuntun dan papah kamu,” ujar Ashila.
Gadis itu pun sadar, Lucky pasti cukup kesulitan untuk naik tangga setinggi itu dengan keadaan kakinya yang tengah sakit. Untuk berjalan pun Lucky harus memakai kruk.
Namun, sebelum menurut menerima bantuan Ashila untuk naik tangga, lagi-lagi Lucky memikirkan hal konyol. Ia membayangkan, ketika gadis itu membantunya naik tangga, bisa saja Ashila justru membahayakannya, membuatnya terpeleset hingga terpelanting dan menggelinding ke dasar sampai entah bagaimana nasibnya nanti, entah itu karena Ashila yang dinilainya sebagai gadis ceroboh atau bisa jadi Ashila memang sengaja mencelakakan Lucky agar bisa langsung lepas tanggung jawab. Menyelami benaknya, Lucky merasa ngeri sendiri. Ya, itu bayangan yang picik sekaligus menggelikan, bukan? Mana mungkin gadis setulus Ashila tega mencelakainya?
“Kenapa? Kamu mikir apa lagi? Ayo naik! Biar aku bantu,” lanjut Ashila membuyarkan lamunan Lucky.
“Ah, gak. Aku ... aku lebih baik naik sendiri. Kamu gak perlu papah aku, tuntun aku, atau bantu aku. Aku bisa sendiri.” Ternyata Lucky masih saja meragukan Ashila.
“Eh kamu yakin?”
“Ya.”
“Baiklah, ayo!”
Meski tak membantu atau menyentuh Lucky, Ashila tetap memelankan langkahnya untuk naik, menunggu Lucky yang mesti naik tangga dengan mode slow. Sampai beberapa menit mereka menghabiskan waktu meniti tangga, mereka akhirnya sampai di unit tempat tinggal Ashila.
“Kamu baik-baik aja, kan? Aku tau kamu pasti lelah, apalagi naik tangga dengan keadaan kaki sakit begitu. Coba aja unit aku di lantai dasar. Maaf, ya.”
“Hm.” Jawaban amat singkat.
“Oke, ayo masuk!” Ashila membuka pintu huniannya. “Welcome, selamat datang di rumah aku. Jadi, kamu akan tinggal di sini sama aku untuk beberapa waktu ke depan. Semoga kamu bisa betah dan nyaman di sini, ya.”
Lucky mengikuti Ashila masuk. Pria itu langsung mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Seperti merasa baru melihat hal yang baru. Baginya, tempat tinggal ini sangat sederhana. Jauh sekali dengan bayangannya.
“Aku tau, rumah ini kecil dan gak mewah. Tapi, selama ini aku bisa nyaman tinggal di sini, kok. Jadi, kamu pasti juga akan nyaman. Em, kamu bisa pake barang apa pun yang ada di sini, tapi usahain bilang dulu ke aku, ya. Dan, uhm, ya... besok aku akan beliin barang-barang keperluan pribadi buat kamu, karena gak mungkin juga kamu pake punya aku, kan. Oke, kamu butuh apa pun langsung bilang aja.”
“Hm, lalu, aku harus tidur di mana? Aku gak mau tidur di sofa.”
Ya, Ashila baru terpikirkan hal itu. Hanya ada satu kamar tidur di rumahnya. Sudahlah, terpaksa ia mesti merelakan Lucky menempati kamarnya dan Ashila sendiri mungkin harus membiasakan diri tidur di sofa mulai sekarang.
“Em, oke, aku tunjukkin kamarnya sama kamu.”
Lucky mengikuti Ashila ke kamar tidurnya. Begitu masuk ke dalam, Lucky makin tak habis pikir. Kamar gadis ini terlihat amat sangat berantakan. Baju-baju berserakan di mana-mana. Kasurnya pun terlihat belum dirapikan. Banyak kertas-kertas berserakan juga memenuhi kamarnya. Ya, Ashila mungkin terlalu sibuk bekerja di luar sampai-sampai jarang memperhatikan kerapian kamarnya.
Gadis itu tersenyum malu.
“Ehehe, aku akan rapiin buat kamu, sebentar, ya.” Ashila mulai membenahi sprei kasurnya lebih dahulu.
Sembari itu, Lucky masih kepo-kepo dengan sekelilingnya. Ia menemukan hal cukup menarik di sana. Ada lukisan indah berikut alat-alat lukis yang masih berserakan di sana. Juga kertas-kertas yang menampakkan gambar-gambar sketsa kartun.
“Kamu suka ngegambar kartun?”
“Ah, iya bisa dibilang begitu. Sembari kerja jadi kurir, aku juga buat komik di platform online,” sahut Ashila sekenanya sambil masih merapikan kasurnya.
Lucky meraih beberapa tumpukan baju Ashila di atas bangku yang terletak di depan meja komputer Ashila. Namun, ketika mengangkat beberapa baju, Lucky tak sengaja menjatuhkan pakaian dalam Ashila yang seharusnya tak dilihatnya. Sebuah bra milik Ashila tergeletak di lantai. Benar-benar Ashila ini, bra saja sampai kececeran di bangku, tak disimpan dengan rapi. Segeralah Lucky meraih bra itu dan buru-buru mengembalikannya ke atas bangku, lalu ia tutupi lagi dengan beberapa baju. Bila Ashila tahu Lucky sempat melihat bra-nya, tentu gadis itu akan sangat malu.
Lucky beralih mengamati hal lain. Ia menemukan sebuah bingkai foto di atas nakas. Terlihat foto seorang gadis kecil yang manis bersama wanita paruh baya di belakangnya yang merangkulnya. Lucky pikir itu adalah foto Ashila kecil bersama ibunya. Namun, melihat sosok gadis kecil di foto itu membuat Lucky terpikirkan sesuatu. Ia langsung mengulas senyum, entah ada apa. Apa foto itu mengingatkan Lucky akan sesuatu?
“Ini foto kamu sama ibu kamu?” tanya Lucky kemudian.
Ashila yang melihat Lucky memegang bingkai fotonya dengan refleks langsung merebut dan memeluk bingkai itu. Ia terlihat agak tak suka Lucky menyentuh bingkai foto itu.
“Em, kamu boleh pake barang-barang di sini sesuai keperluan kamu. Tapi, tolong jangan sentuh barang pribadi aku. Apalagi foto ini. Ini harta karun yang amat berharga buat aku, aku gak mau ini sampe rusak.”
“Ahh, sorry. Jadi, itu memang foto kamu sama ibu kamu? Lalu, di mana beliau sekarang? Apa beliau gak tinggal di sini juga?”
“Aku udah bilang kan, selama ini aku tinggal di sini sendirian. Ayah sama ibu aku, mereka udah tiada.”
“Oh, maaf, Ashila.”
“Em, gapapa. Oke, aku udah rapiin kasurnya. Kamu bisa istirahat. Ah, beberapa yang berantakan ini, aku akan rapiin besok, ya.”
“Ashila, gak masalah, aku tidur di sofa aja.”
“Eh? Serius? Tadi bilang gak mau.”
“Gapapa.” Lucky berjalan keluar kamar dengan kruknya. Sementara itu, Ashila tersenyum senang. Gadis itu lega karena ia tak mesti membiarkan kamarnya ditempati oleh orang asing.
Ashila ikut keluar, memastikan bagaimana Lucky sekarang. Apakah nanti ia akan berubah pikiran lagi?
“Cuma ada sofa itu. Semoga kamu cukup nyaman tidur di situ. Ah, aku ada selimut dan bantal lebih, kok. Nanti aku akan kasih ke kamu. O ya, di sini gak ada AC, hanya satu kipas angin di atas sofa itu. Kalo kamu masih kegerahan, kamu bisa buka aja jendela di balkon itu.”
Lucky langsung memandang kipas angin di langit-langit tepat di atas sofa itu. Seketika, ia bergidik dan berseru pada Ashila.
“Bisa kamu geser dulu sofanya? Pindahin agak jauh ke sisi sana.”
“Ha?” Ashila membatin, ternyata pria yang ia temukan ini cukup banyak maunya. Benar-benar ribet. Letak sofa saja dipermasalahkan.
Ashila belum tahu apa yang ada di pikiran Lucky sampai meminta menggeser sofa begitu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments