Ashila tentu panik mendengar pengakuan sang pria tadi. Kalau dirinya memang tak bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya, bagaimana urusan ini akan selesai nantinya? Ashila harus bagaimana? Harus ia bawa ke mana pria ini?
Gadis itu bahkan menanyakan pada dokter, apakah mungkin pria itu benar-benar amnesia. Dokter yang merawatnya hanya mengatakan soal cedera kaki yang mungkin butuh waktu cukup lama untuk sembuh. Sementara untuk bagian kepala dan otak, dokter berkata berdasarkan pemeriksaan semua terlihat baik. Namun, dokter mengimbuhi, lupa ingatan itu wajar juga terjadi pada pasien kecelakaan, bisa jadi disebabkan karena faktor guncangan atau syok berlebih. Tentunya, itu hanya akan terjadi sesaat. Karena penjelasan dokter itu, Ashila akhirnya percaya bahwa pemuda yang tak sengaja ditabraknya itu memang tengah amnesia, lupa siapa dirinya.
Setelahnya, Ashila pergi ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran. Untuk perawatan seperti itu saja, Ashila mesti membayar mahal. Mau tak mau, gadis itu mesti menguras tabungannya. Ia sungguh merutuki nasibnya. Tabungan yang mestinya bisa ia gunakan untuk menyambung hidup dan keperluannya yang lain, kini harus melayang dalam sekejap akibat kesialan yang menimpanya malam ini.
Bahkan, pas sekali, begitu ia selesai membayar tagihan rumah sakit, Ashila mendapatkan telepon dari penagih uang sewa rumah. Tentu saja, Ashila kini hanya bisa bermanis-manis merayunya agar berkenan memberikan tambahan waktu. Gadis itu berjanji pasti akan melunasinya, hanya saja bukan sekarang. Baru saja tabungannya terkuras, sisa uang yang ia punya tinggal sedikit. Karena masih punya iba dan berbaik hati, sang penagih akhirnya setuju memberi Ashila waktu. Ya, satu masalah selesai sekarang.
Sayang sekali, begitu Ashila kembali menemui sang pria, pria tersebut justru meminta hal yang aneh-aneh. Bertambahlah lagi masalah gadis itu saat ini. Dengan santainya, pemuda itu menyodorkan kertas rincian kepada Ashila. Tertulis di sana, ia butuh biaya untuk pemulihan sakitnya di sebuah rumah sakit yang Ashila tahu itu adalah rumah sakit ternama yang cukup mahal biayanya untuk sekali berobat saja. Juga, ada biaya untuk pemesanan tempat istirahat di sebuah hotel bintang lima selama ia dalam masa pemulihan dan belum mengingat siapa dirinya. Maksudnya ia memberikan rincian itu pada Ashila adalah agar sang gadis bisa membayar semua itu sebagai ganti rugi. Bila tidak dituruti, pria itu bisa saja berubah pikiran dan memperpanjang masalah kecelakaan sampai ke pihak berwajib.
Dan, sekarang ini, Ashila bingung bukan kepalang.
“Astaga, apa-apaan ini? Kenapa mesti semahal ini? Uang dari mana aku?” seru Ashila.
“Itu ganti rugi yang harus kamu bayar. Aku butuh tempat istirahat selama kaki aku belum normal, juga perawatan rutin biar kaki aku lebih cepat pulih. Aku gak tau harus ke mana. Makanya, aku minta biaya itu ke kamu. Kamu harus bayar, atau gak, aku bisa aja berubah pikiran dan kamu—
“Eh eh eh, bentar bentar. Jangan main berubah pikiran begitu. Aku akan pikirin ini.”
Ashila terdiam sejenak. Mau berpikir sekeras apa pun juga ia tak mungkin tiba-tiba saja bisa dapat banyak uang, tak ada uang yang langsung turun dari langit. Namun, bila tak ada cara, nasibnya sendiri yang akan dipertaruhkan. Kemudian, terbersit sebuah ide dalam benak Ashila. Gadis itu berharap sang pria mau diajak bernegosiasi. Semoga caranya ini bisa jadi alternatif.
Ashila pun memberanikan diri mulai menyampaikan maksudnya.
“Em, begini... jujur aja, aku sekarang bener-bener lagi gak ada uang, apalagi sebanyak yang kamu minta itu. Tabungan aku pun barusan aku kuras buat biaya rumah sakit.”
“Lalu, aku gimana? Apa kamu mau—
“Eh tunggu, jangan buru-buru, aku belum selesai. Jadi, aku ada kepikiran cara lain buat penuhin ganti rugi itu. Aku harap kamu gak keberatan. Begini, masalah tempat tinggal buat istirahat selama kamu belum pulih, mungkin aku bisa ajak kamu tinggal di rumah aku dulu. Selama ini aku tinggal sendiri, jadi gak masalah kalo harus nambah satu orang lagi. Rumah aku cukup nyaman, kok. Ya, walau jauh gak semewah hotel. Dan, em, masalah perawatan kamu, aku tetep akan rutin bawa kamu ke rumah sakit sampe kaki kamu sembuh. Gak harus rumah sakit mahal kan, yang penting dokternya berpengalaman. Banyak rumah sakit bagus yang gak semahal pilihan kamu tadi, kok. Kalo butuh perawat di rumah, aku juga bisa rawat kamu. Aku akan bantu kalo kamu butuh bantuan buat kegiatan sehari-hari selama di rumah aku. Aku akan lakuin apa pun yang kamu mau selama kamu tinggal sama aku.”
“Apa pun?”
“Ee i-iya. Selama itu legal dan gak melanggar hukum. Em, jadi gimana? Kamu mau?”
Pria itu terlihat berpikir sejenak.
“Oke.” Akhirnya, ia pun setuju.
“Dengan ini, kamu janji gak akan perpanjang masalah kecelakaan itu, kan?”
“Itu tergantung.”
“Maksudnya?”
“Kalo kamu gak bener-bener penuhin janji kamu tadi, aku pasti bisa berubah pikiran.”
“Gak, kok. Aku pasti lakuin sesuai perkataan aku tadi.”
“Hm, ya. Mungkin, setelah ini kita juga harus buat surat perjanjian.”
“Apa pun itu terserah kamu. Oke, ayo kita siap-siap pulang. Gak masalah kalo aku bonceng pake motor, kan? Masalahnya, kalo mesti bayar taksi lagi kemahalan. Sayang uangnya.”
“Hmm.”
Ashila mengajak pria itu pulang bersamanya ke rumah sewanya. Walau agak tak nyaman, pria itu tetap menurut membonceng motor Ashila. Dalam perjalanan pun tak satu pun dari mereka memulai pembicaraan. Padahal, suasana jalan malam ini sudah sangat sepi. Bila mereka mengobrol pun tak akan khawatir terganggu oleh suara bising kendaraan lain.
Baru sampai di depan, pria itu melongo melihat bangunan di hadapannya. Ya, itu semacam apartemen sederhana alias rumah susun. Unit tempat tinggal Ashila ada di lantai tiga. Ashila memang tinggal sendirian. Sudah cukup lama gadis itu menetap di rumah susun ini. Orang tua kandungnya, keduanya sudah tiada. Itu sebabnya selama ini Ashila tumbuh menjadi gadis mandiri dan pekerja keras.
“Di sini?” tanya pria itu.
“Ya. Aku tinggal di sini. Unit aku ada di lantai tiga. Kenapa?”
Pria itu hanya menggeleng.
“Ah, ya. Sebelum kita naik, jadi, aku harus panggil kamu apa, selama kita tinggal sama-sama? Kamu sendiri gak inget nama kamu.”
“Panggil apa pun terserah kamu.”
“Em, apa ya ... ee ah, mungkin, mulai sekarang aku akan panggil kamu Lucky. Gimana?”
“Terserah.”
Lucky. Itulah sebutan yang Ashila pilih untuk pria itu. Lucky yang berarti keberuntungan. Ya, sebenarnya ini bertolak belakang dengan apa yang Ashila hadapi sekarang. Tapi, ia juga tak mungkin memanggil pria itu dengan sebutan si sial, bukan? Sebutan Lucky ini Ashila berikan dengan harapan di balik segala kesialan ini, akan ada keberuntungan yang menantinya di masa mendatang. Hitung-hitung sebagai ganti atas banyak kehilangan yang mesti ia tanggung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments