4-Pusat Perhatian

"Aku berdoa semoga Allah segera mengetuk pintu hatimu, agar senantiasa istiqomah dengan balutan muslimah."

-Arda Nazma Dewanda-

•••

Tepat saat kedua tungkaiku berada di anak tangga terakhir, semua orang yang berada di ruang tengah melihat ke arahku. Mata mereka semua seperti ingin meloncat dari tempatnya, menilik dari atas sampai ke bawah hingga berulang-ulang. Aku yang tak pernah memikirkan perkataan orang lain mendadak ciut akan pendapat para tetangga, yang sudah mengetahui sepak terjangku yang begitu terkenal dengan image cewek matre berpakaian tak layak pakai menurut sebagian orang. Padahal menurut aku pribadi masih sangat sopan, karena aku tidak pernah keluar dengan baju tanpa lengan, ataupun celana pendek. Hanya sebatas rok selutut, itupun tidak ketat dan juga baju berlengan tiga perempat.

"Gara-gara Mamah aku jadi pusat perhatian," desisku tepat di samping telinganya. Jawaban Mamah justru membuat aku semakin kesal dan meradang. "Bukannya kamu suka jadi pusat perhatian. Pergi kesana-kemari dengan pria berbeda, bukannya itu cara kamu meminta perhatian? Mamah hanya membantu mewujudkannya saja, tapi dengan cara yang berbeda tentunya." Dengan lancar tanpa dosa kalimat tersebut meluncur bebas dari bibir Mamah.

"Semerdeka Mamah ajalah." Aku angkat tangan menyerah. Membalas perkataan Mamah sama saja dengan menyeburkan diri pada tausyiah dadakan yang tidak ingin kudengar. Lebih baik mundur daripada kupingku panas tujuh hari tujuh malam.

Bisikan-bisikan dari sebagian ibu-ibu nyinyir membuat hatiku panas. Bukan hanya hati tapi juga sekujur tubuhku. Kalau tidak ingat ini adalah acara kajian, sudah aku usir mereka semua. Baru kali ini aku merasa risih dan tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Mamah emang gak nanggung-nanggung kalau menyengsarakan anak semata wayangnya. Akan aku pastikan besok tagihan kartu kredit membengkak. Lihat saja pembalasanku wahai ibunda ratu.

Mataku memandang ke sekeliling di mana banyak anak yatim dengan baju berwarna putih senada. Rasa iba sedikit menyusup dalam hatiku. Di usianya yang masih kecil dan seharusnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua, justru mereka tak merasakannya. Sedangkan aku yang dilimpahi kasih sayang oleh Mamah dan Papah masih saja tidak bersyukur, dan sering mendumel karena Mamah yang kelewat cerewet, atau karena Papah yang terlalu sibuk bekerja sampai tak punya waktu untukku.

"Tuh mata minta gue colok yah!" Aku menatap tak suka pada seseorang di seberang sana yang sedaritadi menatap lapar ke arahku. Aku menunjukkan bogeman, agar dia segera mengalihkan pandangan. Katanya orang beragama yang tahu batasan, tapi buktinya dia masih saja tidak bisa menjaga pandangannya. Emang dasar semua cowok mata keranjang.

"Tuh mulut minta Mamah lakban yah!" Aku langsung memutar tubuh agar menghadap ke arah samping di mana Mamah duduk. Telinga Mamah itu sangat sensitif dan tajam. Pantas saja setan tak mempan membisiki Mamah godaan untuk melanggar aturan Tuhan. Lah wong sebelum setan berbisik saja sudah Mamah tendang dan tinggalkan.

"Mamah mah sadis bener sama anak sendiri. Gak ada empatinya sama sekali," dengusku yang justru dibalas delikan super tajam. Dalam acara seperti ini saja Mamah masih sempat-sempatnya mengajak aku berdebat, dan emang dasarnya aku yang tak mau kalah, dengan senang hati meladeninya. Mungkin inilah alasan kenapa penghuni neraka banyak dihuni kaum hawa. Ya karena tidak bisa menjaga lisannya, termasuk aku pribadi yang memang memiliki mulut lemes tanpa rem.

"Assalamualaikum," salam seseorang dibarengi dengan kemunculan tubuh Papah di baliknya. Tumben sekali Papahku si penggila kerja ini pulang lebih awal. Biasanya juga tengah malam sama sepertiku.

Jawaban salam menguar dari semua tamu undangan. Papah terlihat ragu untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Beliau itu orangnya tidak mudah bergaul, dan mungkin Papah kaget dengan banyaknya orang di rumah ini. Aku dan Papah itu sebelas duabelas, jarang mengikuti acara semacam ini, tapi jika dibandingkan dengan Papah aku yang lebih parah. Kesibukannya dalam mencari uang menjadi alasan utama. Terlihat Papah menarik lengan Mamah agar melipir ke sudut ruangan, aku tersenyum penuh kemenangan. Papah selamatkanlah penderitaan anakmu yang malang ini. Aku berharap Papah mengusir semua tamu undangan, dan aku bisa terbebas dari pakaian gerah bodi ini.

"Non Adara ada tamu yang ingin bertemu." Suara pak satpam mengganggu imajinasiku akan kemalangan nasib Mamah. Aku bangkit dan berjalan mengikuti pak satpam menuju ke teras depan.

"Dre," panggilku saat melihat punggung lebar milik Andre, salah satu teman pria yang selalu menghabiskan waktu bersama. Dia berbalik dan begitu tercengang melihatku dari atas sampai bawah secara berulang-ulang.

"Ini benaran lo, kan?" tanyanya mencoba untuk meraih bahuku. Aku langsung mundur teratur. Tidak ada kontak fisik dan sentuhan di antara aku dan teman-teman priaku, termasuk Andre. Memegang tanganku dengan lancang akan mendapat tamparan dan bogeman. Aku sangat menghindari kontak fisik dengan mereka. Aku tak mau dirugikan oleh lelaki kurang ajar yang suka mengobral sentuhan. Aku memang matre dan berteman dengan banyak pria, tapi tak ada satu pun di antara mereka yang berani macam-macam denganku. Hebat bukan?

"Iya ini gue. Kenapa lo? Sorry banget malem ini gue gak bisa hangout. Di rumah lagi ada acara," jelasku tanpa diminta. Aku ingin segera masuk kembali ke dalam rumah, sebelum sang nyonya besar menampilkan taringnya.

"Sejak kapan lo tobat? Gue mimpi apa semalem coba, sampe liat lo pake baju model beginian," katanya sambil geleng-geleng kepala. Jangankan dia, aku saja yang memakainya masih bingung sekaligus tak percaya.

"Pergi sono ah! Gue gak mau kena omelan Bonyok," usirku tanpa mau membahas keterkejutannya. Bodo amat lah dia mau ngomong apaan. Serah. Gak peduli.

"Adara, dicariin Tante Dita sama Om Dito." Belum kelar pembahasan sama si curut Andre, eh si Arda ustaz kaleng-kaleng muncul gitu aja tanpa permisi. Bisa runyam kalau gini ceritanya. Tuh kan bener suara tawa terbahak Andre langsung terdengar. Dia pasti menertawakanku karena kehadiran Arda.

"Sorry ganggu acara lo. Kayanya hari ini pertemuan terakhir kita," cerca Andre dengan tawa merendahkannya, "assalamualaikum, Pak Ustaz dan calon Bu Ustazah," lanjutnya dengan lambaian tangan.

"Dasar Andre gila!" makiku yang hanya ditanggapi tawa menyebalkannya.

"Lo udah buat gue malu di depan temen gue, Arda!" desisku dengan tatapan menghujam. Akan aku bumihanguskan dia sekarang.

"Aku?" cicitnya berlagak tak tahu dengan tampang sok polos. Nih orang diciptain emang buat nguji kesabaranku aja kayanya.

"Minggir lo!" kataku menyuruh dia menyingkir agar tak berada di ambang pintu. Dari sudut mata, aku melihat dia mengelus dadanya pelan. Banyak-banyak istigfar sana biar imannya gak kendor.

"Semoga kamu bisa istiqomah dengan balutan muslimah," doanya yang masih dapat aku dengar.

"Jangan banyak ngarep lo!" sahutku begitu judes dan ketus.

"Kalau ada doa yang baik itu diaminin bukan malah kaya gitu," peringatnya yang aku balas dengan delikan tak suka. "Ceramah lo gak mempan!"

~TBC~

Terpopuler

Comments

N Hayati

N Hayati

👍👍👍👍😄

2021-02-16

0

Nia Annisa

Nia Annisa

suka aku sama ceritanya Thor!!!

2020-01-15

1

Komira Indayana

Komira Indayana

cukup menghibur 😄

2020-01-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!