"Ambil hati orang tuanya, lalu setelah itu biarkan tangan Allah yang bekerja."
-Arda Nazma Dewanda-
•••
Arda Nazma Dewanda, lelaki menyebalkan yang tak punya urat malu. Itulah kesan pertama saat aku bertemu pandang dengannya. Pertemuan singkat yang aku kira tak akan berbuntut panjang, namun pada kenyataannya dia justru selalu datang merecoki kehidupanku. Terhitung sudah sekitar tiga tahun lebih aku mengenalnya, mungkin sudah mau memasuki tahun keempat. Dia itu pribadi yang sederhana dan tidak neko-neko sepertiku. Latar belakang keluarganya yang memang bukan dari kalangan atas membuat dia seperti itu. Apa adanya dan tidak banyak gaya.
Awalnya aku simpatik karena dia sudah menolongku dari kekejaman penjambret. Aku masih sangat mengingat detail kejadiannya. Pada saat itu aku pulang sekolah, kebetulan pak sopir telat datang karena ban mobil yang bocor di tengah jalan. Karena aku bosan menunggu di pos satpam, akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalanan. Namun di tengah perjalanan ada segerombolan preman bertato dan berambut gondrong yang mengincar. Aku memegang erat ponsel dan juga tali tas punggungku, dalam hati aku berdoa agar pak sopir segera datang menjemput.
Langkahku dihentikan paksa oleh dua orang seram itu. Mereka mencoba untuk memegang dagu serta tanganku. Tapi dengan kasar aku menolak sentuhan tangan kotor mereka. Tidak ada satu pun pria asing yang berani berlaku tidak sopan seperti itu kepadaku. Dan aku merasa dilecehkan atas tindakan bejat mereka. "Jangan pegang-pegang! Ambil aja nih." Dengan sukarela aku menyerahkan ponsel dan juga tas yang berisi buku pelajaran, alat tulis, serta dompet yang terdapat berlembar-lembar uang berwarna merah, beberapa kartu debit dan juga kartu tanda pengenal.
Tapi yang mereka lakukan justru melempar barang-barang yang telah aku serahkan. Salah satu di antara mereka berkata, "Bagaimana kalau kita sedikit bermain-main, Cantik?" Rasanya aku ingin memotong lidah kotornya pada saat itu juga. Dasar tua bangka tak tahu diri! Anak SMA sepertiku saja mau mereka embat. Apa mereka tidak memiliki anak gadis hingga berlaku kurang ajar seperti itu?
Mereka berdua berusaha mencekal tanganku, namun selalu gagal karena aku berhasil menghidar. Berusaha secepat mungkin aku melarikan diri dari mereka, tapi nasib baik sedang tak berpihak padaku. Sebuah motor matic berwarna hitam hampir saja mengenai tubuhku. Beruntung laju kendaraan beroda dua itu tidak terlalu kencang dan hanya membuat aku tersungkur ke aspal yang mengakibatkan lutut serta sikutku lecet-lecet saja.
"Kamu gak papa?" tanyanya basa-basi dan berusaha membantuku berdiri, tapi dengan cepat aku menepisnya. "Gue bisa sendiri." Pengendara sepeda motor itu mundur teratur.
"Woy jangan lari lo!" Teriakan dari arah belakang membuatku kembali tersadar, dengan langkah tertatih aku bersembunyi di balik punggung pengemudi motor yang hampir menabrakku. Dengan penuh keraguan aku menggapai kerah jaket yang lelaki itu gunakan. "Tolongin gue!"
"Jangan pegang-pegang bukan mahram," katanya seraya menggerak-gerakkan tubuh memberi kode agar aku menyingkir.
Aku mendengus tak suka mendengar perkataan pria itu. "Lagian gue juga ogah jadi mahram lo," cetusku dengan nada judes bercampur kesal, dan segera melepas cengkeraman kuat di kerah jaketnya.
"Mundur," titahnya saat dua orang preman yang tadi mengejarku sudah berada tepat di depan kami. Aku menurut saja. Dan setelahnya terjadi adu jotos di antara mereka bertiga. Aku sih hanya menonton saja tanpa niat untuk membantu. Tidak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar bermain kasar dan pukul-pukulan.
Aku melongo melihat dua penjahat itu tepar di atas trotoar. Lelaki bertubuh kurus kering serta berkulit hitam manis itu membasmi habis mereka. Makan apa tuh orang sampai bisa mengalahkan para berandalan tua kurang ajar. Keren. Sejenak aku mengagumi kemampuannya tapi dengan cepat aku menghilangkan pikiran dangkalku itu.
"Makanya kalau sekolah tuh pake seragam yang bener, bukan malah pake baju kekurangan bahan begitu." Awalnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi setelah mendapatkan sindiran pedasnya niat baik itu aku urungkan.
"Kalau gak niat buat nolongin gak usah!" amukku tak terima. Seragam yang aku pakai masih wajar, bahkan lebih sopan jika dibandingkan dengan teman-teman sekolahku yang lain. Rok abu-abu dengan tinggi selutut, dan juga baju atasan yang memang agak sedikit ketat.
Terlihat dia menyeka cairan merah kental yang keluar dari sudut bibirnya. Wajahnya terdapat cukup banyak memar akibat pukulan dari dua preman. "Rumah kamu di mana? Biar aku antar pulang," katanya yang membuat aku sedikit kaget sekaligus bingung. Tuh orang maunya apa sih? Tadi aja nyinyirin aku, tapi sekarang justru mau nganterin pulang. Dasar aneh.
Semenjak kejadian itu dia rutin datang ke rumah menemui Mamah dan Papah. Katanya sih mau menjalin silaturahmi. Cih, paling juga tuh orang mau modus doang. Bukan maksud untuk percaya diri, tapi dari gurak-gerik dan tingkahnya satu tahun belakangan ini membuat aku berpikiran seperti itu. Tapi itu hanya sekadar dugaanku saja.
Menyogok Mamah dengan kue bolu yang berasal dari toko kue ibunya, dan sesekali memberikan aku bunga. Tapi dengan gamblang aku mengatakan, "Gue gak suka bunga mawar. Sukanya bunga bank."
Aku kira dia akan nyerah dan gak deketin aku lagi. Tapi dugaanku salah besar kawan-kawan, dia justru semakin gencar mengambil hati Mamah dan Papah hingga membuat kedua orang tuaku suka padanya. Emang dasar urat malunya sudah putus kali yah, makanya gak mempan dengan tolakan.
"Kalau mau bunga bank harus mau aku halalin dulu dong," balasnya yang membuat bulu kudukku meremang. Siapa dia sampai berani berkata seperti itu. Pria berkelas dengan tampang rupawan, serta dompet tebal saja aku tolak mentah-mentah. Lalu apa kabar dengan dia yang hanya remahan rengginang saja. Ngaca!
Sebenarnya dia itu cowok modelan anak masjid gitu lah. Kerjaannya nongkrong di masjid sama ustaz-ustaz, tapi gak tahu kenapa dia-seperti terkesan-mencari perhatianku yang jauh dari kata wanita shalihah ini. Padahal kalau dipikir-pikir perempuan masjid dengan baju kurung serta khimar lebar itu lebih cocok bersanding dengannya. Kalau sama aku sih gak ada cocok-cocoknya sama sekali. Jomplang iya.
Gak kebayang kalau sampai dia jadi suami aku. Bisa capek hati dan pikiran kali yah. Ngelakuin salat lima waktu tepat waktu tanpa cacat dan bolong. Bangun tengah malam cuman buat salat doang, terus lagi puasa sunnah yang akan membuat aku kurus kerempeng sama kaya dia. Terlalu ekstream kalau sampai hal itu terjadi. Dan aku harap itu gak akan pernah aku alami!
Ish, kenapa aku malah mikirin tuh orang sih. Kurang kerjaan banget. Dengan cepat aku membenamkan wajahku di atas bantal. Menghilangkan bayangan lelaki menyebalkan itu dari pikiran.
~TBC~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
N Hayati
masih menyimak
2021-02-16
0
Barokah Nikmah
kayaknya asyyyik
2020-05-29
2
libra_Yaya
bagus loh ini
2020-05-11
2