3-Tak Bisa Menolak

"Sedikit menyenangkan hati Mamah, walau hatiku menentang tak suka itu lebih utama, jika dibandingkan harus menolak dan menyakiti hatinya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku sudah bersiap untuk pergi hangout bersama temanku, hanya sekadar berkeliling Mall dan belanja untuk menghabiskan uang. Sangat menyenangkan bukan? Tentu saja. Dikaruniai wajah di atas standar harus aku manfaatkan dengan sebaik mungkin. Salah satu caranya dengan menggaet banyak teman pria, hanya untuk menghabiskan waktu luang bersama. Bermodalkan dress selutut dengan model rok mengembang, sepatu tinggi, dan juga tas tangan yang semakin memaksimalkan penampilan. Tak ketinggalan rambut hitamku yang dibiarkan tergerai dengan jepit rambut di sebelah kanan.

"Mau ke mana kamu?" todong Mamah saat aku baru saja menginjakkan kaki di tangga terakhir. Tidak bisakah Mamah melihat bahwa aku sudah tampil maksimal dan siap untuk pergi?

"Biasa, Mah," jawabku acuh tak acuh. Helaan napas keluar dari bibir Mamah yang sudah dipoles gincu berwarna merah. "Gak bisa gitu semalem aja kamu diem di rumah?" sindirnya.

"Sudah terlanjur janji, Mah. Paling bentar lagi juga orangnya datang." Sebisa mungkin aku memberi penjelasan. "Apa kamu lupa hari ini hari apa?" tanyanya.

Aku memutar bola mata malas. "Hari Jumat, lebih tepatnya malam Sabtu, Mah," terangku ogah-ogahan. Apaan pula Mamah bertanya seperti itu? Gak jelas banget.

Tanpa permisi Mamah menjewer kuping sebelah kananku hingga terasa memanas, dan mungkin memerah. "Sa... sa... sakit... Mah...." Aku meringis agar Mamah segera menyingkirkan tangannya jauh-jauh.

"Umur masih muda tapi penyakit pikun kok sudah menahun. Malam ini kita ada kajian rutin di rumah. Kamu gak boleh pergi ke mana-mana," Aku menampilkan cengiran tanpa dosa sembari mengelus telinga yang tadi jadi sasaran empuk Mamah. Setiap perdua minggu sekali, lebih tepatnya Jumat malam Mamah selalu mengadakan pengajian rutin yang biasanya dihadiri oleh tetangga dan juga anak yatim. Kegiatan ini sudah sekitar dua bulan lalu Mamah langsungkan, dan biasanya aku bisa menghindar dengan cara pergi dari pagi hingga tengah malam. Tapi sekarang mendadak aku hilang ingatan.

"Ya sudah sih, Mah kalau emang mau ngadain siraman rohani silakan aja. Gak usah pake acara ngajak-ngajak aku segala." Emang dasar mulutku yang tidak bisa dikendalikan, ngomong sama Mamah saja ceplas-ceplos tanpa saringan. Jangan ditiru wahai kawan-kawan yang budiman.

Mamah memasang wajah sangar dengan kedua tangan berkacak pinggang. Sejak kapan Mamahku yang berhati lembut dan penuh kesabaran ini meradang menghadapi aku yang kelewat tidak sopan, dan terkesan serampangan kurang ajar.

"Sepanjang Mamah melakukan acara kajian kamu tidak pernah ada. Cobalah sekali-kali tuh otak sama hati disirami materi rohani, biar setan-setan pada minggat semua. Jangan malah pergi jalan-jalan gak jelas. Ngabisin uang aja kerjaan kamu." jelasnya yang membuatku memberengut kesal. Aku dan Mamah memang berbeda pandangan dalam hidup beragama, kalau aku cukup dengan mengamalkan segala jenis ibadah yang wajib, lain halnya dengan Mamah yang justru menjalankan sampai ke sunnah-sunnahnya. Beliau itu taat dengan aturan yang dipercayainya. Tapi sayang saja beliau harus mendapatkan anak sepertiku yang jauh dari kata anak baik dan penurut.

"Batalin acara kamu, naik ke atas Mamah sudah siapin pakaian yang lebih layak untuk kamu pakai," sambungnya yang membuat aku mendengus tak suka. Mamah itu tak pernah bosan dan lelah mengingatkan aku untuk menutup aurat sebagaimana mestinya seorang wanita muslimah. Tapi apa dayaku, yang imannya kendor gak pernah naik-naik ini.

"Gak mau ah. Paling Mamah nyuruh aku pake baju modelan mukena. Ih enggak ada yah!" Aku menolak mentah-mentah titahnya. Pasti tuh baju panas dan buat gerah, belum lagi modelannya yang monoton dan gak cocok buat anak muda sepertiku. Sorry to say aja yah aku masih muda dan belum siap untuk memakainya.

"Sekali aja nurut sama Mamah, bisa gak sih?" Enggak bisa, Mah. Anakmu ini bukan ukhti-ukhti shalihah yang bersedia mengikuti syariat agama dengan baik dan benar. Salat saja masih perlu diingatkan, apalagi memakai baju gombrong yang kelewatan zaman. Big No.

"Enggak ada gitu-gituan yah, Mah. Kalau emang mau ngadain acara pengajian ya sudah silakan. Aku gak bakal ikut campur dan mending ngerem aja di kamar," tolakku dengan kepala menggeleng keras dan jari telunjuk yang sengaja aku gerak-gerakkan. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk melesatkan diri masuk ke dalam kamar lagi.

Mamah mengembuskan napas lelahnya, memasang wajah penuh permohonan. Ah, Mamah memang paling jago pasang tampang muka menyedihkan supaya aku luluh dan mau mengikuti titahnya. "Iya... iya... aku mau," putusku yang langsung disambut senyum lebar, serta pelukan hangat darinya. Mamahku memang patut dan pantas memenangkan piala citra sebagai aktris terbaik.

"Ayo biar Mamah bantu kamu dandan. Bi tolong bereskan semuanya, jangan sampai ada yang terlewat," tutur Mamah yang langsung dipatuhi oleh beberapa pekerja yang membantu persiapan acara malam ini. Beliau itu sangat perfeksionis dan harus kelihatan sempurna, terlebih lagi dalam hal ibadah. Harus minim cacat. Katanya memuliakan anak yatim itu ganjarannya sangat luar biasa, dan well Mamahku tersayang ini melakukannya dengan total.

Aku menatap tak suka pada beberapa helai pakaian yang sudah tersusun rapi di atas ranjang. Mamah begitu antusias menunjukkan serta memamerkan pakaian yang bahannya kelewat panjang itu. "Pake celana jeans sama kemeja lengan panjang aja yah, Mah," bujukku yang langsung dihadiahi tatapan horor mengintimidasi.

Dengan tanpa persetujuan Mamah menyerahkan sebuah baju kurung berwarna pink pastel, dilengkapi dengan kancing berwarna hitam di depannya, pita di bagian sebelah kiri mempermanis baju itu, di bagian tangannya pun terdapat beberapa garis hitam. Aku semakin bergidik saat Mamah memamerkan kerudung panjang yang depannya bisa menutupi sampai perut, dan yang paling mengerikan lagi bagian belakang kerudung itu mungkin sampai sebatas lutut. Gak kebayang aku memakai baju model seperti itu. Belum apa-apa aku sudah berkeringat dingin.

"Buruan pake, bentar lagi acaranya dimulai," cetusnya dengan kasar mendorong aku ke kamar mandi.

"Mah...," mohonku yang sama sekali tak ditanggapi.

Aku berdiri tak tenang di depan cermin. Membolak-balik pakaian yang menggerahkan badan ini, pandanganku menilik begitu intens baju yang masih berada di tangan. "Pake... enggak... pake... enggak... pake." Ish kenapa kelima jari kiriku berdusta dan meminta memakai pakaian semacam gorden ini.

"Adara!" Panggilan dengan nada suara tinggi itu berhasil membuyarkan lamunanku. Dengan ragu dan tak ikhlas aku memakai baju gombrong itu. Kalau sampai teman-temanku tahu, bisa jadi bahan buly-an berminggu-minggu.

Aku keluar dengan wajah masam yang ditekuk kesal. Rasa gerah sudah mulai menjalar, keringatku saja sudah mulai bercucuran. "Nah kalau gini kan cantik. Kenapa gak dari dulu sih kamu ghamisan kaya gini," cerocos Mamah yang sama sekali tak peduli dengan tampangku yang lecek kaya uang kembalian.

"Kalau Mamah ngomong begitu lagi, aku buka nih." Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk melepas penutup kepala berwarna hitam yang membingkai kepalaku, dan menyembunyikan rambut indahku yang tadi diikat asal. Besok aku harus ke salon untuk merawat rambutku lagi.

"Jangan gitu dong," pintanya dengan memasang tampang sendu. Kalau tidak ingat beliau adalah wanita yang sudah mengandung dan melahirkanku, akan aku pastikan mukanya tak akan seindah ini lagi. Aku cakar-cakar tanpa ampun. Papah, tolong selamatkan anakmu yang tertindas ini. Hanya Papah yang tidak pernah menyuruh ataupun memaksaku berpenampilan seperti sekarang.

"Ayo turun. Di bawah udah rame kayanya," kata Mamah dengan hati riang tanpa beban menggandeng lengan kananku. Langkahku terasa sangat berat dan tak mau keluar dari persembunyian. Siap-siaplah menerima tatapan aneh penuh tanya dari orang-orang di bawah sana, Adara.

"Gerah, Mah! Pake selendang aja yah. Serius ini mah aku gak kuat. Panas banget." Aku mencoba bernegosiasi di tengah anak tangga. Siapa pun tolong bantu aku menghilang sekarang juga.

"Panas segitu aja kamu sudah ngeluh. Apa kamu gak pernah mikir gimana panasnya api neraka? Mamah ingin yang terbaik untuk kamu, Sayang." Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibir tipis Mamah emang paling jago membuatku lemah.

"Tapi kali ini aja yah, Mah. Gak ada hari-hari berikutnya." Emang dasar jiwa perempuan banget aku. Masih aja tawar-menawar kaya pembeli di pasar.

"Iya... iya... terserah kamu aja," tukas Mamah yang sepertinya sudah lelah adu mulut denganku.

~TBC~

Terpopuler

Comments

N Hayati

N Hayati

lanjut thor

2021-02-16

0

Siska

Siska

mampir y thor
udh ninggalin jejak jg 😊 semangat up y y
and tunggu feedback nya kakak 😊
mari saling mendukung 😊

2020-06-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!