Za menunggu Bian memilih cincin sambil melihat-lihat perhiasan yang dipajang di etalase. Pandangan tertarik pada sebuah kalung cantik yang terbuat dari bahan emas putih. Padahal dia termasuk tipe perempuan yang tidak begitu suka memakai perhiasan. Cuping telinga, leher dan tangannya bersih tanpa satu perhiasan yang menempel satu pun. Beberapa benda berharga yang dibelikan ibunya dia letakkan begitu saja di lemari tanpa berniat memakainya. Dalam kotak yang masih utuh dari tokonya.
Namun kalung itu, entah kenapa begitu menarik perhatian Za. Dia hanya memandangi dengan kagum kalung sederhana namun terlihat elegan jika dipakai.
Za mulai menebak-nebak harga kalung itu. Butuh berapa bulan gajian untuk bisa membeli dengan uangnya sendiri? Mungkin bertahun-tahun lamanya. Dan Za harus rela tidak membeli skin care dan barang-barang lainnya seperti baju jika ingin menabung untuk membeli kalung itu.
"Kalau suka ambil aja, Za." Terdengar suara Bian mendadak sudah berdiri di belakang Za.
Za justru berdecak. "Ambil terus aku diteriaki maling gitu?"
Bian tertawa. "Suka?" tanya pria itu kemudian.
"Suka. Perempuan mana yang nggak suka perhiasan, Mas," sahut Za.
"Mbak! Sekalian yang ini, ya!" kata Bian pada pramuniaga toko perhiasan yang tadi melayaninya.
"Mas! Ini mahal, loh!" Za merasa tidak enak pada Bian. Kalau ditraktir makanan sih, boleh lah. Tapi kalau perhiasan yang harganya jutaan, tenti saja Za sungkan.
"Katanya kamu suka."
"Iya. Tapi kan …."
Bian tak mempedulikan nada protes dari Za. Dia pergi ke kasir untuk menyelesaikan transaksi dan menerima barang yang tadi dibelinya. Sebuah kotak perhiasan telah berpindah ke tangan Za. Dan Za tak kuasa untuk menolaknya. Dia terlanjur jatuh hati saat pertama kali melihat kalung cantik yang kini sudah sepenuhnya menjadi miliknya.
"Makasih ya, Mas." Za tersenyum lebar.
"Sama-sama. Mau langsung pulang atau ke mana?" tanya Bian.
"Beli minum deh, Mas."
"Ok. Es teh yang lagi viral?"
"Nggak! Nggak! Mas Bian kalau kelebihan duit transfer aja ke rekeningku," jawab Za menolak Bian membelikan es teh yang harganya selangit untuk ukuran minuman semacamnya.
Bian memang selalu seperti itu. Tidak pernah pelit pada adik sepupunya. Jika dia pulang, pasti mengajak Za jalan. Bukan hanya jalan saja. Karena pulangnya pasti akan membawa tentengan tas belanja. Membelikan baju Za atau sepatu tidaka akan berasa bagi laki-laki yang bekerja di pertambangan itu.
Mereka pun menuju booth yang menjual es teh. Za mengantri di belakang dua orang pembeli. Postur tubuh pria mengantri paling depan sepertinya Za kenal. Tinggi tegap dengan rambut lurus dan tebal. Bahkan wanginya baru beberapa jam yang lalu menyapanya. Seorang gadis berkerudung yang mengenakan celana panjang longgar dan sweater terlihat berdiri tepat di depan Za. Tidak salah lagi, saat pria itu membalik badan, keduanya beradu tatap meski hanya beberapa detik karena Za segera mengalihkan pandangan. Dunia sesempit ini ternyata. Dari sekian banyak mall bertebaran, kenapa juga harus dipertemukan di mall yang sama.
"Dek? Di sini juga?" sapanya.
"Iya, Mas. Mas Fadhil lagi jalan-jalan?"
"Sedang ada perlu," jawabnya Fadhil menegaskan jika dia tidak hanya sekedar jalan-jalan berada di mall itu. "Sendirian?" tanyanya lagi.
"Eng …. Sama Mas Bian." Za menunjuk pria di sebelahnya.
"Ooh. Kalau begitu saya duluan!" ujar Fadhil setelah menatap Bian sejenak seraya menganggukkan kepala.
"Ayo, Om! Cepetan! Keburu habis tiketnya!" Gadis muda itu menarik lengan Fadhil tanpa mempedulikan Za dan Bian. Fadhil mengangguk sopan pada keduanya sebelum tangannya kembali ditarik oleh gadis yang menyebutnya Om.
Za reflek mengikuti arah perginya kedua orang tadi. Gadis itu terlihat menggandeng lengan Fadhil tanpa sungkan. Mereka menuju ke arah lift. Mungkin akan menonton di lantai atas karena gadis tadi menyebut kehabisan tiket.
"Siapa, Za?" Bian bertanya setelah Fadhil dan gadis itu tidak terlihat lagi dari jangkauan pandangan mereka.
"Bukan siapa-siapa! Cuma teman." Jawaban ketus keluar dari mulut Za.
"Bukan siapa-siapa tapi mukanya asem banget lihat mereka."
Za memaksakan bibirnya melengkung. Wajahnya mungkin terlihat lucu karena Bian justru terbahak melihatnya.
"Apanya yang lucu, Mas?" tanya Za kesal.
"Kamu." sahut Bian kemudian dia memesan dua cup es teh.
Za segera mengajak Bian keluar dari pusat perbelanjaan itu setelah pesanan mereka selesai dibuat. Dia enggan jika harus berpapasan lagi dengan pasangan beda usia yang membuatnya gerah. Jadi Bian tidak salah jika wajah Za berubah masam saat bertemu Fadhil tadi. Bukan cemburu karena dia tidak ada hubungan apa-apa dengan Fadhil. Hanya saja Za merasa Fadhil seolah-olah hanya ingin mempermainkannya. Pria itu melamarnya sementara dia juga menjalin hubungan dengan perempuan lain yang lebih muda. Oh, atau jangan-jangan Fadhil seorang …
"Za!"
Za tersentak saat tangannya mendadak ditarik oleh Bian. Mereka bertujuan untuk pulang. Namun Za justru melangkah di tangga naik.
"Kamu ngelamunin apa, Za?" tanya Bian membuat Za kesulitan menjawab.
"Ng-nggak ada, Mas. Aku lupa belum buat soal ujian buat anak-anak besok."
Kebohongan Za tak akan pernah sempurna di depan Bian. Meski laki-laki itu tak menyanggah atau mengangguk percaya. Bian hanya mengajak Za untuk menuju ke tempat parkir motor.
Bahkan sepanjang jalan, Bian tetap tidak menegur atas diamnya Za. Motor tetap melaju dengan tenang menyatu dengan kendaraan lainnya.
Bian baru bertanya saat mereka melewati penjual martabak kesukaan ibunya Za. Dia pun menghentikan motornya lalu memutar balik melewati bahu jalan.
"Mau ngapain, Mas? Ibu kan habis kondangan. Paling di sana juga sudah makan kenyang.
"Nggak papa. Siapa tahu Bulek masih mau makan."
Bagaimana tidak jadi kesayangan, sebaik itu Bian pada adik ibunya. Orang yang sudah dianggap ibunya sendiri semenjak dia sebatang kara. Orang tua Za dia anggap pengganti orang tuanya.
Bian memesan martabak manis keju dan martabak telur. Semua spesial, sesuai harga yang tertera dalam list harga. Karena penjual martabak itu memang memberi isian yang berlimpah. Bukan selera Za, karena dia tidak suka terlalu manis. Termasuk Fadhil, ups!
Dua box martabak digantungkan Bian pada motor matic milik Za. Mereka melanjutkan pulang ke rumah Za di sebuah komplek perumahan sederhana yang sudah dihuni sejak Za masih bayi.
"Astaghfirullah'aladzim. Ibu telpon kalian nggak ada yang diangkat satu pun." Ibu menyambut mereka dengan wajah cemas.
"Nggak dengar, Bu. Di-silent," sahut Za. Karena sejak makan mie tadi dia memang tidak membuka ponselnya. Begitu juga dengan Bian.
"Apa kabar kamu, Nang?"
"Baik. Bulek sehat?" Bian mencium punggung tangan Bu Rahma.
"Alhamdulillah. Bulek pikir kamu pulang besok. Tapi tadi sudah lihat tas di kamarmu. Kok mendadak, to?"
"Iya. Sudah kangen."
"Kangen sopo?" Bu Rahma melirik Za.
Namun Za justru masuk ke dalam kamar. Ada hal yang lebih menarik selain menanggapi ucapan ibunya. Mencoba kalung baru saja dibelikan oleh Bian.
Za tersenyum sendiri menatap perhiasan yang melingkar di lehernya dari pantulan kaca.
"Bagus sekali kalungnya, Za. Dibelikan Bian?" Suara Bu Rahma terdengar dari arah pintu yang lupa Za tutup.
Tentu saja tebakan ibunya tepat. Memangnya uang dari mana dia harus membeli kalung itu.
"Sebaik itu dia sama kamu. Masih punya alasan untuk menolak?" Ucapan ibunya hanya dijawab ******* nafas pelan oleh Za.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Eliani Elly
tapi kan sepupu sendiri Bu Rahma, jadinya kan gimana gitu
2023-08-17
0