Dilamar Bujang Lapuk

Dilamar Bujang Lapuk

Dilamar

“Apakah Dek Za berkenan menerima lamaran saya?” Pertanyaan itu ditujukan Fadhil pada Za setelah ayah sang gadis menyerahkan keputusan pada putrinya.

Zahidah terdiam di tempat duduknya. Bahkan setelah beberapa detik kemudian dia tak kunjung memberi jawaban. Za baru sekali dipertemukan dengan Ammar Fadhil, laki-laki berusia 40 tahun rekomendasi dari teman ayahnya. Dan laki-laki itu langsung melamarnya.

“Bagaimana, Za?” Kali ini Ibu Za yang bertanya. Lebih tepatnya mendesak Za untuk segera menjawab. Terdengar jelas dari nada bicaranya.

Beliau memang orang yang paling getol menuntut Za untuk segera menikah. Setelah ramainya kompor meleduk di sekitar rumah dan teman-teman pengajiannya yang begitu peduli dengan Za. Sampai-sampai khawatir jika Za akan menjadi perawan tua. Karena di usianya yang sudah 25 tahun Za belum juga menikah. Jangankan menikah, dekat dengan laki-laki saja dia tidak pernah. Dan kedatangan pria ketiga yang melamarnya kali ini adalah bukti nyata dari suksesnya mereka mengompori Bu Rahma, ibunya Za.

“Nak Fadhil sedang menunggu jawabanmu, Za. Kok malah dikasih kacang.” Pak Manaf, Ayah Za angkat bicara.

Za melirik sekilas pria yang tengah duduk berhadapan dengannya. Penampilannya terlihat terbilang bersih untuk orang yang sehari-hari bekerja di bengkel. Hanya saja bulu-bulu tipis di wajahnya membuat Za risih. Pandangan Za pun jatuh ke tangan pria itu. Bersih dan sepertinya rutin potong kuku.

Entah apa yang ada dalam pikiran Za hingga sedetail itu memperhatikan laki-laki yang pembawaannya tenang dan tidak banyak bicara. Rasanya sulit mencari cela dalam diri pria yang duduk di depannya. Semua yang menempel di wajah pria itu akan dengan mudah memikat kaum hawa. Apalagi dengan tubuhnya yang tinggi tegap dan mungkin saja berotot. Za menggelengkan kepala sambil beristighfar dalam hati, mengenyahkan pikiran yang sedang membayangkan dada bidang yang tersembunyi di balik kemeja Fadhil.

Perempuan itu pun berdehem kecil. Sebelum akhirnya dia membuka mulut.

“Maaf Mas Fadhil. Apakah saya boleh mengajukan beberapa pertanyaan mengenai diri Mas Fadhil? Selain dari yang ada dalam biodata yang sudah saya baca.” Za akhirnya buka suara.

Fadhil tersenyum mendengar pertanyaan Za. Dia terpukau dengan suara Za yang begitu lembut.

“Silakan, Dek.”

Za mengangguk kaku. “Maaf kalau pertanyaan saya nanti terdengar sedikit nyeleneh atau bahkan sangat nyeleneh,” ujar Za. Meski telah membaca biodata Fadhil, Za merasa harus tahu lebih banyak tentang laki-laki yang sedang melamarnya karena yang dia baca hanya biodata pada umumnya.

Za kembali berdehem sebelum memulai pertanyaannya. Berhadapan dengan Fadhil tak dipungkiri jika membuatnya sedikit gugup. Terlebih sorot mata yang terlihat begitu tajam menukik tepat mengena jantungnya.

“Maaf, Mas. Apakah saya boleh tahu berapa gaji Mas Fadhil setiap bulannya?”

“Za! Apa tidak ada pertanyaan yang lebih sopan?!” Pertanyaan Za seketika mendapat sentilan dari ibunya.

Za menghela nafas pelan. Sementara Fadhill justru mengulum senyum mendengar pertanyaan Za.

“Maaf Nak Fadhil. Za terlalu lancang,” ujar Bu Rahma karena merasa tidak enak dengan tamunya.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya memahami kekhawatiran Dek Za.” sahut Fadhil seraya menatap Za yang masih menunduk.

“Begini, Dek. Karena saya bukan pegawai seperti Bapak atau pun Dek Za, jadi penghasilan saya tidak selalu pasti setiap bulannya. Tapi alhamdulillah, selalu dicukupkan," terang Fadhil menjawab pertanyaan Za.

Za tertegun dengan jawaban yang malah membuatnya tersipu. Harusnya Za sudah paham, bahwa seberapapun rezeki akan terasa cukup jika disyukuri. Mungkin Fadhil sudah sejauh itu pemahamannya.

“Saya terima jawaban Mas Fadhil. Tapi apa boleh saya tahu berkisar di angka berapa?” tanya Za lagi. Logikanya masih terus menuntut jawaban.

“Za!” Kali ini ayah Za yang mengingatkan putrinya.

Za tertunduk mendengar suara ayahnya yang pelan namun tegas.

“Baik. Karena pertanyaan saya mungkin dianggap tidak sopan, maka saya skip saja. Dan pertanyaan kedua kenapa Mas Fadhil belum menikah sampai sekarang?" tanya Za. Karena mustahil orang setampan Fadhil sulit untuk menemukan pendamping hidup. Tampan? Ya, Za mengakui kalau Fadhil memang tampan.

Fadhil kembali tersenyum mendengar pertanyaan Za yang kembali di luar dugaannya.

"Karena jodoh saya masih menjadi rahasia yang belum saya temukan. Mudah-mudahan pencarian saya berakhir pada Dek Zahidah Nur Afifah," jawabnya diiringi senyum.

Semburat jingga muncul di kedua pipi Za. Kedua orang tua Za hanya senyum-senyum melihat putri mereka yang merona wajahnya karena baru saja dirayu oleh calon menantu, jika Za menerima lamaran Fadhil. Za justru kesal karenannya.

“Baik, Mas Fadhil. Saya cukup. Silakan jika Mas Fadhil ingin bertanya tentang diri saya yang sekiranya ingin Mas ketahui," ujar Za mengakhiri pertanyaannya.

Fadhil pun menggelengkan kepala. "Semua informasi yang saya dapatkan tentang Dek Za sudah cukup untuk memantapkan niat saya datang melamar Dek Za."

“Kalau begitu saya minta waktu untuk mempertimbangkan lamaran Mas Fadhil," sahut Za dengan tegas.

"Baik! Berapa lama saya harus menunggu? Sehari, dua hari atau seminggu?” cecar pria berkulit sawo matang itu.

Za melongo. Keputusan yang menyangkut masa depan seumur hidupnya mana mungkin dia putuskan dalam waktu satu minggu. Apalagi sehari atau dua hari. Za pun meminta waktu satu bulan untuk mempertimbangkan lamaran Fadhil. Namun pria itu menolak. Dengan alasan terlalu lama.

"Jangan lama-lama Za, kasihan Nak Fadhil." Bu Rahma ikut menimpali.

Pada akhirnya Za mengalah. Dia meminta waktu satu minggu untuk menjawab lamaran Fadhil. Dia sudah kalah supporter dengan pria itu yang mendapat dukungan penuh dari kedua orang paruh baya yang duduk mengapitnya.

Za baru bisa bernafas lega saat Fadhil berpamitan pulang. Udara dalam ruang tamu yang sebelumnya terasa pengap mendadak seperti mendapat serbuan oksigen. Dia membiarkan ayah dan ibunya mengantar Fadhil ke depan. Sedangkan dirinya kembali ke belakang melanjutkan makan siangnya tadi yang tertunda karena kedatangan Fadhil.

"Kamu apa-apaan sih, Za? Kalau mau bertanya itu mbok ya dipikir dulu. Bikin malu saja. Nanti Fadhil akan mengira kalau kamu itu perempuan matre. Mata duitan!" Omelan Bu Rahma memberondong putrinya yang baru saja hendak menyuapkan nasi.

"Memangnya kenapa, Bu? Nggak salah kan kalau Za ingin tahu gaji dia?"

"Nggak salah kalau kamu sudah jadi istrinya. Lagi pula kan pekerjaannya sudah jelas. Kamu bisa menaksir sendiri berapa kira-kira pendapatan dia. Ibu nggak pernah mengajari kamu matre. Jadi orang itu harus qonaah. Nrimo," tutur Bu Rahma menggebu-gebu.

"Bu, Za cuma berpikir sedikit realistis. Lagian Za cuma bertanya. Toh dia juga nggak berterus terang. Dan Za nggak mempermasalahkan itu lagi."

"Tapi Fadhil bisa ilfill karena pertanyaan kamu," sahut Bu Rahma geram.

"Ya bagus. Anggap saja itu seleksi alam," balas Za tak acuh.

Bu Rahma menggelengkan kepala seraya beristighfar.

"Kamu bukan sedang bermaksud mengulur waktu untuk menolak dia kan, Za?!" tanya Bu Rahma dengan tatapan menyelidik.

"Fadhil itu kurang apa? Dia dewasa, punya pekerjaan, punya tempat tinggal, hanif, sholeh. Apalagi yang kamu cari?" lanjut Bu Rahma seolah seorang salesman yang sedang mempromosikan sebuah produk.

"Ketuaan, Bu. Sama ibu aja selisih umurnya cuma 6 tahun. Dia lebih pantas jadi omnya Za daripada suami."

Bu Rahma mendesah pelan. Sudah dapat dia duga jika Za sebenarnya ingin menolak lamaran Fadhil namun dia mungkin merasa segan untuk menolak terang-terangan.

"Fadhil itu usianya memang sudah kepala empat. Tapi kamu juga sudah lihat sendiri wajah dia masih seperti umur tiga puluhan," ujar Bu Rahma menanggapi ucapan Za. Dan Za tidak menyangkalnya. Fadhil terlalu imut untuk dikatakan pria berusia 40 tahun.

Perhatian Za beralih pada ponsel di meja yang berdenting. Tangannya terulur meraih benda pipih itu. Dahi Za mengernyit melihat nomor tak dikenal yang mengirim pesan. Ibu jarinya mengetuk layar sehingga muncul sederet pesan dari orang yang memperkenalkan diri bernama Fadhil. Bibir Za tertarik membaca deretan pesan dari pria yang baru saja melamarnya itu.

"Dari siapa sampai bikin kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Bu Rahma.

"Dari Mas Fadhil!" sahut Za mempertegas kata Mas. Karena ibu Za tidak suka jika Za menyebut Fadhil tanpa embel-embel Mas.

"Dia bilang apa?"

"Rahasia!" Za sengaja menggoda ibunya yang sudah pasti tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.

Terpopuler

Comments

momnaz

momnaz

bagus...aku suka kisah sederhana... bosen sama CEO CEO an....

2023-10-04

0

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

😁😆😆

2023-09-28

1

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Assalamu'alaikum
read ya Thor...

2023-09-28

1

lihat semua
Episodes
1 Dilamar
2 Keraguan
3 Menolak
4 Kedatangan Sepupu
5 Jalan Dengan Bian
6 Membicarakan Perjodohan
7 Lamaran Bian
8 Mendadak Menikah
9 Nasib Jomblo
10 Ternyata Dia
11 Kencan Dadakan
12 Mengantar Pulang
13 Ups! Kena Deh
14 Ajakan Menikah
15 Za Sakit
16 Rencana Konyol
17 Membeli Cincin
18 Sah
19 Satu Kamar
20 Pulang Ke Rumah Fadhil
21 Perlakuan Buruk
22 Kejutan Dari Keluarga Fadhil
23 Kembali Ke Sekolah
24 Sesungguhnya Fadhil
25 Sore Pertama
26 Pertengkaran
27 Sang Penggoda
28 Berulah
29 Tempat Tinggal Baru
30 Pindah
31 Resign
32 Gara-Gara Burung
33 Masa Lalu
34 Permintaan Za
35 Ingin Hamil
36 Intimidasi
37 Rasa Bersalah
38 Alya Hamil
39 Negatif
40 Kenyataan Menyakitkan
41 Galau
42 Traktiran Ghani
43 Menjenguk Bayi Fatma
44 Safira Sakit
45 45. Tertipu
46 Lany Berubah?
47 Masakan Lany
48 Meminang
49 Terungkap
50 Marahnya Fadhil
51 Tetangga Julid
52 Menunggu Kabar
53 Kabar Duka
54 Bayi Siapa?
55 Membeli Kebutuhan Alif
56 Menjadi Ibu Baru
57 Keinginan Fadhil
58 Kejutan Anniversary
59 Gagal
60 Family Time
61 Pulang Ke Rumah Ibu
62 Cemburu
63 Lupa Marah
64 Ancaman
65 Kedatangan Tante Sarah
66 Batal Menggugat
67 Telat
68 Bersikap Aneh
69 Penolakan Za
70 Berselisih
71 Batal Pulang
72 Kekhawatiran Ibu
73 Ngidam
74 Ayah Alif
75 Perdebatan
76 Membuat Janji
77 Safira Jatuh Cinta
78 Belum Move On
79 Kamu!
80 Baby Girl
81 Besok Nikah
82 Pertentangan
83 Ending
Episodes

Updated 83 Episodes

1
Dilamar
2
Keraguan
3
Menolak
4
Kedatangan Sepupu
5
Jalan Dengan Bian
6
Membicarakan Perjodohan
7
Lamaran Bian
8
Mendadak Menikah
9
Nasib Jomblo
10
Ternyata Dia
11
Kencan Dadakan
12
Mengantar Pulang
13
Ups! Kena Deh
14
Ajakan Menikah
15
Za Sakit
16
Rencana Konyol
17
Membeli Cincin
18
Sah
19
Satu Kamar
20
Pulang Ke Rumah Fadhil
21
Perlakuan Buruk
22
Kejutan Dari Keluarga Fadhil
23
Kembali Ke Sekolah
24
Sesungguhnya Fadhil
25
Sore Pertama
26
Pertengkaran
27
Sang Penggoda
28
Berulah
29
Tempat Tinggal Baru
30
Pindah
31
Resign
32
Gara-Gara Burung
33
Masa Lalu
34
Permintaan Za
35
Ingin Hamil
36
Intimidasi
37
Rasa Bersalah
38
Alya Hamil
39
Negatif
40
Kenyataan Menyakitkan
41
Galau
42
Traktiran Ghani
43
Menjenguk Bayi Fatma
44
Safira Sakit
45
45. Tertipu
46
Lany Berubah?
47
Masakan Lany
48
Meminang
49
Terungkap
50
Marahnya Fadhil
51
Tetangga Julid
52
Menunggu Kabar
53
Kabar Duka
54
Bayi Siapa?
55
Membeli Kebutuhan Alif
56
Menjadi Ibu Baru
57
Keinginan Fadhil
58
Kejutan Anniversary
59
Gagal
60
Family Time
61
Pulang Ke Rumah Ibu
62
Cemburu
63
Lupa Marah
64
Ancaman
65
Kedatangan Tante Sarah
66
Batal Menggugat
67
Telat
68
Bersikap Aneh
69
Penolakan Za
70
Berselisih
71
Batal Pulang
72
Kekhawatiran Ibu
73
Ngidam
74
Ayah Alif
75
Perdebatan
76
Membuat Janji
77
Safira Jatuh Cinta
78
Belum Move On
79
Kamu!
80
Baby Girl
81
Besok Nikah
82
Pertentangan
83
Ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!