Za berdehem pelan sebelum memberikan jawaban untuk pria yang duduk tenang di depannya. Sementara orang tuanya terlihat harap-harap cemas menanti jawaban Za.
"Bismillah, saya ucapkan terima kasih karena Mas Fadhil telah bersabar untuk menunggu jawaban dari saya selama satu minggu ini. Dan saya juga minta maaf karena saya....belum bisa menerima pinangan Mas Fadhil."
"Za!" Bu Rahma terkejut dengan jawaban putrinya meski sejak awal dia menduga jika Za akan menolak.
"Maaf, semua bukan karena Mas Fadhil. Tapi karena diri saya sendiri yang merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Mas Fadhil. Sekali lagi saya mohon maaf," ucap Za lagi.
Bohong jika Fadhil tidak kecewa. Meski dibalut dengan senyum tipis, kekecewaan laki-laki itu tetap tampak dari sorot mata.
Za menunduk saat tatapan mereka tanpa sengaja beradu. Ada rasa iba yang menyelinap. Namun dia menepisnya. Za tidak ingin tiba-tiba berubah pikiran hanya karena rasa kasihan.
"Terima Kasih, Dek. Suka atau tidak mungkin ini yang terbaik. Saya tidak bisa memaksakan keinginan saya. Saya ikhlas dengan keputusan Dek Za," jawab Fadhil setelah menerima keputusan Za.
Za mengangguk pelan. "Terima kasih atas kebesaran hati Mas Fadhil. Semoga Mas segera dipertemukan dengan wanita yang lebih pantas menjadi pendamping hidup Mas Fadhil."
Fadhil kembali mengulas senyum tipis. Lelaki itu pun berpamitan setelah berbasa basi sebentar dengan kedua orang tua Za. Tidak lebih dari lima menit. Dan kali ini Za ikut mengantar sampai di depan teras. Za manusia biasa yang tentunya masih punya hati untuk memahami perasaan orang. Terlebih dia lah yang menyebabkan Fadhil pulang membawa hati yang mungkin telah patah.
"Za! Ibu ingin bicara sama kamu!" Ibu mencegah Za yang hendak masuk ke dalam kamar selepas mengantar Fadhil ke depan. Mendengar dari nada bicaranya, Za sudah bisa menebak jika ibunya pasti akan marah besar.
"Duduk, Za!" titah sang ibu dengan raut wajah yang terlihat menahan marah.
Za menurut. Duduk kembali ke sofa ruang tamu tanpa protes sedikit pun. Kali ini dia harus mengaku salah. Salah karena membuat ibunya lebih lama menunggu untuk mempunyai menantu dan juga cucu.
Za bersiap menebalkan telinga karena omelan ibunya sudah pasti lebih pedas dari seblak level sepuluh jualan Ce Imah, tetangga sebelahnya.
"Ibu nggak ngerti sama kamu Za. Sebenarnya laki-laki yang bagaimana yang kamu inginkan. Fadhil kurang apa, Za?" Bu Rahma menahan geram.
"Kalau kamu tetap seperti ini, Ibu akan menyetujui usulan Budhe Nur untuk menjodohkan kamu dengan Bian," lanjut Bu Rahma dengan tegas.
Za terbelalak. Bian memang bukan orang asing baginya. Mereka saudara sepupu. Hubungan mereka bahkan sangat dekat. Bian sosok kakak yang begitu penyayang, melindungi Za selayaknya adik kandung. Dan niat Budhe Nur untuk menjodohkan Za dengan Bian sudah tercetus sejak Za masih duduk di sekolah menengah atas. Sampai sekarang niatan itu tidak pernah terwujud bahkan hingga Budhe Nur meninggal.
"Memangnya nggak ada orang lain sampai harus menikah dengan sepupu sendiri?" protes Za.
"Orang lain siapa? Haris dan Zidan kamu tolak dengan alasan mereka belum mapan. Dan sekarang Fadhil kamu tolak tanpa alasan yang jelas. Kamu benar-benar bikin malu. Mau ditaruh mana muka Ayah kalau ketemu Pak Cipto nanti," ucap Bu Rahma dengan sengit.
"Bu, Za bukan tanpa alasan menolak Fadhil," sahut gadis itu membela diri.
"Bukan tanpa alasan? Memangnya apa yang yang membuat kamu menolak dia? Karena usianya? Kamu bilang tidak pantas mendampingi dia? Fadhil yang memilih kamu, itu artinya dia merasa kamu pantas menjadi istrinya. Dia tidak pernah menuntut kamu harus memiliki kelebihan ini itu. Lalu alasan apa yang membuat kamu merasa tidak pantas?"
Za hanya bisa menghela nafas mendengar ibunya yang seolah mendominasi pembicaraan. Ibunya memang selalu seperti itu. Berapi-api setiap kali ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Bahkan ayah Za yang sejak tadi duduk bersama mereka pun hanya diam saja.
"Coba kamu katakan apa alasan kamu menolak Fadhil, Za. Supaya Ayah punya jawaban jika Pak Cipto menanyakan tentang hal ini," ujar ayah Za akhirnya. Suaranya terdengar tenang membuat Za melunak.
"Za ….beberapa hari yang lalu nggak sengaja bertemu Fadhil di lampu merah. Dia naik motor bersama seorang perempuan."
"Lalu apa hubungannya, Za? Bisa jadi itu adiknya," sela Bu Rahma memotong ucapan Za.
"Ibu lupa kalau Fadhil nggak punya adik. Kakak laki-laki satu-satunya pun sudah meninggal." Za menyangkal perkataan ibunya yang masih saja memihak Fadhil.
"Barangkali temannya atau saudaranya," sahut ibu Za.
"Nggak mungkin, Bu. Kalau cuma teman duduknya serapat itu, bahkan sampai pegang-pegang. Kalau seperti itu berarti Mas Fadhil nggak bisa menjaga batasan dengan lawan jenis. Akan semakin jelas alasan Za menolak. Karena Ibu sama Ayah pasti tidak mau kan punya menantu yang suka pegang-pegang wanita yang bukan mahrom sembarangan?"
"Astaghfirullah. Harusnya kamu tabayyun dulu. Jangan asal menolak seperti tadi."
"Dia pasti beralibi kalau Za bertanya tentang hal itu, Bu. Laki-laki mana mau ngaku kalau kelakuannya nggak benar. Beruntung Za diperlihatkan semuanya sebelum menerima dia. Mungkin lewat perantara itulah jawaban doa Za."
Alasan Za sepertinya tidak bisa diterima begitu saja oleh ibunya. Wanita itu menyesalkan kenapa putrinya tidak mengatakan hal itu sebelum membuat keputusan. Namun Za tetaplah Za. Gadis dengan prinsip yang begitu kuat. Apa yang sudah dia putuskan, sulit untuk tergoyahkan.
"Tadi malam Bian menelepon Ibu. Dia akan pulang besok pagi untuk nyekar ke makam Pakdhe dan Budhe. Besok kita bicarakan tentang hal ini setelah Bian sampai di sini. Ibu nggak mau tahu, kamu harus menerima perjodohan ini."
"Bu, Za nggak mau nikah sama Mas Bianl. Dia itu kakak Za."
"Tidak ada larangan bagi kalian untuk menikah," ucap Bu Rahma bersikeras.
"Ayah! Kenapa diam saja! Za nggak mau nikah sama sepupu sendiri, Yah." Za merengek pada ayahnya. Pria itu pun tahu bagaimana jika istrinya sudah punya keinginan. Watak yang menurun pada putrinya.
"Kalau kamu tidak mau menikah dengan Bian, Ibu beri kesempatan kamu untuk menemukan pria yang menurutmu lebih baik dari Bian."
Za mendesah pelan. Mencari laki-laki yang lebih baik dari Bian seperti mencari jarum dalam jerami bagi Za. Baginya, laki-laki terbaik setelah ayahnya adalah Bian. Karena dia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain selain Bian. Semua kriteria yang dia inginkan untuk menjadi suami ada dalam diri sepupunya itu. Namun untuk menikah dengan sepupu sendiri Za tidak mau meskipun diperbolehkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Eliani Elly
lanjut
2023-08-17
0