Tak Sebaik Dulu

Setelah malam itu, mas Gibran tidak keluar dari kamar sama sekali. Makan malam yang sudah Aku siapkan pun tidak dia makan apalagi dia sentuh, dilihat saja tidak. Padahal dulu mas Gibran paling suka masakan buatan Aku, terkadang dia request makanan yang dia suka, tapi sekarang tidak lagi.

Di sini terkadang seorang istri merasa masakan yang dia buat sia-sia. Itu sama halnya tidak menghargai kerja keras istri, rela berjam-jam bergelut di dapur, yang terkadang berpenampilan berantakan. Belum lagi pisau yang terkadang tergores di tangan saat memotong bawang dan sayuran. Bukankah itu juga salah satu perjuangan seorang istri jika sedang memasak? Lalu kenapa terkadang suami tidak menghargainya dengan alasan sudah makan di luar.

Ingin Aku berpikir positif, tapi hatiku merasa terganggu dengan kejadian saat ini yang sudah tidak bisa dikontrol lagi. Ini sudah terlalu lama dengan sikap mas Gibran yang aneh plus buruk di mataku. Aku yakin pasti ada sesuatu yang membuat mas Gibran berubah terhadapku. Aku akan memastikan hal itu, agar hatiku tenang dan masalah pun beres.

"Mas, kamu sudah tidur?" pelan-pelan Aku bertanya sembari duduk di sisi ranjang.

"Mas ... Mas ... Kamu sudah...."

"Sstttt, bisa diem nggak sih? Aku mau tidur. Capek tau nggak!" bentak mas Gibran yang memotong ucapanku.

Aku sontak kaget, nggak biasanya mas Gibran bentak Aku seperti itu, apalagi nadanya naik turun seolah sedang marah padaku. Ya, mas Gibran langsung bangkit dari tidurnya karena Aku membangunkannya. Matanya tajam seolah ingin memangsaku, dalam artian seperti ingin membunuhku. Aku seperti musuh baginya.

"A-aku ingin bicara sama kamu Mas," ucapku dengan gugup.

"Kamu tau ini malam, waktunya tidur bukannya bicara. Besok saja, Aku lelah banget hari ini, ok!" mas Gibran merebahkan kembali tubuhnya di ranjang.

"Apa kamu ada waktu untuk kita bicara besok?" tanyaku menahan sesak di dada.

Tidak ada jawaban dari mas Gibran.

"Kenapa diam? Nggak ada kan? Kamu sekarang selalu sibuk sama diri kamu sendiri sampai lupa sama Aku, Mas. Aku nggak tau apa masalah kamu? Atau Aku ada salah sama kamu? Bilang sama Aku, Mas!" tanyaku kembali.

Lagi-lagi tak ada jawaban dari mas Gibran. Aku yakin mas Gibran belum tidur, pasti dia sengaja tidak menjawab pertanyaan dariku.

"Mas, please jangan buat Aku merasa bersalah karena sikap kamu yang berubah, Mas!" suaraku kali ini sedikit keras.

BUGH

Tangan mas Gibran memukul kasur dengan keras hingga membuat tubuhku bergetar.

"Amanda cukup, jangan bicara lagi. Kepalaku pusing tau nggak? Emangnya sikap aku berubah gimana sama kamu, hah? Kamu aja yang lebay tau nggak, baperan banget sih jadi cewek," mas Gibran merasa dirinya tidak bersalah sama sekali, dia malah mengejekku.

"Bahkan kamu tidak lagi memanggilku dengan panggilan 'sayang'. Kamu nggak perhatian kayak dulu sama Aku. Belakangnya ini kamu cuekin Aku, kamu dingin sama Aku. Kadang juga kamu marah-marah nggak jelas sama Aku," ungkap ku dengan jujur.

Mas Gibran bangkit kembali dari tidurnya, dia menoleh ke arahku. Tersirat sekali matanya memerah, seperti menahan sesuatu, tangannya terkepal dengan kuat. Sebenarnya Aku takut sekali padanya saat ini. Jujur Aku takut mas Gibran memukulku. Kalau itu sampai terjadi, maka selama ini kebaikan mas Gibran ternyata palsu. Aku sudah salah memilih suami. Sifatnya yang pecundang tidak bisa Aku terima.

Aku menunduk, mengusap air mata yang telah mengalir di pipiku. Rasanya Aku tidak sanggup bila suamiku berubah menjadi monster yang mengerikan.

"Aku nggak bisa tidur sama orang yang cengeng kayak kamu!" sentak mas Gibran.

Dia turun dari ranjang, laju berjalan keluar meninggalkan Aku sendirian di kamar.

BRAKKK

Dia menutup pintu dengan sangat kuat. Sangat tidak disangka bila mas Gibran akan semarah ini. Sifatnya sangat bertolak belakang dari yang dulu. Mas Gibran yang terkenal sangat baik, ramah, ceria, sangat menghargai perempuan. Jangankan membentak, marah pun tidak pernah sama sekali dia melakukannya padaku. Tapi sekarang 180 derajat berubah menjadi suami yang tidak Aku kenal.

Ini pertama kalinya Aku dan mas Gibran bertengkar hebat sampai-sampai kami pisah kamar. Sungguh menyakitkan hati. Aku menangis tiada henti sembari memikirkan penyebab mas Gibran berubah menjadi suami yang nyatanya tidak sesuai dengan janji manisnya dulu saat menikahi ku.

Pagi pun kembali menyinari bumi, hari yang begitu cerah, tapi tidak secerah hatiku. Pagi ini Aku menyiapkan sarapan untuk mas Gibran. Sedari tadi Aku sibuk di dapur sedangkan mas Gibran bersiap-siap di kamar. Sengaja Aku membiarkan kamarku hanya dihuni olehnya, karena Aku tidak ingin membuat suasana buruk di pagi hari.

Aku menunggu mas Gibran turun dari kamar. Aku akan melupakan kejadian kami semalam, seolah tidak terjadi apa-apa. Dan sekarang Aku harus bisa melembutkan hati mas Gibran kembali apapun caranya. Aku seorang istri dan tugasku adalah melayani suami dengan baik. Aku harus sabar menerima keburukannya.

"Pagi Mas, Aku sudah buatkan kamu sarapan. Kita sarapan bareng ya," dengan senyuman manis Aku merangkul lengan mas Gibran.

Akhirnya mas Gibran mau menerima ajakan ku walaupun ekspresi wajahnya datar.

Aku melayaninya dengan baik, mulai dari makanan dan minuman yang dia suka. Aku senang mas Gibran mau sarapan denganku. Tapi ada satu yang kurang, yaitu keceriaan. Lagi-lagi Aku merasa diabaikan. Tidak ada percakapan. Mas Gibran melahap sarapannya dengan memainkan ponselnya tanpa peduli padaku. Suasana pun menjadi sunyi karena diamnya mas Gibran.

"Nanti malam kamu mau makan apa, Mas?" tanyaku dengan lembut.

Tiba-tiba mas Gibran bangkit dari duduknya sembari mengambil jas yang kemudian ditaruh di lengan kirinya.

"Tidak perlu, mungkin aku pulang malam," sahut mas Gibran hendak melangkah.

"Pulang malam lagi?" tanyaku bernada cemas dan rasa penasaran.

Mas Gibran menoleh tajam ke arahku.

"Jangan memulai pertengkaran, aku sibuk pagi ini," tekan mas Gibran dan berlalu pergi.

Sibuk, sibuk dan sibuk, selalu itu yang dia katakan. Aku hanya tersenyum hambar bercampur dengan air mata yang tidak bisa Aku tutupi. Seketika Aku lemas. Untung saja ada pelayan yang menahan tubuhku. Kalau tidak, bisa dipastikan Aku sudah terkulai lemah di lantai.

Aku duduk dengan menangkupkan tangan di meja sambil menutupi wajahku. Aku menangis, jujur Aku sangat malu pada pelayan di rumah saat dia tahu hubunganku dan mas Gibran sedang tidak baik.

"Ini diminum dulu airnya, Buk. Sabar ya, Buk. Nanti pak Gibran juga baik lagi kalau emosinya reda," pelayan memberiku air minum sembari menghiburku.

Aku menangis terisak. Ini sudah yang kesekian kalinya, Aku berusaha bersabar dan bersikap lembut pada mas Gibran, tapi tetap saja Aku tidak bisa meredakan kemarahannya.

Terpopuler

Comments

Lela Lela

Lela Lela

kasiaan amanda

2024-05-21

0

Sandi Wara

Sandi Wara

apa kamu ngak ngerasa klau kamu brubah sikap kamu toh gibran? hemm klapukkk tonjok aja tuh kepalanya manda

2023-08-21

0

Salsabila Cacha

Salsabila Cacha

walaupun capek pulang kerja tp setidakya luangkah lah wktu sdikit utk istrimu gibran. jgn mrah mrah gtu donk

2023-08-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!