"Papa akan membebaskan kamu dengan satu syarat!"ucap Galuh pada Ayara saat kembali bertandang ke kantor polisi. Ayara yang penampilannya sudah urakan, segera mengangguk.
"Katakan apa yang harus Yara lakukan, Pa. Yara akan lakukan apapun!" Ayara berkata dengan sungguh-sungguh, sangking putus asanya. Matanya memerah menahan tangis.
Ratih melirik suaminya yang menghela nafas sebelum mengatakan syaratnya. Ratih menggenggam jemari Galuh lalu menatap lekat putrinya, serius. "Kau harus berjanji. Apapun syaratnya, kau tidak akan menolaknya!"tegas Ratih. Ia sangat takut keras kepala putrinya.
"Janji! Yara janji! Yara akan jadi anak baik. Kuliah baik-baik, lulus lalu membantu Papa di perusahaan," jawab Ayara sungguh-sungguh.
"Kalau begitu kamu harus menikah dengan pemuda yang kamu tabrak tadi malam."
Deg!
Seakan jantungnya berhenti berdetak. Sebuah syarat yang tak pernah terbayang.
"M-menikah?"
*
*
*
Tak pernah terbayang oleh Nalendra jika ia akan terkena musibah kecelakaan. Malam tadi, ia sedang dalam perjalanan pulang dari studio lukis. Jelas terekam di benaknya bahwa lampu lalu lintas sudah berubah hijau di jalurnya dan BRAKKK!!
Dirinya terpental. Matanya terkena serpihan, membuatnya meraung sakit. Lalu … kesadarannya terenggut. Dan kini, Nalendra menyadari bahwa dirinya sudah sadar dan matanya ditutup dengan perban. Perih, sakit namun ketakutannya lebih besar dari pada itu.
Dirinya tak banyak mengeluarkan suara. Tak tahu hari malam atau siang.
Gelap!
Gelap!
Dan Gelap!
Lebih Gelap daripada saat malam hari dan listrik di rumah mati!
Nalendra meremas selimut. Gelombang keresahan semakin besar.
Aku buta?!
Tidak mungkin, mengapa aku bisa buta? Mengapa aku jadi buta?!
Bagaimana?!
BAGAIMANA CARAKU HIDUP JIKA MATAKU BUTA?!
Pekerjaannya mengandalkan penuh indra penghilatannya. Lantas, jika tidak bisa melihat, bukankah hatinya akan semakin terluka? Kembali ke rumah yang dirasanya neraka itu?! Padahal dirinya sudah sangat senang dengan kehidupannya, mengapa … MENGAPA KECELAKAAN HARUS MENIMPA DIRINYA?!
Apakah Tuhan tidak senang melihatnya bahagia?
Ataukah karena ia melawan Papanya?
Tapi, ia hanya mengikuti kata hatinya? Apakah salah? Sedang Papanya lalai terhadap dirinya?!
Nalendra menggigit bibirnya. Merasa matanya basah dan perih, sangat perih namun ia tidak mengeluarkan tangis.
“YA ALLAH!! MATA KAK NALEN BERDARAH, MAMA, PAPA!!”
Nalendra mendengar suara adik bungsunya, Nalan. Tak lama, terdengar suara panik orang tuanya. Dan lalu ada yang menyentuh area matanya, sepertinya dokter.
“Mas Nalen sudah sadar?” Dokter menyapa. Nalendra mengangguk pelan. “Mengapa nangis, Mas?”tanyanya perhatian.
“Saya … buta, Dok?”tanyanya terbata, pelan. Sontak, itu membuat tangis Bianca dan adik-adiknya pecah. Sedang Widi menatap lekat sang putra sulung.
Dokter tersenyum tipis, ia tidak bisa memberikan kepastian. “Mas Nalendra harus berdoa, yakin apapun yang terjadi nanti sudah kehendak-Nya. Sedih boleh. Namun, jangan memperparah kondisi Masnya, setuju?" Dokter memberikan sugesti.
Nalendra tersenyum nanar. Dalam hatinya berdoa, berharap meskipun hanya secuil, ada keajaiban.
Kini, dokter sudah membuka perban yang menutupi mata Nalendra, membersihkan air mata bercampur darah yang berada di sekitar matanya. Sesekali, Nalendra meringis. Matanya masih terpejam. Dokter memberi instruksi untuk membuka mata perlahan.
Gelap.
Pupuslah secuil harapan itu. "Gelap. Saya buta," ucap Nalendra hancur.
Bianca gegas mengusap lembut bahu putranya. Memberikan penguatan.
Dokter menghela nafas pelan. Takdir telah berbicara. "Jangan terlalu sedih, Mas Nalen. Saat ini, indra penglihatan Anda memang tidak berfungsi. Namun, bukan berarti selamanya seperti itu. Jika Mas bersedia, kami akan mencarikan donor mata yang cocok untuk Mas Nalen," ujar dokter menenangkan. Dirinya sudah tahu latar belakang Nalendra. Mereka mampu untuk itu.
"Ya, benar. Papa akan carikan donor untukmu," imbuh Widi. Nalendra tidak menjawabnya. Ia lalu beringsut, menarik selimut lalu memejamkan matanya. Nalendra sangat lelah.
*
*
*
“Makan dulu, Nalen. Mama suapin, ya?”bujuk Bianca Sejak sadar, selain minum, Nalendra tidak mengkonsumsi apapun. Berdiam diri tanpa mengatakan apapun. Kekhawatiran Bianca tak berkurang. Putranya yang biasa energik kini sangat murung.
“Nalen nggak lapar, Ma,” jawab Nalendra. Wajahnya menatap ke arah Bianca, mengandalkan pendengarannya. Sungguh, Nalendra tidak lapar lagi tak ada selera makan. Semangatnya menguar, pergi dari jiwanya.
“Tapi, kamu belum makan apapun sejak siang, Nak. Sekarang sudah malam. Ayo makanlah, barang sedikit agar kamu cepat sehat kembali. Jangan sengsarakan tubuhmu sendiri, Nalen,” bujuk Bianca lagi. Di tangannya ada nasi lengkap dengan lauknya, bukan makanan rumah sakit melainkan dari dapur rumah Nalendra.
“Ayo, Mama suapin. Buka mulutnya, Nalen,” ujar Bianca lagi, kini mengarahkan sendok ke dekat bibir Nalen, berharap Nalen mau membuka mulutnya.
“Mamamu pasti sedih jika kamu seperti ini, Nalen.”
Nalendra bergeming lalu ia mulai membuka mulutnya, menerima suap demi suap dari Bianca dan hanya mampu lima suap. Selesai makan dan berdiam diri beberapa menit, Nalendra membaringkan tubuhnya dibantu Bianca. Dengan sayang diselimutinya Nalen, lalu Bianca mengusap lembut wajah sang putra yang sangat mirip dengan suaminya. “Cepat sembuh, Nak. Jangan putus asa, kami bersama denganmu.”
*
*
*
“Siapa?” Nalendra bertanya waspada saat mendengar suara langkah kaki mendekati ranjangnya. Setahunya Bianca pamit pulang dan ini baru beberapa menit.
“Ini Papa, Nak.” Widi duduk di kursi dekat ranjang. Raut wajah Nalen langsung masam, ia memalingkan wajahnya.
“Sudah lebih baik?” Meski tak ada tanggapan, Widi tetap tersenyum. Ia tahu benar mengapa Nalendra tidak menyukai dirinya. Kesalahan masa lalu dan dirinya yang tak mendukung Nalendra hingga anaknya berontak fatal lalu meninggalkan rumah.
Widi menyentuh dadanya, nyeri ia rasakan. “Anda senang kan melihat kondisi saya. Ya, Anda pasti senang karena akhirnya saya … tidak akan bisa melukis lagi,” ucap Nalendra dingin, tak menghilangkan getir di hatinya. Sesak. Ia ingin mengamuk namun tak ada tenaga untuk itu.
Widi menggeleng keras, “bukan seperti ini, Nak.”
“Papa … lebih baik kamu tetap melukis daripada seperti ini.” Tergugu. Sayang Nalendra tidak peduli.
“Terlambat. Tak ada yang perlu ditangisi,” sinis Nalendra.
Widi menghela nafas. Niatnya datang hari ini adalah untuk menyampaikan pembicaraan dengan Galuh dan Ratih. “Apa kamu ingat sahabat Mamamu, Ratih dan Galuh?”tanya Widi.
Mendengar dua nama itu, Nalendra mengernyitkan dahinya. Atensinya kembali pada Widi. “Wajar jika kamu lupa, sudah belasan tahun tidak bertemu. Maaf baru membahas hal ini, kemarin pagi, mereka datang melihat kamu.” Widi menjeda ucapannya untuk melihat ekspresi Nalendra. Terheran, bingung dan ada rindu pada sorot matanya.
Ratih dan Galuh, nama yang belasan tahun tak ia dengar. Lama mereka tidak bertemu lagi. Dulu mereka sangat dekat. Belasan tahun lamanya, ingatan tentang keduanya segar di ingatan Nalendra. “Mereka datang? Mengapa?”
Tentu bukan suatu kebetulan semata. Sudah belasan tahun mereka loss kontak. Otak cerdas Nalendra langsung menganalisis. Widi menghela nafas, tentu putranya menangkap kejanggalan. “Yang menabrak kamu adalah putri mereka, Ayara Dahayu.”
Deg.
Nama yang juga sudah lama tak Nalendra dengar. Ayara Dahayu, kepingan ingatan masa lalu maju ke depan. Mengingat itu, Nalendra tak sanggup menahan air matanya. Gegas Widi menyekanya, takut luka di mata Nalendra tambah parah.
Belasan tahun tak bertemu ternyata dipertemukan seperti ini, takdir apa yang akan ia jalani? Jalan cerita seperti apa yang akan ia jalani?
Tadinya, Nalendra tak peduli dengan pengemudi yang menabraknya karena ia yakin Widi akan mengurusnya, entah dipenjara atau selesai dengan kekeluargaan, Nalendra lepas tangan untuk itu. Akan tetapi, sekarang sudah lain cerita. Tak mungkin ia memenjarakan teman masa kecilnya, anak dari sahabat dekat mamanya. “Lalu bagaimana?”
Widi tersenyum kecil. Syukurlah Nalendra menanggapi. Keluarga Galuh memang memiliki kesan tersendiri bagi Nalendra. “Mereka akan bertanggung jawab.”
“Mencarikan aku donor mata?”tanya Nalendra memastikan. Widi mengangguk meskipun Nalendra tidak tahu.
“Dan menikah dengan Ayara.” Bola mata Nalendra membulat seketika.
“Menikah?”tanyanya memastikan telinganya berfungsi dengan baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
raazhr_
ga adil ya Nalen? yg sabar ya udah takdir dari author🤧✌️
2023-08-27
0
raazhr_
sabar ya Nalen, jgn patah semangat gitu dong🤧
2023-08-26
0
raazhr_
hayoloh
2023-08-26
0