"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Nafis yang sedang menata makanan dimeja.
"Loh? Ayah belom ke kampus?"
"Jadwal ngajar Ayah sore, cepat kalian makan, Ayah masih ada kerjaan di dapur."
"Yah? Kenapa masaknya banyak banget? Apa gak mubazir?" Tanya Heyden yang langsung duduk di meja.
"Kalo mubazir, buang aja ke perut Luve, semua makanan pasti masuk," canda Nafis membuat Luve merungut kesal.
"Tempat sampah kali." Tawa Dylan.
"Ayah juga makan, kenapa masih di dapur?" Tanya Lintang.
"Ayah mau mencuci panci dulu, kalian makanlah."
"Udah biarin aja Yah! Nanti Dylan aja yang nyuci sekalian sama piring-piring."
Nafis tersenyum, "kamu emang yang paling peka," Dylan tersenyum mendengarnya.
"Ngomong-ngomong, nanti temenin aku ke pasar ya?"
"Ngapain?" Tanya Nafis heran.
"Beli Be-Ha!"
"Uhuk!" Luve melotot saat mereka tersedak secara bersamaan. Ia mengerinyit saat melihat tatapan horor ketiga laki-laki di depannya.
"Kenapa? Gak ada yang mau nemenin?" Heran Luve.
"Luve itu udah harus pake Be-Ha, bukan lagi pake singlet, soalnya sesek. Nih liat dada Luve udah besar!"
Lagi-lagi perkataan Luve sukses membuat mereka tersedak.
"Ayah ada urusan nanti setelah makan, gak bisa temenin kamu pergi," Dylan melotot menatap Nafis.
"Kalo—
"Aku pergi nemenin ayah, soalnya udah janji?" Dylan menatap Nafis penuh permohonan.
"Kalo gitu Luve sama kak Ai," Heyden menelan salivanya kasar.
"Kakak ada tugas banyak, Luve," bohong Heyden.
"Loh! Gak ada yang mau temenin Luve nih ceritanya? Kalo Luve kesasar gimana? Kalo Luve ilang gimana? Kalo Luve ketemu orang asing gimana?"
Lintang menarik turun tangan Luve yang memegang dadanya sendiri.
"Nanti kakak temani." Ujar Lintang, membuat Luve tersenyum lebar.
"Maka dari itu cepat habisin makanan kamu!" Luve mengangguk semangat.
"Emang kak Lintang doang yang ada dikala Luve susah!" Cibir Luve.
...***...
Disinilah Luve berbaring di tempat tidur sambil meraung kesakitan, karena hari pertama menstruasi.
"Ini kakak udah beli pembalut sama minuman pereda nyeri, kamu pakai dulu, kakak mau buat air panas." Luve langsung melesat ke kamar mandi.
Langkah Heyden terhenti karena kedatangan Lintang yang membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil.
"Assalamualaikum."
Dylan menghentikan langkahnya, saat mendengar suara tangis adiknya.
Ia berjalan memasuki kamar Luve yang kosong, tapi suara tangis itu terdengar jelas dari kamar mandi.
Tok! Tok
"Luve? Kamu kenapa? Kenapa nangis?" Khawatir Dylan.
Saat Dylan khawatir, ia selalu menggunakan nada dan perkataan yang jauh lebih lembut kepada adiknya.
Ceklek...
Bukannya menjawab pertanyaan kakaknya, Luve justru langsung berbaring tengkurap sambil merintih.
"Angkat sedikit baju kamu," pinta Lintang yang duduk di sisi ranjang.
Dengan telaten Lintang mengompres perut Live sesekali mengelusnya untuk mengurangi rasa sakit.
"Dia kenapa kak?" Dylan membungkukkan tubuhnya untuk melihat kondisi adiknya.
"Kamu kenapa nangis? Apa karena gak ada yang temenin kamu ke pasar, beli Bra?" Tanya Dylan sambil menyeka air mata adiknya.
"Kalo gitu, nanti kakak yang pergi bareng kamu," sambungnya.
"Sakit," Isak Luve.
"Dia kesakitan karena ini hari pertama menstruasi." Celetuk Heyden.
"Mana yang sakit?" Luve menyentuh perut, pinggang dan paha nya yang terasa nyeri.
"Kakak pijatin ya?" Luve hanya mengangguk saja.
Dylan dengan telaten memijat paha Luve dengan Heyden yang memijat pinggangnya, sedangkan perut Luve, Lintang yang mengompres dengan handuk hangat, sungguh enaknya punya kakak banyak.
"Udah mendingan?"
"Hm," sahut Luve.
"Apa kiranti nya udah kamu minum?" Tanya Heyden.
"Belom."
"Nanti langsung minum, biar lebih baik."
"Hm."
...***...
Lintang membuka perlahan pintu kamar Luve, netra nya langsung tertuju pada ketiga adiknya yang sedang tertidur pulas.
Pikirannya kembali melayang pada pembicaraan nya dengan Nafis.
"Tadi ayah pergi kontrol ke rumah sakit karena ada beberapa gejala baru yang muncul, awalnya dokter menyarankan untuk dirawat, tapi karena takut Luve curiga, ayah menolaknya."
"Mereka udah tau?"
"Dylan udah tau."
Nafis tersenyum melihat raut wajah khawatir yang begitu kentara di wajah putranya.
"Lintang?" Nafis meraih tangan nya dan menggenggamnya erat.
"Kalo suatu saat nanti ayah udah gak ada," Lintang langsung menarik tangannya menatap Nafis tak percaya.
"Maksud ayah ngomong gitu apa? Ayah pasti sembuh, ayah gak boleh ngomong gitu."
Nafis tersenyum kecil, ia menatap putranya yang tumbuh semakin tinggi dan dewasa.
"Namanya umur tidak ada yang tahu."
"Ayah hanya berpesan, kalo suatu saat ayah gak ada nanti, kamu udah tau tugasnya."
"Dan hal-hal yang gak boleh dilakukan, ayah titip Luve, Heyden sama Dylan. Meskipun kamu tidak begitu suka dengan Heyden. Ayah mohon jaga dia juga dan mereka, cintai mereka seperti ayah mencintai kalian."
Lintang menutup kembali kamar adiknya. Tanpa menyadari bahwa Heyden belum memejamkan matanya.
"Ayah sakit? Dan Dylan udah tau lebih dulu?"
...***...
Heyden berdecak kesal saat Luve tak henti-hentinya makan cokelat pemberian dari orang-orang yang menitipkan salam pada Luve untuk Heyden.
"Ini enak kak, rugi banget kalo ditolak," celoteh Luve yang diangguki oleh Dylan.
Duk!
Luve meringis saat dahinya membentur sesuatu yang keras, dan benar saja ia menabrak punggung Heyden yang berdiam diri begitu juga dengan Dylan.
"Kak? Kenapa di—
Deg!
Lidahnya terasa kelud saat ingin meneruskan perkataannya. Luve langsung berlari kebelakang tubuh Dylan.
Heyden mengepalkan kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih, entah sejak kapan pria paruh baya itu berada di dalam rumahnya.
"Woah! Terakhir ayah bertemu kamu, waktu itu kamu masih setinggi pinggang ayah, tapi lihat lah sekarang?" Saat pria itu ingin menyentuh bahu Heyden, tangan pria tersebut lebih dulu ditepis kasar olehnya.
Pria itu menyeringai menatap tangannya yang di tepis oleh putranya sendiri, "Ternyata dia merawat kamu dengan baik."
"Sejak kapan?" Tanya Heyden membuat pria itu terkekeh.
"Kamu bertanya tentang apa? Atau kaget melihat ayah tiba-tiba ada disini?" Tanya Caesar—Ayah kandung Heyden.
Tatapan Caesar terkunci dengan sosok gadis yang berdiri dibelakang putranya.
"Siapa dia?" Luve menjerit saat tubuhnya ditarik paksa oleh Caesar membuat Heyden dan Dylan panik.
Heyden yang ingin memukul ayahnya terhenti karena Luve yang menggelengkan kepalanya.
"Apa gadis ini adalah anak kecil yang waktu itu hampir ayah jual, Heyden?" Luve langsung menarik tangannya dari cengkeraman Caesar, membuat pria itu terkekeh.
"Jika kamu menyentuh nya sekali lagi jangan harap kamu keluar dengan keadaan utuh," pergerakan tangan Caesar yang ingin menyentuh wajah Luve terhenti karena ancaman putranya.
Netra Caesar menyorot Heyden tajam. Tubuh Heyden tertarik ke depan saat Caesar menarik kerah bajunya tiba-tiba.
"EMANG KAMU BISA APA? HAH!"
Srek! Bruk!
Luve memekik kaget saat kemunculan Lintang yang tiba-tiba langsung mendaratkan sebuah Bogeman pada wajah Caesar.
Caesar menoleh terkekeh kecil. "Berani menyentuh adik-adik saya? Saya pastikan kamu bukan lagi mendekam di balik jeruji, melainkan mendekam di dalam bumi!" Ujar Lintang penuh penekanan.
"Om? Mending pergi dari sini!" Usir Dylan.
Luve mengelus lembut lengan Heyden yang menegang karena emosi.
Caesar menyeringai mendengar perkataan yang Dylan lontarkan, "Ini rumah saya, hak saya mau pergi atau tidak."
Luve menjerit kecil saat Heyden yang langsung menarik tubuh Caesar untuk keluar.
"Jangan pernah usik keluarga ini, atau saya gak akan segan-segan dengan kamu!" Heyden langsung menutup kasar pintu rumahnya.
Dylan mengepalkan tangannya erat, ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi di kelurganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments