"Oke, buktikan!" tantang Nino santai. "Cewe kedua dari kiri yang rambut pendek, ada berapa tahi lalat di wajahnya?"
"Tiga; dua sebelahan di atas alis kirinya sama satu lagi di pipi kanan agak deket telinga."
"...." Nino melongo tak habis pikir. Entah si Alvan kelewat pede ngarang semua nya atau memang dia benar-benar bisa melihatnya.
"Pertanyaan berikutnya, biar ngga bolak-balik ntar."
"Me-merek bolpen yang lagi dipake nulis cewe yang pake kerudung?"
"Astronot."
"Judul buku paling atas di meja?"
"Empat Cowok Jamblang."
"Njir judul buku apaan tuh?"
"Novel rom-com karya Dul Temonggar."
"Dul siapa—ah ngarang semua lu yak?"
"Cek aja kalo ngga percaya." sahut Alvan yakin.
Dengan tergesa-gesa dan rasa tak percaya Nino melesat menghampiri kerumunan murid cewek di luar kantin. Alvan memperhatikan gelagat Nino yang akward, sempat tersedak pula saat Nino kena tampar salah satu cewek karena terlalu dekat melihat wajah nya.
"Anjiiirrr!" tiba-tiba terlihat dari jauh Nino berteriak. Kerumunan murid cewek itu sepakat untuk pindah lokasi untuk menjauhi Nino yang sepertinya meresahkan dan sangat mengganggu.
Alvan menyeringai sembari menyedot habis es teh miliknya.
"K-kok bisa sih?" Nino yang berlari kembali terlihat antusias. "Kayak gini mah bukan mimpi buruk."
Nino duduk di depan Alvan sambil mengatur nafasnya.
"Oke, sekarang masuk ke hal buruk nya..." Alvan terlihat mulai cemas. "Sejak mimpi buruk itu, aku jadi seperti merasa ada banyak mata yang memperhatikan ku dari tiap sudut kegelapan."
"Wah jangan-jangan lu pake kekuatan ini buat nyontek pas ujian yak? Eh, bisa buat ngintip orang mandi dong? Jangan-jangan lu ditakdirkan jadi superhero Van? " mata Nino berbinar-binar dengan angan nya yang tak terbendung.
"Dengerin dulu woy!"
"He he he, sorry Van, gua terlalu bersemangat...." Nino nyengir.
"Jadi intinya tiap ngeliat tempat gelap aku jadi sering merinding tiba-tiba sendiri..." Alvan menelan ludahnya. "Pernah aku coba buat fokus ke arah tempat gelap itu, tubuhku langsung kaku, kayak kegelapan itu menyeret jiwaku masuk."
"Gua akuin serem sih, tapi yang barusan itu agak lebay...." Nino berkomentar.
"Dan yang bikin aku makin khawatir sampe sekarang, setiap mimpi buruk itu terulang, mata-mata yang mengawasiku itu terasa semakin mendekat."
"Mata apaan? Tunggu, gua bingung, sebenernya lu mimpi apaan sih Van?" tanya Nino setelah mencoba merangkai semua poin-poin penting dari cerita Alvan dan ternyata dirinya tidak bisa mendapatkan premisnya.
"Lah belum ta ceritain ya?"
"Belum dodol!"
"He he, jadi aku mimp--"
DDDDRRRRRRRRDDD
Handphone di saku jaket Alvan bergetar, kemudian dengan biadab terdengar ringtone alunan musik DJ mix lagu patah hati yang sedang populer.
"I-ibu?" Setelah sekilas melihat layar, Alvan dengan cepat menerima panggilan telpon dari ibunya. "Halo..., wa'alaikumussalam, kenapa bu?"
VROOOOOOMMMMM
Alvan dan Nino meluncur pulang ke rumah Alvan dengan menggunakan motor matic milik Nino. Mereka berdua duduk erat di atas motor, dengan Alvan membonceng Nino di jok belakang.
Setelah beberapa menit perjalanan melintasi daeran pemukiman asri, motor matic itu berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan tampilan yang sederhana. Rumah satu lantai dengan dinding putih yang terlihat bersih dan terawat. Atapnya berbentuk limas, ditutupi genteng merah pudar yang terlihat sudah berumur cukup lama. Terlihat beberapa pot tanaman hijau yang diletakkan di depan jendela, memberikan sentuhan keindahan dan kehidupan pada bangunan yang sederhana itu.
Alvan turun dan bergegas masuk halaman rumah tanpa sepatah kata, meninggalkan Nino yang merasa canggung di jok belakang motornya.
Nino memilih stay di luar takut mengganggu suasana yang sepertinya sangat penting.
"Assalamualaikum," ucapnya saat memasuki pintu yang telah terbuka.
"Wa'alaikumussalam, cepet banget, kamu ngebut ya Alvan?" Sahut sosok ibu Alvan dengan jilbab terusan warna abu. Wajahnya terlihat begitu cemas, pipinya agak memerah dengan mata yang berkaca-kaca.
Sang ibu berdiri dan segera memeluk anak laki-lakinya. Alvan mendapati ada seorang gadis seumurannya duduk di ruang tamu kecil itu mengenakan jaket hoodie berwarna kuning tajam yang menarik perhatian.
Alvan dan gadis berkacamata itu sempat saling menatap, si gadis tersentak dan segera mengalihkan pandangan nya.
"A-apa benar bu?" Alvan memastikan tentang hal penting yang tadi ibunya bicarakan di telepon. "Apa benar ayah telah meninggal?"
Sang ibu mulai terisak dan mengangguk di pelukannya. Sejenak, Alvan merasakan sejuta perasaan menghantam hatinya. Sosok yang tak ingin diingatnya, setelah sekian lama meninggalkannya tiba-tiba datang bersamaan dengan kabar kematiannya. Perasaan yang rumit muncul, entah sedih, kecewa atau lega berbaur dalam hatinya menciptakan badai perasaan yang berkecamuk.
Kilasan memori masa lalu bersama ayahnya satu per satu melintas melewati pikiran Alvan bagaikan kepingan puzzle, namun Alvan kembali kehilangan fokusnya. Alvan tak tahu harus melakukan apa dan memilih untuk menolak merangkainya. Mata Alvan kosong menatap lurus kedepan.
Tiba-tiba tubuh ibunya kehilangan kesadaran, menyentak Alvan untuk kembali fokus ke realita.
"I-ibu?!" teriak Alvan yang dengan sigap mendekap tubuh ibunya yang lunglai dipelukannya.
Gadis itu berdiri dan membantu Alvan, berdua menatih tubuh sang ibu kekamar dan menidurkannya di atas ranjang. Alvan terlihat sangat khawatir menggenggam tangan ibu nya. Mungkin bagi Alvan kondisi ibunya jauh lebih penting daripada berita kematian ayahnya tadi.
"Tenang saja, ibumu hanya butuh istirahat." celetuk gadis itu dengan nada yang datar.
"Kamu..., siapa?"
Alvan menatap gadis itu dengan berjuta pertanyaan.
"Ka-kamu ga punya hak untuk tau siapa aku." jawab gadis itu berdiri. "Tugasku hanya sebatas menyampaikan berita duka ini, sampai jumpa." lanjutnya membalik badannya dan mulai melangkah pergi keluar kamar.
"Kamu kenal dengan ayahku?" Alvan meraih lengan gadis itu dan menghentikannya.
Sebelum gadis itu sempat menjawab, Alvan melepas genggaman tangannya.
...ya, itu bukan hal penting.
"Kenapa...." mulut gadis berkacamata itu terbuka lirih. "Kenapa kau tidak terlihat sedih sedikitpun?"
Alvan terdiam sesaat, menatap gadis di depannya yang seolah kecewa padanya. Alvan menatapnya dengan tatapan kosong yang hampir tak berperasaan. Sebuah senyuman sinis, samar, terlukis di sudut bibirnya.
“Sedih?” Alvan mengulangi kata itu, suaranya rendah dan penuh luka. “Apakah aku… seharusnya merasa sedih?”
"K-kamu itu anaknya kan, bukan kah seharusnya...." Gadis itu menghentikan ucapannya dan menatap Alvan bingung, seakan belum memahami seutuhnya perasaan yang menyelubungi pemuda di hadapannya. Dia seolah berharap Alvan mengeluarkan air mata atau setidaknya menunjukkan tanda-tanda kehilangan. Tapi di matanya, hanya ada kehampaan yang dingin dan tak terjamah.
“Jika dia benar ayahku, mengapa dia meninggalkan kami selama LIMA TAHUN tanpa alasan, tanpa ucapan, tanpa jejak,” lanjut Alvan membalas, suaranya pelan namun penuh emosi yang tertahan. “Aku sudah lama berhenti menangisinya, setelah satu tahun, aku dan ibu sudah sepakat untuk berhenti bersedih." Alvan menggeleng pelan, menatap lantai dengan senyum getir. "Mungkin ibu masih memilikisedikit harapan tapi aku sudah sepenuhnya berdamai dan menerima takdir ini.”
Tidak. Yang sebenarnya.... Gadis itu terdiam, seolah terpaku oleh kata-kata Alvan. Dia menunduk, mencoba meredakan gejolak di dalam dadanya sendiri yang entah mengapa terasa seperti luka yang terbuka.
“Maaf, kamu jadi dengar hal yang tidak-tidak yang seharusnya bukan urusanmu. Terima kasih telah membawakan kabar duka ini." Alvan bangkit dari duduknya di kasur dan mencoba membangun kembali mood nya.
"Apa... kau tidak sedikit pun ingin tahu mengapa dia pergi?" gumam gadis itu lirih, hampir tak terdengar.
"Hah, apa?"
I-itu bukan kewajiban ku untuk memberitahu nya, lupakan!
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu berbalik, meninggalkan Alvan yang sempat terdiam penasaran dengan ucapan terakhir gadis itu yang tidak bisa dia tangkap secara utuh.
Dia terlihat buru-buru mengambil tas selempangnya di sofa ruang tamu. Saat keluar melewati pintu depan langkahnya terhenti. Gadis itu mendapati pergelangan tangan kirinya kembali dipegang kuat oleh anak laki-laki sang ibu yang menyusulnya.
"Tunggu!"
Gadis itu tersentak dan seketika raut wajahnya seketika berubah menjadi tidak bersahabat. "Le-lepasin nggak!"
"Ma-masih ada hal yang ingin aku tanyakan padamu," Tanya Alvan. "Pertama, nama. Siapa nama mu?" lanjutnya.
Nino mengintip dari luar pagar hijau rumah yang tak begitu tinggi.
"Ka-kamu ngga punya hak buat menyentuh ku!" seru gadis itu menarik lengan nya dan dengan kekuatan yang sama sekali tak terbayangkan berhasil menghempas tubuh Alvan hingga ke depan pagar.
Nino yang turun dari motor sontak kaget melihat kejadian itu. Begitu pula Alvan yang cenderung melongo tubuhnya bisa sampai tersungkur oleh kekuatan si gadis yang di luar perkiraan nya.
"Ma-maaf...." gadis itu sepertinya juga merasa bersalah karena terlalu berlebihan.
Dengan gesit gadis itu mencoba pergi dari halaman rumah itu.
"Nino!" teriak Alvan mengkomando sembari mencoba bangkit.
Mengerti maksud kawan nya, Nino segera menghadang pintu pagar rumah dengan tubuhnya.
"Eits kalo lu mau kabur lewatin dulu--"
Gadis itu menatap Nino dengan sorot mata kejam yang mampu membuat Nino merinding merasa kena diare sesaat.
Nino menyingkir tanpa kata mempersilahkan gadis itu lewat tanpa berani menatapnya.
Gadis misterius itu berlari begitu cepat dan berbelok kiri di pertigaan ujung komplek.
"Ah gimana sih kamu No." gerutu Alvan sambil memijit ringan punggungnya.
"Ce-cewek bro, ga baik pake kekerasan..." Nino ngeles. "Emang siapa cewe itu Van?"
Alvan mengangkat kedua pundaknya. "Doi tiba-tiba datang bawa kabar kalo Ayah ku meninggal."
"Innalillahi!" Nino tersentak meloncat kaget. "Bokap lu yang pergi tanpa kabar itu kan, se-seriusan? Meninggal kenapa emang Van?"
"Entahlah, tadi belum sempet nanya, aneh tu cewek...."
"ELU YANG ANEH! Bisa-bisanya denger kabar duka dari keluarga ekspresimu datar-datar aja kayak gitu?!" Hardik Nino gak habis pikir.
"A-aneh ya, aku juga bingung ngga tau harus bereaksi gimana No." Alvan jongkok dan tertunduk lesu "Sedih sih, tapi ya gimana..., selama ini kami juga udah biasa hidup tanpa dia."
Sekilas terlihat Alvan tersenyum kecut penuh dengan makna. Di kehampaan perasaan nya itu, dia merasa terdorong untuk merenung dalam diam, mencari kebenaran dan makna di balik perasaannya yang tercampur aduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Aldidarest Aways
mc nya diluar nurul
2025-10-23
0
Dukun Now
kren
2023-08-07
1
Dwi Sulistyaningsih
ngakak
2023-08-01
2