The Decision

"Kamu tadi udah ngobrol apa aja sama si Lumia, waktu ibu ga sadarkan diri?"

"Ng-ngga sempet ngobrol bu, orang nya buru-buru pergi." Alvan sekilas teringat dirinya yang tersungkur di tanah karena si gadis, sambil memijat pundaknya yang masih terasa agak ngilu.

Alvan juga teringat bahwa setelah itu dia memilih untuk tidak mengejar gadis itu, menyuruh Nino untuk pulang dan kembali masuk rumah nya karena khawatir dengan ibu nya. Hingga akhirnya tertidur dan mengalami mimpi buruk tadi.

"Lah gimana sih?" Ibunya terheran. "Si Lumia tuh, jauh-jauh datang dari Semarang cuma buat menyampaikan kabar duka ini ke keluarga kita."

"Ja-jadi maksud ibu, gadis tadi kenal dengan bapak?"

"Ya jelas, mungkin malah dekat, dia sampai bawa barang-barang milik bapak, tuh satu kardus yang ada di ruang tamu."

"E-eh, kardus besar di ruang tamu itu dia yang bawa?" Alvan tersentak membayangkan postur tubuh Lumia yang begitu kecil membawa kardus besar yang dia liat di ruang tamu.

"Baik banget tu anak, cantik pula...." Ibunya terlihat tersenyum menerawang ingatannya tadi siang bersama Lumia. "Meski kalo ngobrol Ibu akuin orangnya kaku banget, lucu sih..."

"Te-terus ibu sempat ngobrol apa aja sama si Lumia ini bu?"

"Dia cerita baru kali ini dia pergi keluar kota sendirian, kasian, katanya sempat kebablasan satu stasiun tadi pagi--"

"Cerita yang soal bapak bu." Alvan memotong merasa percakapan yang diceritakan ibunya kurang penting.

"Hmm, dia cenderung banyak curhat daripada membahas soal bapak." Ibunya malah merasa heran. "Ibu berharapnya kamu yang cari tahu soal bapak dengan mengajaknya ngobrol tadi."

"Y-ya gimana lagi bu, dia pergi gitu aja, mungkin sekarang dia sudah pulang ke kota nya."

"Kamu tuh sotoy nya mirip bapak...." Ujar Ibu sambil menoyor jidat Alvan. "Lha si Lumia bilang ke Ibu kalau keretanya berangkat ke Semarang jam tujuh malam -masih ada satu jam-an lagi."

"K-kok ibu bisa ngobrol normal sama cewek itu sih?" Alvan tersentak tak habis pikir. "Aku aja cuma tanya nama, ngga dijawab."

"Oiya, tadi si Lumia nungguin kamu pulang katanya ada sesuatu khusus yang harus di serahin ke kamu Van!"

Alvan memiringkan kepalanya memasang wajah kosong yang tak mampu menangkap ucapan ibunya.

"Astaghfirullah, Alvan."

. . .

"Tiba di peron 3... KA Jawa Utara jurusan Jakarta telah tiba di Stasiun Utama... Mohon penumpang mempersiapkan diri dan hati-hati dalam melangkah."

Seruan announcer terdengar jelas melalui pengeras suara, diakhiri dengan jingle yang khas menggema di dalam stasiun.

Perlahan, pintu gerbong kereta terbuka dan penumpang mulai bergerak di dalam stasiun. Mereka dengan cepat berjalan keluar dari gerbong, membawa koper dan tas mereka, sementara penumpang baru yang telah menunggu dengan sabar berbaris rapi di depan pintu, siap untuk masuk.

Terlihat sosok familiar perempuan mengenakan hoodie putih duduk di salah satu kursi tunggu panjang di peron paling luar.

Sembari mengeluarkan sebuah kotak merah alumunium yang cukup tua dari dalam tas nya, gadis itu menghembuskan nafas panjang. "Lumia, bodoh..., kenapa baru sadar sekarang."

Gadis berkacamata itu mengeluarkan smartphone nya untuk melihat waktu, dia menunduk lesu atas kecerobohan dirinya. Ada banyak notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab membuatnya semakin kacau dan memilih untuk mengabaikannya.

18.14

Di dalam sebuah rumah minimalis dengan ruangan yang terlihat bersih dengan warna putih mendominasi, tampak di sofa ruang keluarga, Nino tengah asyik bermain game di smartphone nya. Cahaya lembut dari lampu LED menyinari wajahnya yang penuh konsentrasi.

DRRRRRDDDDD

Gawai nya bergetar dan notifikasi panggilan masuk seketika muncul di layar dan menutupi permainan nya. "Anjiirrr, apaan sih, lagi seru war gini."

Alvan, sahabatnya, mencoba menghubunginya melalui panggilan telepon.

"Alvan sontoloyo, jadi mati kan gua, sialan...." gerutu Nino dengan wajah kesal.

Tanpa ragu, Nino mengambil tindakan. Dia membuka pengaturan pada ponselnya dan menemukan opsi "Mode Senyap." Dia menggeser tombol tersebut ke posisi aktif. Sejenak, Nino merasa lega, mengetahui bahwa panggilan masuk tidak akan mengganggu permainannya lagi. "Mamam!"

"Sialan malah di reject." Terlihat Alvan yang sudah ada di luar rumah memekik geram.

Alvan mengabaikan nya dan segera mengeluarkan sepeda lama nya dari pintu samping rumah. Dia memutuskan untuk mencari dan menemui si gadis, Lumia di stasiun, berharap semoga belum terlambat.

Seperti yang diucapkan ibunya, Alvan tidak mau kebencian, kekecewaan dan ketidaktahuannya terhadap sosok ayahnya menjadi mimpi buruk yang akan terus menghantuinya selama hidup. Alvan ingin menuntaskan semua, menghilangkan semua tanda tanya yang menyelimuti hatinya.

Dan Lumia adalah langkah awal yang harus dia ambil untuk memulainya. Dia juga penasaran tentang sesuatu yang ingin diberikan gadis itu padanya.

Sepeda Alvan melaju cepat melalui jalan-jalan komplek, namun dia merasa itu tidak cukup cepat. Tanpa ragu, dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas melewati gang-gang kecil. Teriakan kecil berderak dari mulutnya, mengisi udara saat dia menekan pedal sepedanya dengan kuat.

Saat melewati gang-gang kecil itu, Alvan merasakan sentuhan sejuk angin yang menyapu wajahnya, seketika potongan-potongan memori tentang ayahnya mulai terputar ulang di luar kepalanya. Masa kecil bersama ayahnya membuat hatinya sedikit terbuka, momen-momen itu terpatri erat dalam kenangan, dan sekarang, semuanya terasa seperti kenangan yang indah namun menyakitkan dan memberinya semangat baru untuk terus melaju.

Cahaya kota yang menyilaukan semakin dekat menyambut di ujung gang. Saat sepedanya melaju membawa dirinya menembus dinding cahaya itu, seketika riuh padatnya kawasan perkotaan menghantam seluruh panca indranya.

Sambil mengatur nafasnya, kayuhan nya terhenti diantara kemacetan jalan raya yang padat sesak oleh kendaraan. Lalu lintas yang kacau balau dan suara klakson mobil, motor dan bus yang bersahutan keras membuat detak jantungnya semakin cepat.

Beruntung menggunakan sepeda, setelah melewati celah-celah sempit antar kendaraan akhirnya Alvan sampai ke seberang jalan. Alvan teringat kenangan nya dulu bersama ayahnya waktu jalan-jalan di sekitar rel kereta. Ada jalan setapak disamping rel itu yang menuju langsung ke arah stasiun. Dia kembali mencoba mencari celah untuk melewati kendaraan-kendaraan yang bergerak sangat lambat sembari sesekali ia melihat jam di tangan nya.

18.46

"Tiba di peron 4... KA Gaya Utama dari arah kiri, jurusan Semarang akan tiba di Stasiun Utama... Mohon penumpang--"

Lumia yang berdiri terlihat gelisah sembari terus fokus melihat waktu di smartphone nya. Setelah memantapkan hati, dia berjalan ke arah tepi peron, tangan kirinya seperti mengepal dengan erat tali tas selempangnya.

Alvan mencapai jalan pintas itu, yang cukup senggang. Dinding tinggi disebelah kanan menjadi pembatas dengan area rel kereta di balik nya. Dia kembali mengayuh sepedanya sekuat tenaga terus maju, bertekad untuk mengejar Lumia meski dia tahu stasiun masih berjarak cukup jauh dari sini.

Beberapa orang menoleh ke arahnya, mungkin heran dengan kecepatan Alvan saat mengayuh sepedanya. Tapi dia tidak memedulikan, satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah mengejar Lumia, dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan satu-satunya ini.

Ketika stasiun akhirnya terlihat di kejauhan, adrenalin di dalam tubuh Alvan semakin memuncak. Dia tahu bahwa waktu terus berjalan, dan dia harus sampai sebelum kereta berangkat. Dengan nafas yang tersengal-sengal, dia terus mengayuh sepedanya secepat mungkin.

TENG TENG TENG TENG

Suasana hati Alvan berubah drastis saat dia mendengar suara lonceng perlintasan kereta yang berdering dengan keras di depan. Hatinya berdegup kencang, dan keringat dingin menetes dari dahinya. Dia tahu, itu artinya dia terlambat.

Kayuhannya melambat, dan sepedanya berhenti tepat di depan perlintasan yang tertutup. Hatinya hancur, bersamaan dengan melintasnya kereta yang melaju dengan semakin cepat. Alvan merasa seperti masa lalu dan masa depannya bertabrakan di tempat yang sama, membuatnya terjebak dalam kehampaan yang mendalam.

Tatapan Alvan kosong ketika kereta itu melewatinya, meninggalkan hembusan angin dan gemuruh saat gerbong terakhir melintas pergi membawa seluruh angannya.

TENG TENG TENG

Matanya yang sedikit berair seketika kembali memancarkan cahaya harapan ketika dia memfokuskan pandangannya, sesosok tampak di seberang perlintasan, menatapnya sembari membetulkan kacamata yang dikenakannya.

Mata mereka berdua bertemu saat palang perlintasan kereta di jalan kecil itu mulai naik.

Terpopuler

Comments

Dukun Now

Dukun Now

kereen

2023-08-07

1

Dukun Now

Dukun Now

kereeen

2023-08-07

1

Moonmoon

Moonmoon

makin seruu aja nih

2023-07-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!