LANA AND BALLERINA

U. AZIZAH adalah nama yang terletak setelah ungkapan kata ini, " Kalau mau jadi orang yang berhasil, hiduplah pakai aturan. Karena hidup tanpa aturan jadi kacau."

Lana tengah membaca slogan yang menggantung itu berdua, ditemani Hurya yang berada disampingnya. Sejak bunyi bel istirahat tadi keduanya memutuskan untuk berkeliling sekolah sambil melihat lihat lalu membaca slogan, poster yang menempel dan menggantung disekolah. Bagus sekali Lana sangat menyukai sekolah ini. Selain dekat dengan rumahnya sekolah ini dibilang favorit walaupun bukan berada di kota.

Rindang. Asri. Banyak pohon, bunga, taman kecil, tempat santai, ayunan, buku-buku yang selalu ditemukan disetiap pojokan saat menaiki tangga, dan banyaknya kata kata motivasi dan dorongan untuk para siswa. Ditambah cantiknya mural yang tergambar dari pojok taman hingga tempat santai yang terdiri banyaknya tempat duduk dari semen yang menempel kuat di tanah.

"Na, pulang sekolah bareng yuk." Ajak Hurya

"Iya bareng! Yang berakhir gue pulang sendirian karena rumah loe kedekatan."

"Yah hahaha.."

"Eehh tapi nanti kapan kapan kita main yah kepantai."

"Boleh."

Kedua gadis itu kembali berjalan disekitar kooridor sekolah, melangkahkan kakinya mengangumi keindahan sekolah.

"Lana."

"Ya." Lana menoleh melihat Hury memanggil namanya. Namun mata gadis itu bukan mengarah padanya malah mengarah pada arah lain.

"Ketua osis yang bernama Ray Asa itu tampan yaa."

"Tampan. Tapi biasa aja menurut gue." Balas Lana seadanya. "Masa? Coba loe lihat kearah tiang bendera sana. Ketua osis itu lagi mengajari siswa memasang bendera."

"Iya, ya terus kenapa? Apakah seorang Hurya menyukainya?" Goda Lana sambil menaikan alisnya.

"Emm tapi gue rasa biasa aja gak ngerasa apa apa."

"Yakinkah kamu?" Ejek Lana lagi.

"Eh Na, dengerin nih yah. Belum tentu orang yang kita bilang dia ganteng, cantik, sempurna atau yang lainnya Itu menandakan kalau kita suka sama dia. Engga loh, gue cuman puji dia aja karena ganteng dan ciptaan Tuhan yang indah."

"Iya deh iya Hurya gue percaya." Senyumnya lebar yang membuat Hurya melihat nya malas.

"Ehh kalian Awasssss." Lana dan Hurya kanget ketika mendengar suara teriakan itu yang seolah menginstruksikan dirinya berdua agar menepi. Tapi lagi lagi keberuntungan tidak memihak kedua gadis itu. Lana dan Hury telah jatuh duluan ke lantai dengan Hury yang menimpa Lana diatas nya.

"Aduhhhh." Kedua gadis itu merintih kala keduanya telah jatuh mengenaskan dilantai. Apalagi Lana yang ditimpa berat badan Hurya diatasnya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Hari ini Lana benar benar apes, sudahlah tadi pagi disenggol dan hampir jatuh. Lalu sekarang disenggol juga dan jatuh benaran.

"Aduhh..siapa sih yang jalannya lari lari. Ini sakit tauu." Omel Hurya berusaha untuk bangkit. Tangan nya terulur membantu Lana untuk berdiri. Saat keduanya telah sempurna berdiri mata kedua genre yang sama itu menatap seorang cowok berkepala licin mengkilat yang masih terduduk dilantai dengan rintihan sakit yang keluar dari mulutnya.

Mata Lana melebar, ketika melihat ternyata cowok botak itu lagi yang menabraknya. "Loe lagi! Sudah dua kali loe menabrak gue. Gak bisa apa jalan yang santai gak usah lari lari? Loe kalau kayak begitu nyelakain orang tau!" Cowok itu diam tapi beberapa detik kemudian Atar berdiri sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Kurang ngajar emang si Aldi itu, setelah dia buat dirinya jatuh dengan kedua gadis ini dengan seenaknya lari begitu saja tanpa basa basi. Awas aja! Ku rebut gebetan kau.

"Hehehe. Maaf ya Lana. Lana kan?" Ucap Atar dengan cengengesan

"Malah ketawa lagi." Bukan Lana melainkan Hurya yang menjawab. Dalam hati Lana kesal. Sudahlah salah, kayak merasa gak bersalah dan cengengesan lagi. Dengan PD nya pulak dia nyebut nama nya. Ihhhhh!

"Hehe, sekali lagi maaf ya Lana. Maaf ya Hurya. Ehhh Riya. Riya kan panggilannya."

Kedua gadis itu hanya berdecak malas dan tak kuasa menanggapinya. " Kok diam? Dimaafkan gak?"

"Iya, dimaafin krisna." Ketus Lana tapi masih mau mengelurkan kata itu menanggapinya.

"Hehe terima kasih Lana."

"Kalau loe jalan raya, dimaafin kan?" Ucapnya kembali sambil tertawa receh yang seketika membuat Hurya tidak terima. Enak saja orang tua nya sudah bagus bagus memberinya nama tapi malah cowok rompis ini mengubahnya.

"Eee tidak begitu, maksud gue riya. Loe udah memaafkan gue bukan?"

"Yesss. Sudah termaafkan titisan rompis!"ucapnya dengan sedikit membentak dan menekankan kata katanya

"Yasudah terima kasih buat dua peri cantik ini. Kalau begitu gue pergi dulu yaa. Bye!"

Lana dan Hurya saling pandang, keduanya sama sama mengangkat bahu tidak menanggapinya.

Tapi ditengah lari kecilnya cowok itu, terlintas dipikiran nya ingin mengatakan hal ini. Maka buru buru Atar meneriaki kedua gadis itu dengan mengatakan," Semoga saja kita bisa berteman dengan baik. Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Eee maksudnya bukan lebih seperti pacaran gitu. Tapi gue yakin kita akan menjadi sahabat suatu hari nanti."

"Kenapa tuh?" Heran Lana pada Hurya sambil mulut monyongnya mengarah pada Atar yang tengah berlari kecil setelah mengatakan perkataan tadi.

"Gak tau lah. Agak sinting kali."

"Lah, bukannya calon pacar loe."

"Lanaaa!!" Geram Hurya diiringi gelak tawa Lana disekitar kooridor.

 ---

Sore yang dibungkusi rintik rintik gerimis ini membuat Lana malas bergerak dan semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sebenarnya selepas pulang sekolah tadi seharusnya ia pergi ke sanggar untuk kembali latihan seperti biasanya. Semoga saja dengan alasan hujan gerimis ini ibu asuhnya tidak menyuruhnya untuk pergi ke sanggar walaupun letaknya hanya sekitar empat rumah dari tempat Lana tinggal.

Actually, Lana bukanlah orang yang malas seperti kebanyakan orang kalau hujan sedikit langsung malas bergerak. Hanya saja karena ballerina tidak masuk kedalam list dream nya maka cara ini harus ia gunakan agar hari hari nya tidak monoton tentang ballet saja.

Tapi sungguh disayangkan belum juga mata itu terlelap sepenuhnya, Lana sudah mulai merasa kalau ada pergerakan pintu kamar yang ia firasat kan kalau itu ibunya yang akan membuka pintu.

"Lana." Nah kan benar. Dalam hati ia bermohon semoga mata nya cepat cepat terpejam dan tertidur agar tidak dibilang berdosa karena tidak menyahut sahutan sang ibu.

"Lanaaa." Ia tetap diam.

"Lana bangunn!." Selimutnya langsung saja disingkap. Namun Lana tetap diam tak bersuara seakan benar benar tidur.

"Lana bangun gak. Ibu tau kalau kamu cuma pura pura tidur. Ayo bangun latihan sana! Yang lain udah pada nungguin."

Tak ada pergerakan.

"Oke. Kamu gak mau bangun? Baiklah kalau begitu. Ibu gak akan lagi belikan kamu buku tentang kedokteran dan ibu bakal buang semua buku kamu yang berkaitan dengan itu." Hatinya mencolos, tubuhnya lemas kalau ibunya sudah mengancam hal hal yang berkaitan dengan kedokteran. Dan sangat sungguh terpaksa mata itu pun perlahan terbuka melihat ibunya yang sudah berdiri didepan ia berbaring dengan memasang wajah garang.

"He he, besok aja ya bu lagian diluar hujan." Alasan yang tidak logis menurut Tania, ia menggeleng geleng kan kepala seolah menolak alasan anak angkatnya.

"Dasar. Kamu aja yang lebay, orang diluar cuma gerimis doang lagian sanggar gak jauh jauh amat. Hanya lewat empat rumah Lana!"

"Bu nanti aja ya, Lana pengen tidur. Kan kalau hujan-hujan gerimis gitu enaknya tidur."

"Pergi Lana." Lana berekspresi datar, mendengar suara Tania sudah berubah menjadi semakin menekankannya.

"Bu.. please."

"Pergi sekarang Lana!" Agak tersentak kala Tania membentak untuk menyuruhnya agar pergi.

Gadis berumur 13 tahun itu menatap sorot mata ibunya dengan kecewa. Dengan sirna.

Lana tak ingin menangis untuk hal hal yang sering ia lalui setiap harinya. Itu basi!percuma, karena setinggi apapun harapannya akan selalu ada jalan yang mengharuskan ia untuk berbelok haluan. Jalan yang dirancang Sang Ibu.

"Kenapa bu? Kenapa harus ballerina?" Lana sepenuhnya bangkit. Berdiri didepan Tania sambil menatap mata yang menolongnya 3 tahun lalu. Menolong keluarganya.

Kedua manusia itu saling menatap. Mencari arti didalam netra hitam yang sama sama keduanya belum paham. Belum mengerti mengapa Tania sangat bersikeras memaksanya untuk menjadi ballerina. Dan Lana yang tidak pernah menemukan alasan mengapa ibunya melakukan ini.

"Karena kamu tidak mengerti." Lana menahan perih dihati nya. Apa maksud Tania? Mengerti seperti apa yang harus dipahaminya.

"Ya! Aku gak mengerti dan emang dari awal aku tidak pernah paham tujuan ibu itu apa?!"

"Sudahlah Lana. Cukup dengarkan saja ibu dan patuh!" Lana memejamkan matanya agar mengontrol emosi didalam tubuhnya.

Mengapa bu? Tanyanya dalam hati. Ibu tidak pernah menghargai dan mengapresiasi mimpi ku.

Tania menghelas nafas gusar. Kala melihat Lana yang seperti akan menangis. Dan benar ketika mata anaknya itu terbuka, dengan perlahan air itu meluluh membasahi pipinya. "Jangan menangis. Sore ini, rintik hujan tak akan mengerti." Tania menepuk pundak Lana dua kali lalu dibalas oleh Lana yang menyuara. " Ya memang. Benar kata ibu kalau tetesan air ini tidak akan mengerti. Sebab hujan tak paham karena kesedihan ini terus berselisih."

"Dan hujan akan paham kalau kamu menuruti perintah ibu." Lana mengangguk nganguk seraya menepis air matanya yang lolos. "Baik. Aku pergi sekarang. Itu kan mau ibu."

Tania menatap punggung Lana yang sudah hilang beberapa detik. Sesosok wanita berkepala tiga itu masih diam beberapa saat sampai suara hati yang menyuarakan terhadap Lana itu terdengar,

semua ini adalah angan-angan ibu agar terbang. Adalah puing-puing keinginan saat langit biru telah berubah menjadi sosok abu abu.

 ---

Hamparan laut luas itu menjadi alasan agar ia tidak jatuh, agar ia bertahan menampung semua rasa sakit dan beban. Sudah dibilang berkali-kali kalau Lana tak ingin menangis. Namun apapun alasan yang ada didepanya semuanya kalah saat ia sudah tidak tahan kalau air yang bening itu menetes,

Kepermukaan.

Jam 15:30 dipantai ini sepi. Tak ada orang. Mungkin sebab hawa dingin, gerimis, cuaca agak gelap dan seakan menyuruh mereka supaya tidur lalu berselimut tebal tebal dirumah. Lana duduk disini. Ditepi pantai dengan gerimis yang sedari tadi awet sejak pulang sekolah pukul 14:00.

Lagi-lagi Lana mengingkari tidak pergi ke sanggar tidak menuruti perintah ibunya. Ia malah menuju depan keluar gang mengarah pantai bukannya kearah belakang yang selisih empat rumah ia seharusnya sudah latihan disana.

Ia agak kegigilan walaupun baju nya tidak basah kuyup. Tapi biarkan saja. Dari pada harus di rumah apalagi di sanggar.

Lana memeluk tubuhnya sendiri. Memejamkan mata lalu membiarkan angin bercampur gerimis menghantam wajahnya. Ada ketenangan walau ia sedikit yakin setelah ini pasti suhu tubuhnya akan naik. Demam.

Hingga sampai pada sebuah harapan datang memayunginya. Kemudian bersuara, "Tidak baik berhujan disini. Pulanglah! Cuaca semakin gelap dan hujan pun pasti akan terus awet."

Setetes air bening yang jatuh ketika dimulai. Sejuta harapan saat kamu turun. Seperti dinginnya malam, aku ingin tenggelam. Menerobos tiap-tiap permukaan laut paling dalam.

Lana tau kalau tidak ada siapa-siapa disini. Hanya dirinya sendiri, tapi nyatanya tidak ada keinginan namun datanglah harapan berbentuk Ray Asa yang tiba tiba menghalangi rintik rintik gerimis dengan umbrella.

Dan Kaa Lana belum percaya kalimat ini, Semua tak pernah terpikirkan, bersama hujan semuanya ditakdirkan.

Terpopuler

Comments

Victorfann1dehange

Victorfann1dehange

pantengin terus karya si author, pasti gak nyesel!

2023-07-16

1

Mắm tôm

Mắm tôm

Kayanya aku gak bisa tidur lagi kalo gak baca kelanjutannya sekarang juga 😩

2023-07-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!