Satria

Wilayah pelataran candi seolah tak berujung. Satria berjalan menaiki undakan-undakan melewati beberapa pagar batu, memikul batu-batuan andesit seberat dua kali berat tubuhnya. Selama dia melangkah, para budak di sekelilingnya sibuk menggosok dan memulas batuan berbentuk persegi menjadi ukiran-ukiran rumit.

            Setelah dia menaiki tangga utama menuju pelataran, dataran menjadi rata dengan rumput-rumput hijau tipis seperti permadani. Dia lalu menaruh dan menyusun batu andesit itu sambil memandang patung arca dewa kemakmuran yang berdiri kokoh sebesar dua menara istana. Apa dewa itu melihat penderitaan kami di bawah sini? Pikirnya marah.

            Satria berjalan mengitasi sisi pelataran, mengecoh pandangan prajurit yang berjalan mondar-mandir. Dia melewati lalu-lalang puluhan budak sampai akhirnya terhenti di sebuah gapura sisi Utara yang menghadap Pegunungan Andamar. Di sanalah sahabat dekatnya yang bernama Syam dan Harsa sedang menggosok dinding gapura bersama budak lainnya.

            “Aku menemukan seorang petapa di hutan tadi malam,” kata Satria, kehadirannya mengagetkan dua sahabatnya yang berbeda dua tahun darinya. Setelah berhasil menyelinap, ia berjongkok di antara Harsya dan Syam, Satria melanjutkan, “Aku membutuhkan bantuan kalian untuk menolongnya.”

            “Kau dengar Harsya? Petapa dia bilang,” kata Syam masih menggosok ukiran gambar prajurit-prajurit yang mengangkat keris. “Apa itu semacam tipuan?”

            “Sungguh! Dia sekarat.”

Menyadari suaranya cukup keras, Satria lalu berpura-pura mengukir untuk mengecoh prajurit yang sesekali lewat sambil menguap.

            “Lalu bagaimana dengan kita? Kita juga sekarat,” Syam melanjutkan sambil tertawa, dia menganggap Satria sedang bergurau.

            Di sebelah kanannya Harsya memandang Satria dengan curiga, “Percayalah, aku lebih tertarik mendengar kisahmu tentang bintang-bintang angkasa yang kau lihat di hutan sana daripada seorang kakek petapa. Ayolah adik kecil, di candi ini saja sudah banyak kakek tua yang lebih kurus dari kita.”

            Syam mengangguk di sebelahnya, “tapi kau cukup berani untuk kabur menyelinap di malam hari, mungkin suatu saat kita bertiga bisa mencobanya, mungkin?”

            “Kita akan mencobanya malam ini,” sahut Satria tidak ingin melukai hati sahabatnya. “Tapi aku butuh bantuan.”

            “Tentang kakek petapa itu? Kenapa kita harus menolongnya?” Syam sedikit ragu.

            “Dia berhutang kisah yang hebat padaku. Mungkin kita bertiga bisa mendengar kisah itu nanti malam, kisah yang jauh lebih hebat, melebihi keindahan bintang yang aku temukan.”

            “Bagaimana kau bisa yakin adik kecil?” sekarang Harsya mulai tertarik.

            “Apa kalian pernah mendengar kisah tentang manusia harimau?”

            Harsya dan Syam merinding tiba-tiba.

            “Apa itu tipuan lagi?” Syam menaruh minat, tetapi dia benci ditipu.

            “Itu yang ingin aku ketahui,” jawab Satria. “Kalian harus percaya padaku, petapa itu memiliki sorot mata yang tidak pernah kalian lihat sepanjang hidup kalian.  Meski terluka cukup parah, kau akan merasakan kehadiannya seperti binatang buas.”

            Harsya menaruh pahatnya dan menatap satria dengan serius, “aku sedikit percaya, dulu ayahku mempunyai teman penyihir di Parawa, mereka hidup dari meminum darah kobra. Aku memang pernah mendengar desas-desus tentang siluman di negeri ini sewaktu kecil. Sayangnya kisah ayahku sudah terkubur bersama jasadnya.”

            Kesedihan melintasi wajah Satria dan Syam. Mereka sudah mendengar kisah hidup Harsya bertahun-tahun semenjak mereka saling mengenal. Terkadang Satria membayangkan suasana kala itu, ayah Harsya di hukum pancung oleh Raja Mahardhika sewaktu sang raja melebarkan ekspansinya ke desa-desa di Utara dan Barat. Mereka menganggap ayah Harsya penyihir. Anak-anak korban pembantaian penyihir ditawan dan dijual sebagai budak, ibu-ibu mereka diperkosa oleh para prajurit karena dianggap sebagai aib.

Menurut Raja Mahardhika, wilayah Utara dianggap sebagai persembunyian sekumpulan penyihir pembangkang. Tempat-tempat di Utara memang disesaki pegunungan berbukit, hawanya dingin menusuk dengan hutan-hutan yang tumbuh rapat dan gelap. Permukaannya ditumbuhi semak berduri dan rawa-rawa sedalam lutut yang dipenuhi suara bisikan orang mati. Sampai saat ini wilayah Utara dipercaya menyimpan aura mistis yang kuat dan keramat.

            “Mungkin petapa itu penyihir,” ujar Harsya seolah yakin..

            Minat Syam semakin tinggi, tapi jantungnya berdebar. “Bagaimana cara kita menolongnya?”

            Pertanyaan itu mengambang di antara mereka bertiga. Satria merasa cemas, dia menghela napas panjang lalu menjawab, “bantu aku mencuri makanan di gubuk lumbung.”

            Harsya dan Syam terkejut mendengarnya, mereka hampir jatuh terjungkal.

            “Terkutuklah para raja, adik kecil, permohonan itu sangat menakutkan!” kata Harsya.

            Syam menggenggam kedua pipi Satria dan menatapnya. Satria dapat merasakan permukaan tangan ceking Syam di pipinya bagaikan kulit pohon pinus kasar menempel.

            “Apa kau yakin? Gubuk itu memang di penuhi buah-buahan manis, bijih beras setinggi tumpukan pasir, daging-daging kering yang digantung sampai kendi-kendi tuak yang berjejer seperti pagar. Tapi ingat! Dhanu menyimpannya untuk perut para prajurit, bukan untuk budak. Kau pasti tahu akibatnya jika mereka sadar..”

            “Mereka terlalu malas untuk sadar,” Satria menyela Syam.

            “Maaf?”

            “Pernahkah kalian menyadarinya? Mereka selalu berpesta menjelang malam. Para prajurit makan sangat rakus sekali seperti kerbau kelaparan. Perut mereka memang penuh dan kenyang, tapi otak mereka kosong. Sering kali aku mengintip di balik pepohonan hutan saat malam hari, prajurit tertidur pulas di alas empuk mereka. Itulah kelengahan mereka, selama ini prajurit menganggap kita hanya budak bodoh, kita diberi makan dari makanan sisa, di cambuk bagai seekor keledai, diteriaki seperti orang dungu. Justru merekalah yang keledai, kita akan memanfaatkan kesempatan itu.”

            Harsya dan Syam memandangnya takjub, tidak pernah melihat Satria berapi-api. Seketika mereka berdua menjadi bersemangat.

            “Apa yang akan kita curi nanti malam?” balas Syam, ia merasakan jantungnya semakin berdebar.

            “Daging tentunya, dan sedikit buah-buahan, dia pasti akan senang.”

            Dari pusat pelataran, bunyi kentungan terdengar menggema dengan suara teriakan-teriakan yang mencela. Garung, sang prajurit gemuk yang sedari tadi membunyikan kentung berjalan sambil menendangi budak.

            “Tuan Dhanu akan tiba! Berkumpul!” Teriak Garung.

            “Kita sudahi dulu, kita akan bertemu lagi nanti malam, setelah kita memastikan para prajurit tertidur, kita akan berkumpul lagi di gapura ini dan menyusun rencana,” bisik Satria.

            Menyadari para budak di sekitarnya bangkit dan bergegas menuju pelataran Tengah, Satria beranjak dan membaur diantara kerumunan diikuti Harsya dan Syam di belakangnya. Pelataran candi disesaki oleh budak-budak yang membungkuk karena kelelahan. Terik matahari memanggang kulit mereka seperti kayu kering di tanah tandus. Mereka sangat kelaparan tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menanti jam makan ini.

            Sejenak dari halaman Selatan candi, berderap seekor kuda yang berlari kencang. Sewaktu kuda berwarna hitam berponi panjang itu hendak memasuki pelataran candi. Para budak menyingkir hingga mereka saling tertabrak dan terjatuh, berharap tidak terinjak oleh si kuda hitam.

            “Semua bersujud demi Dhanu sang putra mendiang Jagakarsa, Adik dari sang Raja Selatan, Dharma!”

            Debu mengepul tebal ketika Dhanu menghentikan kuda hitamnya, warna kuda hitam itu seindah batu pualam, mengilap dan gagah seakan sang penunggangnya adalah bayangan kuda itu sendiri. Setelah menyerahkan tali kendali sang kuda pada prajurit pengawal, Dhanu berjalan menuju tengah pelataran.

            “Wahai sang abdi, bergembiralah,” dia lalu terhenti sejenak memandangi ratusan budak di hadapannya. “Pemandangan apa yang aku lihat siang ini? Mengapa raut menyedihkan tanpa harapan yang kalian tunjukan padaku!”

            Pada budak tidak bergeming. Mereka bergetar mendengar raungan Dhanu menggema di seluruh sisi pelataran.

            “Ingatlah bahwa kedatanganku siang ini tidak lain untuk membawa berita yang menyenangkan untuk kalian. Masa panen hampir tiba, Candi Condok pun hampir rampung. Lima belas tahun sudah terlewati dan raja berbelas kasih pada kalian. Semua berkat kerja keras kalian wahai abdi setia sang raja.”

            Raut para budak tidak berubah sama sekali, hal itu membuat Dhanu merasa tidak puas. Dia hampir naik pitam, tetapi masih ada berita yang akan dia sampaikan.

            “Garung!” panggil Dhanu.

            Garung si gemuk datang terpinkal-pingkal, dia lalu bersujud di samping Dhanu, “Garung siap melayani Tuan.”

            “Ada berapa total seluruh abdi setia kita di candi ini?”

            “Delapan ratus enam puluh tiga Tuan.”

            “Delapan ratus enam puluh tiga abdi tangguh bertahan, semenjak kedatangan kalian sebanyak tiga ribu abdi, lima belas tahun silam,” kata Dhanu mengangguk. Dia lalu mengambil napas panjang dan melanjutkan, “Bersukacitalah! setelah candi ini selesai, raja akan menepati janjinya. Kalian akan di bebaskan!”

            Dari sudut pelataran suara–suara mulai terdengar. Satu persatu budak bersorak pelan, diikuti yang lainnya. Hanya membutuhkan waktu satu menit, seluruh pelataran dipenuhi suara budak-budak yang bergembira. Mereka bersenandung, bersujud,  menangis merintih, bersorak dan perpelukan.

            “Raja akan memerdekakan kalian!”

            Sorakan semakin gaduh, mereka meneriakan nama sang Raja Mayakarsa, Raja Dharma! Raja Dharma!.

            “Kalian akan merdeka sebagai budak abdi di Mayakarsa karena sang raja menjual kalian pada Kerajaan Nusantara! Kalian akan menjadi abdi setia sang raja dari semua raja, Patih Mahardhika!”

            Kalimat itu berakhir seperti hujaman belati di jantung, budak-budak berhenti bersorak. Gema berganti menjadi bisik, raut gembira berubah menjadi bingung. Seketika para budak mulai menangis. Mereka berjatuhan memohon ampun pada sang dewa di langit. Mereka meraung-raung. Hingga di sisi utara seorang budak berdiri sambil menangis, wajahnya gemetaran dengan ingus yang keluar dari lubang hidung kecilnya.

            “Tuan apa maksud dari berita itu! Apa kami tidak akan pernah bebas?”

            “Kau lancang!” teriak seorang prajurit pengawal.

            Namun, dengan sigap Dhanu mengangkat tangan ke arah sang pengawal, mengisyaratkannya untuk tenang.

            “Katakan abdi setia, katakan isi hati itu.”

            “Banyak di antara kami datang untuk menebus dosa! Lima belas tahun kami terkurung, kami bekerja sampai jari kami sekecil ranting dan tubuh kami sekurus kerikil, hanya untuk menjadi abdi setia sang raja!” cetus budak itu, air mata membasahi pipi keriputnya yang penuh debu. “Kami ingin keadilan yang setimpal Tuan! Sekarang kami akan dikirim kembali sebagai abdi? Tidak! Kami bukan abdi setia, kami hanyalah budak rendah kalian!”

            Beberapa budak ikut bersorak mendukung. Hampir sekitar sepuluh budak berdiri dan berteriak.

Bebas! Bebas!

            Dhanu takjub mendengar keberanian budak itu. Dia menggigit bibirnya untuk  menahan gejolak darah di tubuh yang mengalir seperti sungai deras.

            “Bawa budak pemberani itu ke sini,” perintah Dhanu.

            Budak itu menyadari ini adalah hari terakhirnya, ia tertunduk, prajurit datang menyeret tubuhnya dengan kasar sampai kakinya terseret lunglai di atas rumput-rumput tipis. Namun, dia yakin kata-kata terakhirnya dapat membangkitkan keberanian budak lainnya.

            “Katakanlah wahai abdi setia, apakah kau membenci penebusan dosa ini?”

            Budak itu tidak bergeming sampai Dhanu harus berdeham keras. Dhanu tidak suka di campakkan. Dengan suara gemetar budak itu berkata, “hamba menerimanya Tuan.”

            “Kebohongan bukan keahlian yang diajarkan, kebohongan timbul dari rasa ketidak percayaan, ketidak percayaan memicu pengkhianatan,” kata Dhanu, dia  mengangkat dagu sang budak itu. cukup untuk membuat wajah tirusnya sejajar dengan mata sayu si budak. “Apa kau membenci penebusan dosa ini?”

            “Ha.. hamba ingin bebas Tuan, bertahun-tahun kami dipisahkan dari keluarga, bertahun-tahun kami mengabdi, kami tidak memiliki harta, kami hanya ingin hidup selayaknya manusia yang diberkati sang dewa,” kata budak itu tidak tahan, air mata menetes lagi sampai membasahi punggung tangan Dhanu.

            Dhanu mengangguk, wajah hitam berjerawatnya menunjukan raut kosong seolah dirinya patung hitam yang berdiri. Setelah menatapnya dengan iba, tangan Dhanu menyambar mulut si budak, ditariknya lidah yang menjulur seperti sulur merah muda. Darah panas menyembur membanjiri wajah Dhanu.

            Budak itu langsung jatuh tersungkur, tercengang dan tersiksa. Tubuhnya menggeliat seperti ternak yang di sembelih di atas genangan darah berwarna merah gelap. Para budak meneriakinya dan berjuang melarikan diri seketika. Suasana pelataran menjadi gaduh, para budak berlarian. Namun, sewaktu mereka tiba di pintu gapura, prajurit-prajurit pengawal yang berjaga di menghalangi dan menendangi mereka satu persatu.

            “Diam!” teriak Dhanu menggema dari pusat pelataran. “Atau kalian semua akan bernasib sama! Dua, tiga, empat, bahkan seratus lidah sekalipun akan aku cabut dari mulut kotor kalian!”

            Para budak kini berlutut, jemarinya mencakari rumput pelataran, mereka menangis tidak jelas. Sebagian masih terkapar sambil mengerang. Di belakangnya para prajurit tertawa.

            “Tabib! Dimana tabib terkutuk itu!” Dhanu kini tidak bisa membendung amarahnya lagi. Dia membanting lidah yang di cengkramnya tepat ke arah punggung si budak tanpa lidah yang sudah berhenti bergerak.

            “Ham... Hamba siap melayani Tuan,” Asih menjawab, saat itulah dia tiba, air mata membanjiri pipinya.

            “Rawat luka mereka yang terluka! Aku tidak ingin melihat ada pembangkang lagi di candi!”

            “Tuan...,” kata Asih dengan suara parau.

            Dhanu membelalak, otot-otonya tubuhnya semakin berkedut. Dhanu menggapai rahang Asih, “Apakah kata yang keluar dari mulutmu akan mencabut lidahmu juga?”

            “Ibu!” bisik Satria tidak terima. Dia hendak berlari menerjang, tapi Syam dan Harysa mendekap Satria sebelum pengawal menyadari lompatan Satria.

            “Jangan, adik kecil,” bisik Harsya, tangannya membenamkan kepala satria ke rumput, memaksa Satria tetap bersujud. “Jangan buat ibumu melihatmu mati di hadapan Dhanu, tidak juga di hadapan kami.”

            Di atas rumput hijau sehalus beludru Satria tidak berdaya, dia menyumpah, dan menangis sejadinya. Dia sangat membenci dewa saat itu juga. Terkutuklah para pengawal dan Dhanu, terkutuklah sang raja dan perintah-perintahnya! Satria terus menyumpah.

            “Hamba akan mengobati mereka Tuan... Tak ada niat hati melawan, hamba butuh waktu untuk merawat, mereka pun butuh waktu untuk diobati,” jawab Asih memelas, suaranya seperti tercekik oleh ketakutannya.

            Dhanu meludah di samping asih, darah bekas si budak mulai terasa asin di mulutnya. Dia lalu melepaskan dagu Asih, dan berkata dengan lantang,  “Aku tidak peduli! Kau tahu apa yang seharusnya kau kerjakan. Aku hanya perlu tahu bahwa mereka bisa bekerja kembali.”

            Wibawanya seakan hilang tertelan kemarahan, dia bangkit berdiri dan memanggil pengawal yang menjaga kuda hitamnya. Selagi menunggu kudanya tiba, Dhanu memanggil Garung.

            “Beri mereka makanan sisa seperti biasa, pastikan mereka tetap menurut, kalau mereka masih berani melawan, cambuk punggungnya sekeras kalian menebas batang pisang. Sungguh mereka membuatku murka, aku akan pergi dan kembali ke istana untuk menemui Raja Dharma.”

            Garung mengangguk, bersamaan dengan datangnya kuda hitam milik Dhanu. Dhanu menaiki si kuda hitam dan menarik pelananya hingga sang kuda meringkik ngeri menendang langit. Kuda Dhanu melesat berderap seperti bayangan gelap, sampai akhirnya tidak terlihat lagi.

 

***

Terpopuler

Comments

Fen_Leo

Fen_Leo

Astaga... Aku sampai tenggelam dengan ceritanya. Keren sumpah. 👍

2023-07-19

0

Người này không tồn tại

Người này không tồn tại

Penasaran

2023-07-14

1

Uchiha Itachi

Uchiha Itachi

Bagus sekali thor, membuatku terus ingin membaca!

2023-07-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!