Prolog

“Kau yakin ke sini arahnya?” Toro mendesak dua prajurit di depannya sewaktu hutan di sekeliling mereka mulai gelap. “Kita tidak akan kembali ke kedaton sebelum membawa mayat si pembangkang tua itu. Kalian harus tahu jika kita gagal, kepala kalian tidak akan pernah utuh lagi.”

            “Hamba yakin Tuan!” kata prajurit berbadan kurus yang ketakutan mendengar ancaman dari mulut Toro.

            Toro memaklumi rasa takut dari anak buahnya. Dia sudah menyaksikan keganasan Raja Mahardhika, semenjak satu tahun terakhir dirinya di angkat menjadi wakil panglima Nusantara. Sang raja yang telah menjadi raja di antara raja-raja Zamrud menjadi sosok yang paling dihormati dan ditakuti. Seumur hidupnya, Raja Mahardhika tidak akan ragu untuk memancung para prajurit-prajurit yang gagal. Bagaimanapun Toro harus hati-hati, kecerobohan anak buahnya dapat menjadi malapetaka bagi mereka.

“Benarkah yang engkau lihat adalah dia?”

            “Tentu Tuan! Ciri-cirinya sudah sangat jelas, seorang kakek renta dengan rambut putih megar dan janggut sepanjang jerami, tubuh kurusnya dibalut jubah hitam compang-camping. Daksa berhasil melukai kakinya dengan tiga tusukan tombak,” kata prajurit bertubuh kecil yang berjalan pelan menepuk-nepuk bangga bahu Daksa.

            “Itu pasti Purnapana,” cetus Toro bersemangat, sambil mulai menyalakan obor. “Sekali lagi aku peringatkan kalian, dia bukan orang sembarangan, jangan tertipu dengan keriput di wajahnya.”

            “Tapi Tuan, apa sekarang waktu yang tepat untuk menyalakan obor? Hamba khawatir Purnapana akan lebih mudah menyergap nantinya.”

            “Terkutuk!” Toro mendengus, urat wajahnya berkedut. Sejak kecil Toro tidak suka di remehkan, apalagi oleh prajurit berpangkat rendah. “Bukankah aku sudah bilang kakek tua itu bukan orang sembarangan? Dia adalah Purnapana, guru dari Raja Dotulong, sang pembangkang! Kalau memang ingin, dia sudah menyergap kita sejak tadi. Seandainya dia muncul dalam kegelapan di hutan rapat ini tanpa obor, aku menjamin kalian tidak akan pernah melihat cahaya pagi lagi.”

            Dua prajurit prajurit itu menunduk tegang menyesal. Mereka teringat kisah-kisah lama yang seram, tentang manusia-manusia siluman yang berubah menjadi sosok harimau. Pasukan pemberontak yang dikisahkan keluar dari dalam neraka. Membayangkan kisah itu saja membuat isi perut mereka meleleh.

Setiap detak, kepala prajurit itu mulai di penuhi keraguan. Benarkah yang mereka kejar sekarang adalah Purnapana? guru dari Raja Dotulong sang raja siluman harimau pemberontak.

            Sewaktu hari kian malam di dalam hutan. Suasana mulai terasa berbeda dan aneh. Hembusan angin terasa berat dan basah. Setiap dua langkah kaki, bulu kuduk Toro meremang. Padahal Toro bukanlah seorang pria penakut. Namun malam ini yang terburuk. Dahan-dahan pohon berkersak hebat seolah hidup untuk menyaksikan ketiga prajurit itu berjalan. Sepanjang perjalanan lengan toro tidak pernah menjauh dari keris di pinggangnya.

Toro adalah putra kedua dari keluarga Prajurit bangsawan Kedaton Nusantara. Dia adalah pria tampan dan gagah berusia dua puluh lima tahun, bermata coklat, dan bertubuh kekar. Berbeda dengan prajurit-prajurit berpangkat rendah yang kebanyakan bertelanjang dada. Dia mengenakan baju pelindung kawaca berbentuk tabung panjang yang terbuat dari tembaga mengilap, di pinggangnya terikat selendang dengan simbol matahari berwarna perunggu dari Kerajaan Nusantara, serta gelang-gelang berbahan perunggu sebagai tanda wakil prajurit. Selendang yang terikat pinggangnya merupakan pencapaian terbesar yang dia peroleh; terbuat dari kain sutera terbaik di Zamrud, tebal, dan mengilap.

Di usia remaja, Toro sudah membunuh seorang pria dewasa. Saat itu, Toro memergokinya sedang mencuri seekor ayam. Dia teringat betapa mudahnya ayunan kayu di tangannya melayang ke arah kepala pria itu sampai membuat kepala si pencuri hancur seperti gelas pecah.

“Di sinilah tempatnya,” kata salah satu prajurit yang terlihat mual.

Puluhan prajurit tak bernyawa di hadapan mereka berserakan seperti daun kering. Toro mencoba tegar, lima puluh prajurit yang di bawanya dari istana kini hanya menjadi mayat berbau busuk. Di lihat dari segala kemungkinan, Toro sudah kalah. Tapi, menyerah pilihan yang dibencinya.

Dia sangat menyesali keputusannya untuk menetap di perkemahan sementara prajurit lainnya bersikeras untuk mencari. Saat ini, Toro mengakui kesalahan terbesarnya, yaitu meremehkan Purnapana. Toro mengintip ke arah langit, seorang siluman itu bisa saja bersembunyi di dahan-dahan hutan yang lebat, tapi Toro kemudian memilih melupakan gagasan itu.

“Tombaknya tepat mengenai kaki?”

Daksa mengangkat bahu, “dua tusukan di paha kanan dan satu tusukan di lengan.”

“Kau bilang tiga tusukan di kaki?” Toro bersikeras.

“Satu tusukan terakhir, hamba tidak yakin Tuan.”

“Ingatanmu lebih buruk dari ingatan keledai.”

Toro lalu membuat dua obor lagi dengan mengaitkan sisa-sisa selendang yang berlumuran darah kering mayat prajurit pada sebuah ranting tebal.

“Kau bergerak ke arah sana, dan kau ke sana,” perintah Toro sambil menunjuk ke dua arah berlawanan.

“Tuan, lawan kita adalah penyihir.. bahkan siluman.”

“Menguasai cindaku tidak membuat mereka kebal dari luka!” Toro tidak dapat menahan kesabarannya.

Dua orang prajurit itu segera mengambil obor dan menghambur di arah lain. Toro berpaling dari bayangan anak buahnya yang menghilang. Pandangannya tertuju pada mayat prajurit yang terbaring kaku. Toro tidak terlalu mengenal mereka sangat dekat, sebagian telah berumur lebih tua darinya dan berwajah pucat.

“Sungguh mengesankan,” Toro tertegun, sambil mengibas lalat-lalat yang berdengung.

Toro tidak pernah melihat mayat sebanyak itu. Mayat terbanyak yang pernah dilihatnya kebanyakan berjumlah kurang dari sepuluh, itu pun hanya berupa tahanan-tahanan yang dipancung atas perintah Patih Mahardhika. Namun, mayat ini berbeda, tubuhnya tercabik-cabik seperti daun rontok. Daging berwarna merah menggelap berceceran seperti selai. Tatapan mata mayat prajurit itu terbuka dan kosong, seolah mereka tidak menyadari serangan yang membunuhnya.

Toro lalu mengarahkan obornya ke arah depan. Bayang kedip-kedip api kecil dari obor anak buahnya masih terpancar redup. Toro berhenti di dekat pohon ulin yang tinggi untuk bersandar. Dia menatap ke kejauhan, wajahnya termenung. Selendangnya bergerak-gerak di pinggangnya bagai ular.

Sekelebat dia melihat sesuatu yang bergerak dari tumpukan mayat yang berserak. Instingnya merasa itu adalah seekor gagak atau hewan pemakan bangkai. Awalnya dia tidak tertarik, tetapi setelah memandang dengan jeli. Tubuh mayat itu tumbang dengan menggunakan pakaian gelap. Semua prajurit rendah di Nusantara bertelanjang dada. Apakah itu mayat Purnapana? Pikirnya, senang.

Jantungnya berdetak gembira. Untuk sesaat dia tidak berani bernapas. Cahaya bulan membanjiri mayat itu dengan jelas. Dari jarak pandangnya dia meyakini mayat itu adalah Purnapana. Sewaktu dia semakin mendekat. Sosok mayat itu meluncur seperti anak panah dengan gerakan cepat yang tangkas, mencengkeram betis Toro dan mengoyaknya. Daging betisnya tercerai berai seperti ceceran bubur.

Toro menjerit bagai binatang yang kesakitan. Di hadapannya berdiri sosok makhluk berbulu putih selebat kucing hutan dengan corak abu loreng. Cara berdirinya sangat anggun dan berwibawa, kedua lengannya diposisikan seperti hendak menerkam mangsa. Tinggi makhluk itu lebih tinggi sejengkal dari Toro.

Sesekali Makhluk itu membuka mulutnya memperlihatkan deretan taring-taring seputih gading yang berjajar seperti perbukitan. Tatapan matanya lebih tajam dari elang, pupilnya menyala seperti pendar emas dan cakarnya sepanjang pisau belati. Darah segar Toro menetes dari ujung cakarnya.

“Purnapana! Purnapana!” jerit Toro.

Dua prajuritnya yang berada cukup jauh berlari menuju arah Toro. Namun kehadiran mereka sia-sia. Dengan satu lompatan singkat, Purnapana menebas leher Toro seperti hembusan angin. Toro yang bergerak selambat satu detak. Terlambat menyadari serangan itu. Kepala Toro terlempar dan menggelinding di semak belukar. Daksa hanya bisa berdiri kaku melihat tubuh tanpa kepala Toro terjatuh, di lehernya menyembur darah segar seperti pancuran lumpur. Purnapana lalu terjatuh dan mengaum hebat karena menahan luka sakit di paha kanannya akibat tusukan tombak Daksa.

“Demi Patih Mahardhika! Matilah kau Purnapana!” Satu prajurit yang berbadan kurus berlari menerjang sambil mengacungkan tombak bajanya. Gerakannya tidak cukup lihai, Purpana lalu segera bangkit dan bergerak secepat angin. Cakarnya menembus kulit perut si prajurit dan mengoyak isinya. Ceceran jerohannya berterbangan seperti percikan hujan membasahi wajah harimau Purnapana.

Tubuh Daksa bergetar hebat, kakinya tidak bisa digerakkan seolah tertancap di tanah. Daksa menjatuhkan tombaknya, lalu akhirnya bertekuk lutut di hadapan Purnapana. Daksa lalu memejamkan mata dan berdoa pada dewa-dewa hutan tak bernama. Mata kanan Daksa terbuka. Pupil manusia harimau itu seterang bulan purnama. Daksa merasakan sesuatu yang lembut selembut bulu kucing menyentuh pipinya, dan mengencang di leher. Daksa lalu membuka kedua matanya, seketika sekujur tubuhnya mati rasa dan penglihatannya menjadi gelap.

 

***

Terpopuler

Comments

Fen_Leo

Fen_Leo

Keren ceritanya. Penulisannya bagus banget. Banyak belajar saya🤗🤗

2023-07-19

2

The Lucky

The Lucky

serasa nonton kolosal

2023-07-18

1

Cumi 19

Cumi 19

Suka banget sama karakter di cerita ini, tambah banyak lagi ya thor!

2023-07-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!