Saat dia terbangun di atas alas jerami kering. Asih bermimpi tentang masa lalunya. Satria yang masih bayi menangis kelaparan di pelukannya. Satria kecil itu meronta-ronta dengan gusi semerah buah persik tanpa gigi, sesekali Satria cegukan dengan jemari kecil meremas payudara Asih untuk meminta susu.
Asih merasa seperti utuh kembali. Mimpi itu terasa begitu nyata seakan terjadi sebelum matahari terbenam. Dia berusaha untuk tidak mengingat hari-hari setelah kenangan indah itu berlalu. Sewaktu para prajurit harus mengikat dan membawa Asih menuju pengungsian budak pada lima belas tahun silam.
Pada akhirnya fajar datang dengan sangat kejam. Dia bangun dengan perih di hati yang luar biasa. Air matanya menetes dan mengering secepat angin berhembus, menyisakan kerak yang terasa asin di kulit pipi. Dia bangun dengan lirih sambil menahan tangis.
Asih tidak pernah menyukai perkemahan budak di Mayakarsa. Dia terlahir di Kota Nasai dari pasangan tabib dan dibesarkan pula sebagai seorang tabib. Sudah lima belas tahun dia merindukan gemercik sungai yang mengalir merdu di sisi kota Nasai, burung-burung yang berkicau merdu di ranting pohon jambu sewaktu dia merawat luka dari para petani jagung dan keladi. Ia juga merindukan semerbak udara harum dengan aroma bunga di gubuknya.
Lambat laun Asih sadar tidak seharusnya dia merindukan hal yang sudah hilang dalam kehidupannya. Inilah kenyataan hidup yang harus dia terima saat ini. Meringkuk di kemah beralaskan jerami kering yang kasar dan gatal. Alas kemah itu terbuat dari jerami-jerami yang dipilin dengan kulit batang jagung kering. Sebuah kain tenun sewarna tanah setipis kulit jagung compang-camping membalut sebagian alas jerami, kondisinya menyedihkan dan mudah robek. Tubuh Asih sudah berbau menyengat karena tidak pernah mandi selain dari air hujan yang memandikannya dengan paksa.
Dia teringat untuk mengecek luka Gondro, budak tua berusia enam puluh tahun. Asih berharap luka di telapak tangan dan betisnya tidak memburuk. Sudah bertahun-tahun Gondro hidup dengan luka yang mengenaskan akibat cambukan, luka terbakar, atau sekedar terkikis batu bata tajam. Semakin hari lukanya semakin parah ditambah usia yang terus memakan kehidupannya. Asih menjadi semakin khawatir.
Di kejauhan Asih mendengar beberapa prajurit prajurit terbangun malas dan masih banyak yang mendengkur. Tuak malam kemarin sepertinya masih tertampung dalam perut mereka, pikirnya.
Budak lainnya sudah terbangun, kebanyakan di antara mereka berwajah sedih, berkeriput dan sangat kurus. Rambutnya sekering lidi, kadang dipenuhi kutu. Mereka seakan tidak pernah bermimpi indah dan terjebak di dalam ruang gelap di sepanjang hidupnya. Budak-budak itu orang yang baik, lemah lembut. Walaupun banyak diantaranya adalah pendosa, dan pecundang. Asih tetap merasa iba.
Di mana Satria? seketika Asih merasa rindu. Tapi ia mengalihkan rasa itu dan beranjak menuju kemah para budak yang terluka.
“Asih,” sapa rintih seorang budak yang gundul dan berkeriput.
Dia terbaring lesu dengan balutan kain suram kecoklatan di sekujur telapak tangan dan pahanya. Lalat-lalat berwarna hijau berdengung di sekitar luka menunggu untuk bertelur. Asih menahan air mata, seharusnya manusia biasa sudah mati dengan luka seperti itu sejak berhari-hari lamanya. Tapi Gondro lelaki yang kuat, pasti dewa mempunyai alasan mengapa Gondro bisa bertahan selama ini.
“Aku akan mengecek lukanya lagi,” katanya sambil meremas dan menumbuk daun sirih kering dengan batu.
“Terima kasih Asih, kau tidak perlu serepot ini pada kami,” kata Gondro sambil memandang Asih. Tatapannya seperti tidak bernyawa.
“Jangan bicara seperti itu, Aku melakukannya karena aku ingin. Kau yang membantuku merawat Satria di tengah siksa ini, tentu aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu.”
“Itu bukan suatu hutang yang harus kau bayar, selama lima belas tahun aku mengenalmu, tidak ada satu pun kebenaran yang aku tahu tentangmu, Asih.” Gondro mencoba bangkit, tetapi dia merasa kepayahan dan akhirnya terbaring menyerah. Luka di betisnya terasa terbakar, berat, dan berbau amis. Dengan suara parau ia melanjutkan, “Bagaimana kau bisa berakhir seperti kami Asih? kau seorang tabib, tempat ini tidak pantas untuk seorang yang berhati mulia. Kami semua pendosa. Dewa macam apa yang mengirimmu ke neraka ini.”
Asih memilih tidak menjawab. Dia kemudian membuka balutan kain di telapak Gondro. Cairan kuning keluar dari sekujur luka Godro bagaikan getah. Dengan perlahan Asih menyeka nanah itu dengan sobekan kain kering yang dia robek dari alas atap kemahnya. Dia tidak akan mendapatkan peralatan bersih di sini. Prajurit tidak akan peduli dengan mereka selain bekerja sampai mati.
“Saat usiaku remaja, aku sering mencuri,” wajah Gondro nampak menyesal. “Aku ingat bagaimana bapak yang pemabuk selalu pulang dengan tangan kosong. Tidak pernah sekalipun dia membawakan kami uang logam ataupun makanan yang enak.”
“Bukankah dulu kau pernah bilang ayahmu seorang prajurit.”
“Memang, dia prajurit celaka, bapak bilang kelahiranku adalah kesialan, kecelakaan terbesar dalam hidupnya.”
“Seorang anak yang lahir dari perempuan yang dicintainya bukanlah kesialan Gondro,” Asih berkata ketika dia memupuk bubur sirih itu di telapak tangan Gondro.
Gondro mengeram, dan melanjutkan, “tidak untukku, karena aku anak pelacur, anak haram,” kata-kata itu keluar dari mulut Gondro selancar aliran sungai.
“Bapak hanya pulang ketika dia bernapsu, memanfaatkan ibu yang mencintainya. Dalam pelukan bapak biadab itu, ibu berharap bapak menikahinya dan mengangkat derajat kami.”
Pengakuan itu membuat Asih tersenyum lemah. Tidak ada sepatah kata hiburan yang ingin Asih ucap. Asih tahu yang Gondro inginkan saat ini adalah telinga untuk mendengar.
“Hidupku seperti sampah di tengah jalan. Siapa yang menginginkan aku? Seorang gelandangan yang bertahan hidup dari mencuri beras, singkong dan ternak,” Gondro menghembuskan napas, napasnya tidak beraturan. “Semenjak aku dilahirkan, aku tahu dewa hanya akan menenggelamkanku ke laut yang dalam.”
Asih tidak bergeming, juga tidak menjawab. Dia sudah banyak mendengar cerita menyedihkan tentang masa lalu para budak di kemah. Dilahirkan tanpa cinta, hidup tanpa gairah. Semua bagaikan cerita dongeng dari buku yang ditulis oleh iblis. Setiap kali kalimat itu keluar dari mulut para budak yang putus asa, Asih merasa seperti berada di neraka paling dalam.
“Bagaimana dengan anak itu sendiri, aku yakin Satria anak yang istimewa, bukankah begitu?”
“Aku juga masih tidak mengetahuinya,” Asih menunduk, menghindari tatapan Gondro.
“Jadi dia hanya anak haram, sama sepertiku,” Gondro mengerang lagi.
“Tidak.”
“Lalu? Rahasia apa yang kau simpan di neraka ini Asih.”
“Aku tidak bisa menjawabnya,” suara Asih merendah.
Sesaat Gondro mengeram lagi sewaktu Asih membuka balutan kain di betisnya. Luka itu benar-benar sudah membusuk. Berwarna hitam seperti tinta, garis putih tulang nampak jelas sewaktu Asih membalurkan sedikit bubur sirih di sisi luka.
“Aku sudah sekarat. Waktuku hampir habis, tapi kau dan anak itu, hidup kalian masih panjang.”
“Kita masih bisa berjuang untuk terus hidup,” kata Asih berpura-pura tegar.
“Menurutmu begitu? Kita semua yang berada di sini bagaikan terbaring di atas rakit di tengah lautan Asih. Kau mati tenggelam atau kau mati kelaparan,” Gondro tidak menyetujui Asih, suaranya mulai berat. “Setidaknya tiba waktuku untuk tenggelam dalam damai.”
“Jangan berbicara lagi," gumam Asih.
“Setiap kali nyawa mereka hilang satu persatu, pernahkah kau bertanya kapan giliranmu?”
“Aku masih punya harapan.”
“Kau pikir dewa-dewa langit akan keluar dan membebaskan kita?” Gondro mencoba tertawa tapi tersedak oleh kesakitan lukanya.
“Ya, aku masih menganggap semua ini akan berakhir baha-” Asih terdiam tiba-tiba, perhatiannya teralihkan. “Sudah tiba waktunya.”
Suara kentungan bergema menandakan perintah Dhanu cukup jelas, bahwa mereka harus bangun untuk kembali memulai bekerja membangun Candi Condok.
Dhanu seorang kepala pengawas di kawasan pembangunan Candi Condok. Dia adalah Adik Raja Dharma, Raja Kerajaan Mayakarsa. Dhanu lelaki jangkung dengan wajah penuh jerawat berwarna merah padam dan hidung bengkok, warna kulitnya sehitam arang, dia berambut panjang dan lepek. Sebagai Adik Raja Mayakarsa, rambut Dhanu disanggul membulat seperti buah tomat, untuk menandakan status bangsawannya.
Pembangunan candi itu sudah berlangsung selama hampir lima belas tahun semenjak Asih dan Satria kecil tiba di sini. Demi kepentingan pemujaan, Dharma membangun candi yang megah itu sebagai bentuk rasa syukur untuk kejayaan Mayakarsa pada dewa kemakmuran. Dharma tidak peduli meskipun pembangunan candi itu harus dipenuhi darah kematian para budak. Ia membeli budak-budak itu dengan harga yang mahal, dengan anggapan keping emas yang dikeluarkan setara dengan nyawa para budak itu. kebanyakan para budak berasal dari berbagai kriminal dan sampah masyarakat dari kerajaan-kerajaan sekutu di Zamrud.
Dharma percaya pekerjaan budak itu sangat mulia. Mati untuk menebus dosa demi prospek kemegahan dan kebanggaan. Seharusnya pembangunan itu selesai pada bulan ini. Dharma sudah memperkirakan masa panen tiba berbarengan dengan selesainya Candi Condok.
Di area kemah budak, dua pengawas prajurit Mayakarsa terlihat menggenggam sebuah kentungan dari bambu. Salah satunya bernama Garung, prajurit penanggung jawab dan kastanya berada di bawah Dhanu. Segala kepercayaan Dhanu di limpahkan pada Garung sewaktu Dhanu tidak sedang berada di Candi Condok.
Dua orang itu bertelanjang dada menggunakan selendang sutra dengan simbol keris dengan gagang sulur bunga mawar yang menandakan simbol Kerajaan Mayakarsa. Kebanyakan tubuh Prajurit Mayakarsa tambun dan kendur karena selalu disuguhi makanan hangat dan meminum tuak setiap harinya.
“Bangun cepat! Kalian budak tidak berguna!” kata Garung sambil menendang seorang budak yang mencoba bangkit dari alas jeraminya.
Para budak berhamburan seperti segerombolan semut, diantaranya ada yang beranjak menuju pembakaran tanah liat, daerah penggalian, dan pengangkutan batu bata. Mereka berdua terkekeh melihat kesengsaraan budak-budak itu.
“Tidak ada yang lebih menyenangkan dari membangunkan keledai ceking,” cetus Garung sambil memegang kentungan.
Prajurit satunya tidak menyetujui, dia tertawa lepas seakan ingin menelan udara, memperlihatkan gigi kuningnya yang berkerak sambil berkata, “menurutku yang terbaik adalah ketika menendang pantat kotor mereka saat bergerak lambat, kau tahu itu.”
Mereka berdua lantas tertawa terbahak-bahak seperti orang dungu.
Perhatiannya teralihkan pada kemah para budak yang terluka. Garung memperkirakan ada sekitar dua puluh budak yang terluka. Kebanyakan dari mereka memiliki luka lebam, tulang terkilir, dan luka cambuk. Namun, luka Gondro memang yang paling menarik perhatian. Dia adalah budak perintis, salah seorang dari sepuluh budak pertama yang dimiliki Mayakarsa. Sayangnya sembilan budak lainnya telah terkubur di tanah kematian, bersama impian-impiannya yang hilang.
Kondisi mengenaskan itu menjadi bahan lelucon diantara para prajurit. Mereka bahkan sering bertaruh koin emas di malam pesta, untuk menebak berapa lama lagi Gondro, si budak tua akan menemui ajalnya.
“Lihat di sini, keledai tua yang akan mati,” cibir Garung.
“Kalian sudah mendapat perawatan Asih! Cepat minggat.”
Para budak yang terintimidasi bangun sambil menahan perih, hampir setengahnya mengerang sambil memegang luka yang membiru, mereka bangkit dan meninggalkan kemah dengan langkah tergopoh-gopoh. Dua prajurit itu mengangguk bangga.
“Gondro, aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Kau budak yang penurut, pendosa dungu,” kata prajurit satunya, dahinya berkedut. “Apa kau tidak mendengar perintah Garung?”
“Tuan jangan aku mohon, lukanya semakin parah,” sahut Asih bersujud, mengharap belas kasihan. “Gondro tidak akan sanggup.”
Prajurit si pemegang kentungan menendang wajah Asih begitu keras sampai bibirnya berdarah. “Biarkan lidahmu diam, atau yang lebih buruk akan terjadi lagi. Kami tidak minta pendapatmu tabib,” dia lalu menyingkirkan tangan Asih dari kakinya.
Darah di mulutnya terasa pekat seperti besi asin. Asih mundur menjauh dan duduk bersedekap sambil bersujud, tangannya gemetar tetapi dia tidak menyesalinya.
“Maafkan hamba Tuan, telah lancang.”
Garung mulai kehabisan kesabaran, dia mendekati Gondro, berjongkok dan meludahi balutan kain yang menutupi kedua telapak tangannya. Dengan wajah yang memerah dia berkata lantang, “cepat berdiri!”
Gondro hanya bisa berpasrah, dia mencoba melawan rasa terbakar lukanya. Rasa sakit bercampur basah dan hangat terasa di sela-sela jari sewaktu dia mencoba bangun dengan menumpu dengan telapak tangan. Cairan nanah mulai melumuri balutan kain yang dibalut Asih, kini kain itu bercampur dengan ludah prajurit.
Kedua prajurit mulai merasa girang, mereka bertepuk tangan sambil menyoraki usaha Gondro. Si pemegang kentung mendendangkan bunyi kentungan sampai menggema hebat. Dentumannya menarik perhatian beberapa prajurit-prajurit budak lainnya untuk menonton, kemah itu seolah jadi pertunjukan hiburan.
Asih merasa mual. Dia menundukan wajahnya ke arah pasir tandus di bawahnya seraya meneteskan air mata. Ingin rasanya dia berteriak sekencangnya, berharap dewa menghentikan aliran waktu, memberinya ruang untuk menyelamatkan Gondro untuk merawat kembali luka dan membiarkan Gondro beristirahat dengan damai. Mereka memperlakukan Gondro seperti anjing sekarat, pikirnya sambil menangis terisak.
Tubuh Gondro mulai mengigil. Napasnya tersengal-sengal seperti anjing jalanan. Dia mengeram dengan upaya keras untuk bangun. Peluh mulai membanjiri pelipisnya, ingus mulai menetes dari kedua lubang hidung yang kering dan air liur mengumpul di rongga mulutnya. Dia tidak bisa berpikir apa-apa lagi selain memaksa tubuh kurusnya untuk bangkit. Sampai pada usaha terakhirnya, Gondro terjatuh dengan mulut menganga, napasnya mulai pendek seperti tercekik. Dalam beberapa detik Gondro tidak bergerak lagi, lalu selesai.
Para prajurit bersorak kecewa. Mereka membubarkan diri dengan tidak semangat, menyisakan dua prajurit, si Garung dan satunya.
“Tidak ada yang lebih menarik dari pagi ini!” kata Garung, masih memukul-mukul kentungan dengan raut bodoh.
“Yah, pada akhirnya si tua ini mati juga. Biar aku yang membawa mayatnya ke tepi hutan, kurasa dewa hutan ingin anjing liar kenyang malam ini,” cetusnya sambil terkikik menendang mayat Gondro. “Kau kembalilah ke pelataran, masih banyak hiburan di pelataran. Kurasa akan banyak budak yang tumbang minggu ini.”
Prajurit itu lalu mengangkut mayat Gondro di pundak dan menghilang di balik tepi-tepi bebatuan di pinggir kemah. Asih masih menangis terisak tidak berdaya.
“Sekarang giliranmu untuk bangkit. Pergilah ke pelataran, lakukan tugas muliamu seperti biasa. Pantau para budak yang sekarat, rawat lukanya untuk memperpanjang hidupnya, kita tentu tidak ingin mereka mati cepat sebelum candi selesai,” cetus Garung sambil berbalik meninggalkan Asih dan mendentumkan kentungan sebanyak dua kali tanda budak sudah tidak tersisa di kemah.
“Kenapa.. kenapa harus seperti ini Tuan,” suara lirih Asih, sambil membungkuk air matanya mengucur lagi.
Garung menengadah ke atas langit biru, langit di penuhi awan tipis yang perlahan menghilang karena cahaya fajar. Dia lalu kembali tertawa sombong dan berjalan meninggalkan Asih sambil bergumam pada dirinya sendiri, “kenapa dia bilang.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Silvi Aulia
cerita bagus Thor aku suka banget bacanya 🤗😍
2023-07-19
1
Tajima Reiko
Aku jadi terbawa suasana dengan ceritanya, bagus sekali! ❤️
2023-07-14
1
Victorfann1dehange
Sejak membaca cerita ini, saya merasa lebih bahagia.
2023-07-14
1