Dokter Cantik, Tolong Asuh Saja Ayahku
Terkadang, Gita pernah beberapa kali mengeluh kepada Tuhan.
Mengapa hanya Gita seorang yang harus merasakan rasa sakit ini di kala teman-teman Gita yang lain bisa bermain-main dengan bebas di luar sana.
Gita juga ingin berlarian di taman, mencium aroma bunga mawar bersama Ayah, atau memetik buah ceri bersama Dimas.
Namun Gita tidak bisa melakukan itu semua.
Jangankan berlarian di luar, terkena sinar matahari sedikit saja, rasanya seluruh tubuh Gita sudah terbakar.
Kesedihan menumpuk di hati Gita.
Namun seiring waktu berjalan, kesedihan itu menjadi amarah.
Amarah menjadi penyangkalan.
Dan dari penyangkalan yang Gita lakukan selama setahun lebih terkena penyakit ini, akhirnya Gita tersadar.
Ini adalah takdir yang Gita harus terima.
Mungkin inilah waktu bagi Gita untuk menyusul Ibu di surga sana.
Akan tetapi,…
Jika ajal Gita memang telah dekat…
Hanya satu yang kupinta padamu, Tuhan.
Pertemukanlah Ayah dengan tante baik hati sebaik Ibu yang bisa menggantikan posisi Ibu dan Gita di hati Ayah.
Gita hanya tak ingin Ayah merasakan kesendirian jika Gita juga harus pergi meninggalkan Ayah.
“Uakh.”
Gita yang tak kuat lagi menahan rasa sakit perihal peradangan di hatinya, tersungkur jatuh ke tanah.
Darah segar berceceran melewati mulutnya.
Gita yang bahkan masih belum genap berusia 7 tahun itu, harus menderita suatu penyakit langka yang disebut sebagai penyakit sindrom laba-laba.
Seluruh tubuh sang gadis mungil dipenuhi oleh bercak membentuk pola menyerupai jaring laba-laba.
Suatu penyakit langka mematikan yang sampai saat ini belum ada obatnya.
Dengan tertatih-tatih, Gita merangkak kembali ke atas tempat tidurnya, tempat di mana Gita menghabiskan sebagian besar harinya selama setahun lebih ini sejak menderita sindrom laba-laba tersebut.
Pada akhirnya Gita menggapainya.
Sebuah lonceng yang berfungsi di kala Gita ingin memanggil para pelayan untuk merawatnya berhasil digenggam oleh tangan mungil Gita.
-Tring, tring, tring.
Namun demikian,
“Eh, itu bukannya suara lonceng Nona Penyakitan, bukan? Memangnya siapa yang bertugas hari ini untuk merawatnya?”
“Jangan tanya aku. Itu bukan aku.”
Dari kedua pelayan yang secara kebetulan berada di luar yang mendengarkan jerih hati pertolongan Gita melalui loncengnya, tidak ada satu pun yang segera merespon.
“Yuk kita pergi saja, Leli. Ini kan bukan urusan kita.”
“Tapi bisa bahaya kan kalau Tuan Rukaf pulang tahu-tahu anaknya kenapa-kenapa?”
“Kamu benar juga, Leli. Kalau begitu kita masuk bersama.”
Di saat kedua pelayan akhirnya menunjukkan sedikit iba mereka kepada sang anak kecil malang, atau itu lebih tepat dikatakan sebagai bentuk takut mereka kepada sang majikan yang merupakan ayah dari anak kecil malang itu, sayangnya sebuah suara lain tiba-tiba terdengar.
“Leli, Lidia, mau ke mana kalian? Apa pekerjaan laundry kalian sudah selesai?”
“Belum, Nyonya.”
“Lantas apa yang kalian perbuat di situ! Cepat pergi sana selesaikan!”
Kedua pelayan pun seketika lupa terhadap sang anak kecil malang perihal teriakan dari sang kepala pelayan.
Begitulah Gita ditinggalkan sendirian di dalam kamarnya, merintih kesakitan seorang diri.
Rikha, sang kepala pelayan, mengintip sejenak dari balik pintu sembari tertawa menikmati penderitaan sang anak malang.
***
Harum bunga mawar seakan masih terngiang di benakku.
Engkau yang memanggilku Sayang lantas berlarian di atas rumput yang hijau dengan bertelanjang kaki seakan baru terjadi kemarin.
Melihatmu yang selalu ceroboh dan urakan yang sangat berbanding terbalik dengan wajahmu yang cantik jelita tidak dapat membuatku sekalipun melepaskan pandanganku terhadapmu.
Walau demikian, hari-hari bersamamu adalah hari yang terindah di hidupku.
Namun kini itu hanya akan menjadi kenangan yang takkan bisa kembali lagi.
“Ruvalia, mengapa kau pergi meninggalkanku begitu cepat?”
Dalam setengah tidurnya Rukaf kembali mengenang sang istri tercinta yang telah tiada sejak tiga tahun silam dalam suatu peristiwa kecelakaan mengenaskan.
“Tuan Rukaf, kita sudah sampai di depan rumah Anda.”
Kata-kata dari sang sekretaris kepercayaannya yang sekaligus selalu bertindak sebagai sopirnya ke mana-mana segera membangunkan Rukaf kembali ke dunia nyata.
“Ah, oh iya. Terima kasih telah dibangunkan, Adam.”
Rukaf pun turun dari mobil, berpisah sementara dari Adam yang masih harus memarkirkan mobil ke tempat parkiran yang letaknya terpisah dari rumah utama tersebut.
Namun apa yang didapati Rukaf begitu membuka pintu rumah adalah suasana rumah yang sedang kacau.
“Gita!”
Rukaf yang segera mampu menyadari apa yang terjadi seketika berlari pontang-panting begitu tahu bahwa kondisi kesehatan putrinya semakin memburuk.
“Apa yang kalian para pelayan lakukan di rumah sehingga kalian membiarkan kondisi Gita jadi memburuk begini?!”
Mendengar ledakan emosi dari sang majikan, Rikha, sang kepala pelayan pun maju mewakili para pelayan lainnya.
“Maafkan aku, Tuan. Kedua pelayan yang ditugaskan merawat Nona Gita hari ini tiba-tiba saja berhenti dari pekerjaan tanpa kabar. Ini kesalahanku karena tidak dapat memantau keseluruhan aktivitas dari para pelayan.”
Jumlah pelayan di kediaman Keluarga Mahesa mencapai lebih dari 60 orang dan memang tidak mudah untuk mengetahui aktivitas mereka secara akurat satu persatu.
Walau demikian, sang kepala pelayan yang tampak lembut di luar itu, sejatinya lebih tahu dari siapapun apa yang telah terjadi.
Dia tertawa secara internal dalam hati tiap kali melihat penderitaan sang nona kecil, Gita, yang malang.
Dia telah sengaja membiarkan anak kecil malang itu kesakitan hingga sampai detik terakhir tanpa perawatan sedikitpun.
“Hei, Kepala Pelayan! Tidakkah kau tahu kalau kesehatan Gita menjadi prioritas utama di kediaman ini?!”
“Maafkan aku, Tuan. Maafkan aku.”
Terlihat Rikha sang kepala pelayan sangat menyesali perbuatannya dari aktingnya meminta maaf yang terlihat bersungguh-sungguh itu sampai-sampai jika ada piala Oscar untuk mereka yang lihai menipu majikan, itu pasti telah lama jatuh ke tangan kepala pelayan licik itu.
“Lagipula mengapa sampai para pelayan itu pergi tanpa kabar?!”
Rukaf melampiaskan semua emosinya, namun dengan liciknya sang kepala pelayan, Rikha, berkomentar tampak naif.
“Itu… Itu mungkin karena mereka takut tertular penyakit Nona Gita, Tuan. Mereka pernah suatu waktu mengeluhkan hal itu padaku. Tapi aku sudah sampaikan kepada mereka bahwa penyakit Nona Gita itu tidak menular, tapi melihat dari tindakan mereka, tampaknya mereka tidak mempercayainya.”
“Sejak kapan ada penyakit sindrom laba-laba menular?! Kalian pikir anakku itu menderita kusta apa?!”
Tampak kesabaran Rukaf mulai akan habis, namun di saat itulah Adam akhirnya datang mencegah tuannya memperburuk citranya sendiri lebih jauh di hadapan para pelayannya.
“Tenang, Tuan Rukaf. Saat ini kesehatan Nona Gita lebih penting.”
Rukaf yang baru saja tampak akan meledak, segera kembali mereda amarahnya begitu nama Gita disebutkan.
Benar kata Adam, percuma Rukaf marah saat itu karena yang terpenting adalah kesehatan Gita.
“Oh, Tuhan. Mengapa cobaan ini rasanya terlalu berat? Adakah dokter di luar sana yang bisa menyembuhkan anakku yang malang?”
Rukaf merintih sebagai ganti amarahnya.
Akan tetapi, jawaban tak terduga rupanya muncul dari Adam.
“Persoalan itu, Tuan. Tampaknya aku menemukan satu dokter yang pas untuk merawat Nona Gita.”
Harapan seketika muncul kembali kepada Rukaf yang mulai dilanda keputusasaan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
LISA
Aq mampir Kak
2024-05-19
1
Dark
bagus banget 🤗🤗🤗
2023-07-30
2
T- Riq
Kata katanya..... Kerennnnn!!
bener komentar lainnya, ini harapan yg luar biasa
2023-07-22
1