Terkadang, Gita pernah beberapa kali mengeluh kepada Tuhan.
Mengapa hanya Gita seorang yang harus merasakan rasa sakit ini di kala teman-teman Gita yang lain bisa bermain-main dengan bebas di luar sana.
Gita juga ingin berlarian di taman, mencium aroma bunga mawar bersama Ayah, atau memetik buah ceri bersama Dimas.
Namun Gita tidak bisa melakukan itu semua.
Jangankan berlarian di luar, terkena sinar matahari sedikit saja, rasanya seluruh tubuh Gita sudah terbakar.
Kesedihan menumpuk di hati Gita.
Namun seiring waktu berjalan, kesedihan itu menjadi amarah.
Amarah menjadi penyangkalan.
Dan dari penyangkalan yang Gita lakukan selama setahun lebih terkena penyakit ini, akhirnya Gita tersadar.
Ini adalah takdir yang Gita harus terima.
Mungkin inilah waktu bagi Gita untuk menyusul Ibu di surga sana.
Akan tetapi,…
Jika ajal Gita memang telah dekat…
Hanya satu yang kupinta padamu, Tuhan.
Pertemukanlah Ayah dengan tante baik hati sebaik Ibu yang bisa menggantikan posisi Ibu dan Gita di hati Ayah.
Gita hanya tak ingin Ayah merasakan kesendirian jika Gita juga harus pergi meninggalkan Ayah.
“Uakh.”
Gita yang tak kuat lagi menahan rasa sakit perihal peradangan di hatinya, tersungkur jatuh ke tanah.
Darah segar berceceran melewati mulutnya.
Gita yang bahkan masih belum genap berusia 7 tahun itu, harus menderita suatu penyakit langka yang disebut sebagai penyakit sindrom laba-laba.
Seluruh tubuh sang gadis mungil dipenuhi oleh bercak membentuk pola menyerupai jaring laba-laba.
Suatu penyakit langka mematikan yang sampai saat ini belum ada obatnya.
Dengan tertatih-tatih, Gita merangkak kembali ke atas tempat tidurnya, tempat di mana Gita menghabiskan sebagian besar harinya selama setahun lebih ini sejak menderita sindrom laba-laba tersebut.
Pada akhirnya Gita menggapainya.
Sebuah lonceng yang berfungsi di kala Gita ingin memanggil para pelayan untuk merawatnya berhasil digenggam oleh tangan mungil Gita.
-Tring, tring, tring.
Namun demikian,
“Eh, itu bukannya suara lonceng Nona Penyakitan, bukan? Memangnya siapa yang bertugas hari ini untuk merawatnya?”
“Jangan tanya aku. Itu bukan aku.”
Dari kedua pelayan yang secara kebetulan berada di luar yang mendengarkan jerih hati pertolongan Gita melalui loncengnya, tidak ada satu pun yang segera merespon.
“Yuk kita pergi saja, Leli. Ini kan bukan urusan kita.”
“Tapi bisa bahaya kan kalau Tuan Rukaf pulang tahu-tahu anaknya kenapa-kenapa?”
“Kamu benar juga, Leli. Kalau begitu kita masuk bersama.”
Di saat kedua pelayan akhirnya menunjukkan sedikit iba mereka kepada sang anak kecil malang, atau itu lebih tepat dikatakan sebagai bentuk takut mereka kepada sang majikan yang merupakan ayah dari anak kecil malang itu, sayangnya sebuah suara lain tiba-tiba terdengar.
“Leli, Lidia, mau ke mana kalian? Apa pekerjaan laundry kalian sudah selesai?”
“Belum, Nyonya.”
“Lantas apa yang kalian perbuat di situ! Cepat pergi sana selesaikan!”
Kedua pelayan pun seketika lupa terhadap sang anak kecil malang perihal teriakan dari sang kepala pelayan.
Begitulah Gita ditinggalkan sendirian di dalam kamarnya, merintih kesakitan seorang diri.
Rikha, sang kepala pelayan, mengintip sejenak dari balik pintu sembari tertawa menikmati penderitaan sang anak malang.
***
Harum bunga mawar seakan masih terngiang di benakku.
Engkau yang memanggilku Sayang lantas berlarian di atas rumput yang hijau dengan bertelanjang kaki seakan baru terjadi kemarin.
Melihatmu yang selalu ceroboh dan urakan yang sangat berbanding terbalik dengan wajahmu yang cantik jelita tidak dapat membuatku sekalipun melepaskan pandanganku terhadapmu.
Walau demikian, hari-hari bersamamu adalah hari yang terindah di hidupku.
Namun kini itu hanya akan menjadi kenangan yang takkan bisa kembali lagi.
“Ruvalia, mengapa kau pergi meninggalkanku begitu cepat?”
Dalam setengah tidurnya Rukaf kembali mengenang sang istri tercinta yang telah tiada sejak tiga tahun silam dalam suatu peristiwa kecelakaan mengenaskan.
“Tuan Rukaf, kita sudah sampai di depan rumah Anda.”
Kata-kata dari sang sekretaris kepercayaannya yang sekaligus selalu bertindak sebagai sopirnya ke mana-mana segera membangunkan Rukaf kembali ke dunia nyata.
“Ah, oh iya. Terima kasih telah dibangunkan, Adam.”
Rukaf pun turun dari mobil, berpisah sementara dari Adam yang masih harus memarkirkan mobil ke tempat parkiran yang letaknya terpisah dari rumah utama tersebut.
Namun apa yang didapati Rukaf begitu membuka pintu rumah adalah suasana rumah yang sedang kacau.
“Gita!”
Rukaf yang segera mampu menyadari apa yang terjadi seketika berlari pontang-panting begitu tahu bahwa kondisi kesehatan putrinya semakin memburuk.
“Apa yang kalian para pelayan lakukan di rumah sehingga kalian membiarkan kondisi Gita jadi memburuk begini?!”
Mendengar ledakan emosi dari sang majikan, Rikha, sang kepala pelayan pun maju mewakili para pelayan lainnya.
“Maafkan aku, Tuan. Kedua pelayan yang ditugaskan merawat Nona Gita hari ini tiba-tiba saja berhenti dari pekerjaan tanpa kabar. Ini kesalahanku karena tidak dapat memantau keseluruhan aktivitas dari para pelayan.”
Jumlah pelayan di kediaman Keluarga Mahesa mencapai lebih dari 60 orang dan memang tidak mudah untuk mengetahui aktivitas mereka secara akurat satu persatu.
Walau demikian, sang kepala pelayan yang tampak lembut di luar itu, sejatinya lebih tahu dari siapapun apa yang telah terjadi.
Dia tertawa secara internal dalam hati tiap kali melihat penderitaan sang nona kecil, Gita, yang malang.
Dia telah sengaja membiarkan anak kecil malang itu kesakitan hingga sampai detik terakhir tanpa perawatan sedikitpun.
“Hei, Kepala Pelayan! Tidakkah kau tahu kalau kesehatan Gita menjadi prioritas utama di kediaman ini?!”
“Maafkan aku, Tuan. Maafkan aku.”
Terlihat Rikha sang kepala pelayan sangat menyesali perbuatannya dari aktingnya meminta maaf yang terlihat bersungguh-sungguh itu sampai-sampai jika ada piala Oscar untuk mereka yang lihai menipu majikan, itu pasti telah lama jatuh ke tangan kepala pelayan licik itu.
“Lagipula mengapa sampai para pelayan itu pergi tanpa kabar?!”
Rukaf melampiaskan semua emosinya, namun dengan liciknya sang kepala pelayan, Rikha, berkomentar tampak naif.
“Itu… Itu mungkin karena mereka takut tertular penyakit Nona Gita, Tuan. Mereka pernah suatu waktu mengeluhkan hal itu padaku. Tapi aku sudah sampaikan kepada mereka bahwa penyakit Nona Gita itu tidak menular, tapi melihat dari tindakan mereka, tampaknya mereka tidak mempercayainya.”
“Sejak kapan ada penyakit sindrom laba-laba menular?! Kalian pikir anakku itu menderita kusta apa?!”
Tampak kesabaran Rukaf mulai akan habis, namun di saat itulah Adam akhirnya datang mencegah tuannya memperburuk citranya sendiri lebih jauh di hadapan para pelayannya.
“Tenang, Tuan Rukaf. Saat ini kesehatan Nona Gita lebih penting.”
Rukaf yang baru saja tampak akan meledak, segera kembali mereda amarahnya begitu nama Gita disebutkan.
Benar kata Adam, percuma Rukaf marah saat itu karena yang terpenting adalah kesehatan Gita.
“Oh, Tuhan. Mengapa cobaan ini rasanya terlalu berat? Adakah dokter di luar sana yang bisa menyembuhkan anakku yang malang?”
Rukaf merintih sebagai ganti amarahnya.
Akan tetapi, jawaban tak terduga rupanya muncul dari Adam.
“Persoalan itu, Tuan. Tampaknya aku menemukan satu dokter yang pas untuk merawat Nona Gita.”
Harapan seketika muncul kembali kepada Rukaf yang mulai dilanda keputusasaan itu.
“Benar-benar hidup yang sia-sia.”
Terlihat seorang wanita berdiri di puncak suatu gedung tak beratap sembari membakar lembar-lembar jurnal yang bertuliskan nama peneliti Cynthia Lindberg yang bertebaran ke udara dengan mudahnya oleh angin yang kencang.
Lima jurnal INTJEM dan dua jurnal NEJM.
Siapapun bisa segera menebak bahwa dokter yang bernama Cynthia Lindberg tersebut pastilah seorang dokter yang jenius.
Hanya mereka yang sangat berbakat di antara yang berbakatlah yang mampu menerbitkan satu tulisan di kedua jurnal bereputasi tersebut, namun itu bukan lagi satu tulisan, melainkan ada 7 tulisan.
Walau demikian, wanita yang meratapi malangnya nasibnya di puncak menara tersebutlah dokter yang bernama Cynthia Lindberg.
Dia saat ini benar-benar jauh dari kata kesuksesan.
Hidupnya seketika hancur hanya karena satu tuduhan malpraktik yang bahkan bukan karena kesalahannya sendiri.
Angin berembus dengan kencang dari puncak gadung itu sehingga bahkan membuat air mata Cynthia Linberg terpantul ke wajahnya sendiri.
Di saat semua dunia terasa gelap bagi sang dokter yang ditimpa keputusasaan itu, dering teleponnya berbunyi.
Cynthia Lindberg berkali-kali mencoba mengabaikan panggilan telepon itu yang kemungkinan kalau bukan dari salah satu pasiennya di dunia bawah yang sebagian besar terdiri dari para kriminal dan penjahat itu pastilah telepon dari para penagih utang.
Berkali-kali dan berkali-kali, dering itu tak kunjung berhenti.
Cythia Lindberg pun berniat untuk menonaktifkan HP-nya.
Akan tetapi di saat itulah dia melihat ada kejanggalan pada nomor telepon dari sang penelepon.
Itu berkodekan +62, bukannya +41 yang merupakan kode telepon negara asalnya.
‘Apakah ini telepon spam atau semacamnya?” Setidaknya itulah yang pertama kali terpikirkan oleh Cynthia Lindberg.
Termakan oleh rasa penasaran, dia pun mengangkatnya.
“Halo, apa benar ini dengan Cynthia Lindberg, dokter jenius yang pernah meneliti soal penyakit sindrom laba-laba?”
Sebuah suara pria terdengar dari balik panggilan telepon itu yang memanggilnya sebagai dokter jenius.
Suatu julukan yang sudah lama tidak pernah lagi Cynthia dengarkan.
Tanpa menyadarinya, sedikit sudut bibir wanita cantik itu terangkat.
Entah mengapa hanya dengan satu suara dari pria itu, Cynthia kembali memperoleh semangat hidupnya.
***
Seminggu kemudian.
“Perkenalkan, dia Cynthia Lindberg. Mulai saat ini, dialah yang akan bertindak sebagai pengasuh Gita kita yang imut.”
Rukaf berbicara dengan gaya bicara anak-anak demi Gita bisa lebih mudah tenang bertemu dengan orang yang baru pertama kali dilihatnya di dunia luar.
Setelah berbicara perihal kondisi Gita, Cynthia Lindberg pun segera datang ke Indonesia demi melihat pasien yang dimaksudkan.
Dilihatnyalah di hadapannya sesosok anak gadis malang yang terbaring tidak berdaya di atas tempat tidurnya dalam kondisi sekujur kulit yang terlihat mengenaskan.
“Dokter?”
Sejenak Gita tertegun oleh rambut pirang Cynthia yang berkilauan serta bola matanya yang biru nak permata.
Namun sejenak kemudian, Gita pun segera tersadar oleh hipnotis kecantikan sang dokter lantas membenamkan kepalanya ke boneka kelinci besar favoritnya.
Itu bukan karena Gita membenci Cynthia.
Itu karena dia masih terngiang-ngiang dengan perkataan sang pelayan terakhir yang merawatnya.
‘Seorang anak sial penular penyakit,’ begitulah kata sang pelayan terakhir yang merawatnya yang masih membekaskan luka di hati Gita.
Gita pun juga tak ingin siapapun sampai tertular dengan penyakitnya.
Itulah sebabnya dia awalnya ramah dan supel, tiba-tiba saja menjadi anak penyendiri yang menghindari berinteraksi dengan orang-orang, termasuk Cynthia Lindberg yang saat ini ada di hadapannya tersebut.
Menanggapi reaksi dingin Gita itu, Cynthia Lindberg hanya tersenyum dan berusaha meyakinkan Rukaf bahwa semuanya adalah reaksi normal bagi anak yang menderita penyakit tersebut.
Tentu saja siapa pula anak yang bisa percaya diri bergaul dengan orang lain di kala tampangnya seperti monster dengan guratan jaring laba-laba di wajahnya?
Turut menyadari hal itu, Rukaf hanya mengangguk setuju pada perkataan Cynthia Lindberg tersebut.
Sang dokter lantas melirik ke sekeliling kamar Gita.
Dia sejenak kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya tampak tidak puas dengan keadaan kamar gadis cilik itu.
“Pertama-tama, kita harus membuka jendelanya agar udara luar bisa masuk.”
Cynthia akan segera membuka jendela, namun Rukaf dengan cekatan mencegatnya.
“Tunggu, Dokter. Bukankah sakit anak saya akan bertambah parah jikalau terkena udara luar?”
Menanggapi pertanyaan Rukaf itu, Cynthia menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.
“Bukan udara luar yang menyebabkan peradangan pada kulit penderita sindrom laba-laba melainkan air keringat yang mengandung mineral berunsur besi. Justru udara luar akan mendukung penyembuhan Gita. Ah…”
Sang dokter kemudian terlihat mengacak-acak tas besar yang dia bawa bersamanya lantas mengeluarkan sebuah objek menyerupai tisu basah.
“Ini adalah produk tisu basah yang aku buat khusus bagi penderita penyakit sindrom laba-laba. Untuk mencegah peradangan di kulit pasien akibat keringat, setidaknya ini perlu dilapkan ke badan pasien minimal 3 jam sekali dan juga pastikan agar pasien tidak mengalami keringat berlebih. Ah, apakah ada laboratorium… ah, tidak… maksudku ruangan yang bisa kugunakan untuk meracik ramuan?”
Sang dokter dengan cepat beralih ke mode kerjanya lantas mengeluarkan segala apa yang ada di pikirannya sekaligus.
“Itu ada saja, tapi memangnya apa yang Anda ingin buat?”
“Air biasa mengandung banyak mineral besi. Itulah sebabnya penderita akan mengalami peradangan kulit sehabis mandi. Makanya aku berencana membuat air khusus bebas mineral besi sebagai air mandi Gita.”
Tidak butuh waktu lama bagi Rukaf untuk kagum melihat wanita yang begitu bersinar dengan pekerjaan yang digemarinya itu.
Rupanya ada yang menyadari tatapan sang ayah.
Itu tidak lain adalah Gita sendiri.
Melihat semuanya bisa teratasi dengan baik oleh sang dokter cantik, Rukaf pun mengangguk puas lantas beranjak keluar kamar Gita agar Cynthia bisa dengan lebih mudah melaksanakan treatmentnya.
Sebelum keluar, Rukaf pun memperkenalkan Cynthia Lindberg kepada seseorang.
“Oh iya, Nona Cynthia. Dia adalah Rikha, kepala pelayan kami. Dia juga mahir berbahasa Inggris sehingga jikalau ada apa-apa terkait treatment Gita, konsultasikan saja padanya sebagai penerjemah karena mungkin tidak semua pelayan di kediaman ini bisa berbahasa Inggris.”
Itu adalah Rikha, sang kepala pelayan.
“Anda bisa mengonsultasikan apapun padaku, Nona Dokter.”
Rikha tampak baik di luar, namun di hatinya dia mulai merencanakan berbagai rencana untuk segera mengusir sang dokter dari hidup Gita agar hidup Gita semakin berada pada keputusasaan.
Sayangnya bahkan belum genap 24 jam sejak kedatangan Cynthia Lindberg di kediaman itu, segala treatment yang direncanakannya dengan matang semuanya jadi berantakan perkara rekayasa dari Rikha, sang kepala pelayan.
Tepat di pagi harinya ketika Cynthia akan mengunjungi Gita kembali untuk check-up rutin, apa yang disaksikannya sungguh kejadian yang mengejutkan.
Gita yang tubuhnya tak bisa terkena air biasa perihal penyakitnya, malah dimandikan dengan kain lap yang penuh dengan air hangat yang justru semakin memicu keringat keluar yang mampu memperparah penyakitnya tersebut.
“Hei, kamu! Taruh air hangat itu menjauh dari Gita!”
Cynthia segera berlari menumpahkan baskom yang penuh dengan air hangat yang akan dibasuhkan oleh sang pelayan ke tubuh Gita sebelum semuanya menjadi terlambat.
Namun sayangnya, itu benar-benar telah terlambat.
Radang kulit Gita perihal sindrom laba-laba itu terlanjur memburuk.
“Sakit.”
Dalam suara kecilnya itu, Gita merintih penuh kesakitan.
“Duh, mengapa bisa jadi begini? Hei, kamu, cepat ambil tas besarku!”
Cythia tidak lagi peduli akan kesalahan pelayan tersebut.
Yang terpenting baginya sekarang adalah kesembuhan Gita.
Akan tetapi, alih-alih bergerak gesit, sang pelayan yang usianya masih terlihat sangat belia itu malah melongo seakan tidak tahu apa yang harus dikerjakannya.
Di saat itulah Cynthia tersadar, ‘Ah, pelayan ini tidak mampu berbahasa Inggris rupanya.”
Cynthia menggunakan segala kemampuan terbaiknya dalam berbahasa Indonesia yang telah berupaya dipelajarinya dengan setengah mati selama seminggu itu.
Di beberapa tempat, Cynthia masih perlu menggunakan bahasa tubuhnya pada bagian kosa-kata yang belum bisa diungkapkannya dengan baik.
“Ah, smartphone.”
Di kala itulah Cynthia baru tersadar, mengapa dirinya harus sesusah itu perkara terkendala masalah bahasa.
Bukankah ini sekarang adalah zaman modern di mana segalanya mudah dilakukan melalui gadget?
Itu tidak terkecuali dengan interpretasi bahasa, ada aplikasi google translate di playstore yang mempermudah segalanya.
Dengan segala effort, akhirnya apa yang ingin disampaikan Cynthia itu kepada sang pelayan akhirnya tersampaikan juga.
“Ibu, apakah ini saatnya aku bertemu Ibu kembali di surga?”
Sang Gita kecil berujar dengan malang.
Walau demikian sama sekali tak tampak ekspresi takut di wajah anak yang bahkan belum menginjak usia 7 tahun itu.
Tidak, daripada tabah, anak itu lebih mennjukkan ekpsresi kepasrahan.
Menyadari hal itu, Cynthia hanya bisa menggigit bibirnya sembari meraung dalam hati, mengapa sampai anak sekecil itu harus mengalami penderitaan yang semenyakitkan itu sampai-sampai sang anak malang sudah pasrah akan kematian.
Namun Cynthia tidak menyerah.
Dia melakukan effort sebisanya memberikan obat pereda nyeri ke tubuh sang anak malang sembari membasuh sekujur tubuh Gita yang terlanjur membengkak dengan obat khusus untuk menyingkirkan mineral demi membuat kulitnya segera lebih cepat kembali ke keadaan semula.
Berkat support sang pelayan, kondisi Gita berangsur-angsur membaik begitu matahari akan terbenam.
Namun semua telah terekam dengan baik di ingatan sang kepala pelayan jahat, Rikha, yang siap mengadukan keteledoran Cynthia itu kepada sang majikan yang sebenarnya semuanya terjadi akibat ulahnya sendiri yang telah dengan sengaja merekayasa segala informasi yang disampaikan oleh Cynthia itu kepada para pelayan lainnya.
“Gita sudah tenang, Nak.”
Perlahan, Gita dibangunkan oleh suara lembut Cynthia.
Itu bukanlah bahasa asing yang biasa didengarkan oleh Gita keluar dari mulut Cynthia, melainkan bahasa ibu yang dikenalnya dengan baik.
Cynthia pun berusaha melakukan effort terbaiknya dalam belajar bahasa Indonesia perihal tidak ada hal yang lebih baik yang mampu membuat pasien untuk sembuh selain keinginan pasien sendiri untuk sembuh.
Untuk membangun keinginan pasien untuk sembuh dibutuhkan dukungan moral, dan satu-satunya cara terefektif untuk memberikan dukungan moral termaksimal itu adalah dengan saling memahami bahasa tentunya.
-Plak.
Namun Gita segera menampik tangan Cynthia yang menyentuhnya lantas berupaya sekuat tenaga bergerak mundur ke pojokan tempat tidur menjauhkan jaraknya sejauh mungkin dari Cynthia.
Menanggapi itu, Cynthia hanya tersenyum lembut kepada sang anak malang.
“Apa jangan-jangan Gita takut kalau Tante Cynthia akan tertular penyakit Gita?”
Gita awalnya waspada, namun mungkin itu dirangsang oleh ketulusan Cynthia dalam merawat Gita, Gita pun bersedia menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.
“Bibi Surti bilang kalau dia mau berhenti merawat Gita karena takut tertular penyakit Gita.”
Bibir Gita manyun tiga senti dalam mata yang berkaca-kaca.
Walaupun dengan wajahnya yang dipenuhi garis-garis hitam menyerupai jaring laba-laba itu, Cynthia tidak dapat berpikir lain selain melihat Gita sebagai sosok anak kecil yang imut.
Tanpa Gita sangka-sangka, Cynthia segera naik ke atas tempat tidur lantas dengan cepat memeluk Gita bahkan di kala Gita belum sempat merespon untuk menghindar.
“Lantas bagaimana sekarang? Tante Cynthia terlanjur bersentuhan dengan Dedek Gita, jadi mau bersentuhan lagi atau tidak, itu bukan lagi masalah, bukan?”
Panggilan Cynthia begitu imut padanya hingga kulit putih yang hampir tertutupi pola hitam menyeramkan itu tampak memerah.
Namun Gita dengan cepat-cepat menggelengkan kepalanya lantas menjauhkan dirinya kembali dari pelukan Cynthia.
“Jika sebentar bersentuhan mungkin tidak akan tertular. Tapi Tante Dokter Cantik tidak boleh lagi memelukku setelah ini.”
Cynthia tersenyum karena Gita yang imut sampai menambahkan kata cantik secara spontan pada nama panggilannya.
“Tante dulu juga punya dedek kecil seusia Gita. Adik Tante juga sama seperti Gita menderita sindrom laba-laba. Tapi kala itu Tante masih berusia 9 tahun sehingga hanya bisa melihat adik Tante dibawa pergi karena penyakit itu.”
Gita yang cerdas segera bisa merasakan empati terhadap kilas balik kisah masa lalu Cynthia yang penuh dengan kemalangan tersebut.
“Apakah Tante Dokter Cantik masih bisa bahagia setelah ditinggal pergi oleh adik Tante Dokter Cantik itu?”
Cynthia sejenak tertegun akan respon balik Gita.
Bagaimana bisa dia bahagia ketika keluarga paling berharga satu-satunya itu sampai turut terenggut dari sisinya, meninggalkannya sendirian di dunia.
Cynthia setelahnya menjadi dokter demi penebusan rasa ketidakberdayaannya di masa lalu yang hanya bisa menyaksikan sang adik menderita bahkan sampai nafas terakhirnya.
Itu pun sekarang tampak juga sudah tidak berjalan seperti yang diharapkannya.
Cynthia kehilangan pekerjaannya di negeri asalnya.
Lalu dia yang menemui Gita di kala keputusasaannya memuncak, tidak dapat tidak melihat sosok adiknya yang berharga itu pada Gita yang kini menderita penyakit yang sama dengan yang telah merenggut nyawa adiknya.
“Sekarang kan ada Gita di sisi Tante. Jadi Tante bisa merasakan kembali kebahagiaan.”
Wajah tulus Cynthia di saat mengatakan hal itu kepada Gita membuat Gita merasakan perasaan yang aneh di dalam dadanya.
Perasaan yang sama yang dirasakannya terhadap ayahnya, yakni suatu perasaan yang melarangnya untuk pasrah akan kematian.
“Apa Gita bisa sembuh, Tante Dokter Cantik?”
“Itu pasti, Dedek Gita. Tante Dokter Cantik ini akan berupaya yang seterbaik mungkin demi kesembuhan Dedek Gita.”
Gita pun tersenyum oleh perkataan sang dokter cantik tersebut.
Seketika muncul kembali keinginan di dalam diri anak kecil malang itu untuk hidup lebih lama.
Sayangnya suasana senja yang cerah itu seketika terusik dengan kedatangan sang kepala pelayan jahat, Rikha, yang rupanya telah membawa Rukaf ke sisinya.
“Apa benar Gita tadi sempat mengalami peradangan parah?”
Rukaf bertanya sembari menelisik keadaan di balik ekspresi Cynthia.
Cynthia bisa dengan cepat menyadari apa yang telah terjadi begitu melihat tawa mengejek dari sang kepala pelayan jahat padanya.
Para pelayan kebanyakan menjauhinya dan tampak tidak peduli sama sekali dengan anak majikan mereka sendiri.
Ketika ada pelayan yang peduli, giliran pelayan itu malah melakukan pekerjaan yang berkebalikan dengan instruksi yang Cynthia berikan.
Jika itu bukan kesalahan dirinya maupun sang pelayan yang tulus merawat Gita tersebut, hanya ada satu penjelasannya.
Semuanya telah direkayasa oleh sang kepala pelayan sendiri sebagai interpreter instruksi Gita kepada para pelayan lainnya.
“Semua ini ulahmu kan, Rikha?”
Rikha tersenyum kecut seraya membuang mukanya dari Cynthia dengan sombong merasa dirinya telah menang.
Melihat ekspresi kepala pelayan yang kurang ajar itu, Cynthia akhirnya kehilangan ketenangannya lantas menampar pipi sang kepala pelayan.
-Plak.
“Apa yang kau lakukan, dasar orang barbar?! Lihat itu Tuan! Itu sejatinya sosok dokter yang telah Tuan bawa jauh-jauh dari luar negeri itu! Aku sudah melakukan penyelidikan padanya dan apa yang aku temukan, Tuan? Orang itu diusir dari negara asalnya sendiri karena telah melakukan tindakan malpraktik. Dan kini lihat hasilnya. Giliran dia kali ini melakukan malpraktik kepada Nona Gita. Anda harus segera memecatnya, Tuan, sebelum terlambat.”
Cynthia benar-benar penuh emosi di kala sang kepala pelayan jahat malah balik memfitnahnya.
Namun di situlah, sang gadis imut kita, Gita, tiba-tiba memegang tangan sang dokter cantiknya.
“Ayah, aku senang dengan Tante Dokter Cantik. Bisakah mulai sekarang Tante Dokter Cantik ini yang menjadi pengasuhku?”
Permintaan dari sang buah hati datang secara tiba-tiba sehingga membuat Rukaf telat merespon.
“Nona! Apa yang Anda katakan?! Dia itu kriminal, Nona, bukan lagi seorang dokter!”
Di saat suasananya memanas, di kala itulah muncul orang lain yang datang sembari mengetuk pintu.
“Tuan, bisa saya masuk.”
Seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki yang tampak berusia 11 atau 12 tahun memasuki ruangan setelah dipersilakan masuk.
“Ayah, maaf menyembunyikan ini dari Ayah. Sebenarnya Bibi Rikha itu memang seorang bibi yang jahat. Dimas, tolong tunjukkan rekamannya.”
Itu tiada lain adalah suara dari sang gadis imut, Gita.
Mengikuti instruksi Gita, sang anak laki-laki itu pun mulai memutarkan sebuah video dari handicam mini yang Rukaf kenal baik darimana asalnya itu.
Itu adalah hadiah pemberiannya sendiri kepada Dimas, sang anak tukang kebun, agar bisa menunjukkan keindahan bunga mawar merah yang sangat disukai Gita itu melalui rekaman video.
Tapi alih-alih rekaman bunga mawar, apa yang dipertontonkan oleh video itu justru adalah segala kelakuan bejat Rikha di belakang, mulai dari menghasut para pelayan, menyebarkan rumor mengenai penyakit menular Gita, sampai pada mengacaukan jadwal perawatan Gita, semuanya tidak lain dilakukan oleh sang kepala pelayan sendiri.
“Bibi Rikha selalu baik di depan, tapi Gita tahu kalau Bibi Rikha membuli Gita di belakang. Bibi Rikha menyuruh para bibi lain menghindari Gita, juga menjelek-jelekkan Gita. Gita belum mengatakannya kepada Ayah karena Gita takut Ayah sedih jadi Gita mencari tahu sendiri selama ini bersama Dimas tentang mengapa Bibi Rikha melakukannya. Gita curiga bahwa ini bukan tindakan dari Bibi Rikha sendiri.”
Seketika muka Rikha pucat di hadapan sang majikan.
Dia tidak bisa mengelak lagi akan semua kejahatannya itu di kala semua bukti telah jelas.
“Rikha, kau laknat! Aku mempercayaimu karena kita bekas teman seangkatan di akademi terlebih Ruvalia sangat mempercayaimu! Tapi apa yang telah kau lakukan pada putriku satu-satunya, hah?! Adam cepat seret wanita laknat itu ke ruang interogasi. Caritahu semua tujuan perbuatannya!”
Siapa yang menduga bahwa kemarahan itu justru balik tertuju kepada Rikha.
Rikha yang awalnya merasa dirinya berada di atas angin tidak menyadari bahwa justru itulah akhir dari masa kejayaannya.
Namun Gita memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan nasib sang bibi jahat.
Gita akhirnya menyadari apa arti dari tatapan Rukaf itu kepada Cynthia.
Gita hanya tersenyum kecil melihatnya, namun di kepala sang jenius cilik kita mulai terpikirkan beberapa trik licik untuk menyatukan pasangan yang terlihat serasi itu.
“Terima kasih, Tuhan, karena kau telah menjawab doaku,” lirih sang gadis cilik itu seraya tersenyum haru penuh arti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!