Wardah mencuci potongan-potongan kecil mangga hasil sortir Fadil dan Laila. Potongan kecil yang masih bisa dikonsumsi dari buah mangga yang busuk. Ada yang sudah matang dan ada pula yang masih muda.
Setelah dicuci bersih, Wardah kembali memotongnya jadi lebih kecil. Kemudian diletakkan di dalam baskom plastik bekas tempat nasi hajatan. Diambilnya sejumput garam dan irisan cabe rawit. Diaduknya dengan cepat semua yang ada di dalam baskom. Hasilnya adalah rasa yang persis dengan permen nano-nano, manis, asam, asin dan pedas.
Wardah kembali ke ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan, ruang keluarga dan ruang belajar. Di sana menunggu Fadil dan Laila uang dengan antusias duduk di dipan dengan sepiring gembili kukus di hadapan mereka. Wardah menyisihkan sebagian sambal mangga itu diatas piring plastik untuk kedua orang tuanya.
" Alhamdulillah...", ucapnya lirih melihat kedua adiknya dengan lahap memakan gembili kukus dengan lauk sambal mangga. Paling tidak, sambal mangganya memberi sedikit warna
dari rasa gembili kukus yang hambar, tidak selezat singkong, ubi atau talas.
Tapi untuk hari ini dan mungkin seminggu ke depan, jenis umbi-umbian inilah yang harus mereka makan. Karena hanya gembili yg siap di panen daripada singkong, ubi dan talas yg tumbuh di halaman belakang.
Setelah kedua adiknya selesai makan barulah Wardah memakan gembili kukus dan sambal mangga yang tersisa. Mungkin besok siang pulang dari pasar Ia akan mengajak Fadil untuk mencari ikan di sungai sebagai lauk. Ia tahu, ibu dan ayahnya tak lagi punya uang untuk sekedar membeli tempe atau tahu untuk lauk.
" Mbak, bapakmu kok belu pulang ya? Sudah lewat Isya' ini.", suara ibunya yang resah mengalihkan lamunan Wardah. Gadis itu mengendikkan bahunya sebagai tanda tidak tahu mengapa Tholibin belum juga pulang.
" Mbak, maaf ya, bapak tidak bisa menyekolahkan kamu sampai SMA. Tidak ada biayanya, belum lagi menyekolahkan adik-adikmu. Tidak apa-apa ya, mbak? ", ucap Sajidah sambil mengelus bahu Wardah. Gadis itu hanya mengangguk pelan kemudian beranjak membereskan alat makan ke dapur.
Wardah melangkah dengan gontai ke arah dapur, perlahan meletakan piring kosong di dekat tumang ( kompor dari batu bata dan tanah liat dengan bahan bakar kayu) untuk dicuci esok hari. Sumur yg terletak di luar terlalu gelap, Ia harus membawa cublik jika mencuci piring sekarang.
Perlahan Wardah menyusut setetes bening di ujung matanya. Bohong, kalau Ia tidak ingin menangis saat ini. Bohong, kalau Ia tidak merasa kecewa dengan keputusan orangtuanya. Bohong, kalau Ia tidak merasa marah dengan kemiskinan yang merenggut cita-citanya.
Tapi dia bisa apa? Bahkan beasiswa yang diraihnya dengan belajar mati-matian terbuang percuma. Beasiswa itu hanya menanggung biaya sekolah, tapi tidak dengan biaya-biaya pendukung yang lain, seperti biaya transportasi, seragam dan peralatan sekolah.
Selama bersekolah di tingkat SD dan SMP, tidak pernah dia meraih peringkat 2, selalu peringkat 1. Bahkan Putri anak Pak Kepala desa dan Rizal anak juragan Agus orang paling kaya di desanya harus puas di peringkat 2 dan 3.
Ironisnya, kini malah dia yang justru tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Sedangkan Putri dan Rizal sudah pasti meneruskan SMA-nya di kecamatan. Kabarnya Rizal akan indekos di dekat kantor kecamatan yang letaknya tepat di samping kanan gedung sekolah SMA, sedangkan Putri akan tinggal di rumah Budenya.
Rasa sedih, kesal, marah jadi satu di hati Wardah. Tapi gadis yang dituntut cepat dewasa karena keadaan itu sadar, bahwa kehidupan akan tetap berjalan walaupun tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Bapaknya, Tholibin hanya seorang perawat ternak yang tidak hewan ternak sendiri. Saat ini bapaknya bekerja di sawah juragan Agus, sekaligus mencari rumput untuk sapi dan kambing ternaknya. Gajinya setiap 14 hari sekali, dan itu hanya cukup untuk makan seadanya dan biaya sekolah.
Wardah memahami bahwa mustahil mengharapkan biaya melanjutkan pendidikan pada bapaknya. Maka dia memutuskan untuk mencari pekerjaan demi membantu meringankan beban orangtua dan untuk dirinya sendiri.
Dia berharap dari hasil bekerja itu dapat menyisihkan sedikit rizki untuk melanjutkan pendidikan mengambil paket C. Dan malam ini dia bertekad berbicara dengan kedua orangtuanya akan rencananya itu. Wardah berharap orangtuanya akan mendukung keinginannya itu.
Sebelumnya, Wardah sudah berbicara dengan Bude Warni, pemilik warung nasi di pasar desa. Setiap hari warungnya selalu ramai pembeli karena konon rasa makanannya yang lezat dan tempatnya yang bersih.
Rencananya Wardah akan bertugas sebagai pencuci piring dan bersih-bersih. Untuk yang melayani pelanggan sudah ada mbak Saroh yang sudah 5 tahun bekerja di sana. Mbak Saroh ini juga satu alumni di SMP nya.
Warung itu buka mulai jam 6 pagi sampai jam 3 sore. Pegawai warung harus datang sebelum jam 6. Jadi Wardah harus berangkat dari rumah jam 5 pagi, berjalan kaki selama 40 menit untuk sampai ke warung. Paling tidak ada waktu 10 menit sampai dengan jam bukanya warung.
Wardah juga telah memperhitungkan waktu kepulangannya. Menurut mbak Saroh, setelah tutup, semua pegawai dan Bude Warni akan membersihkan warung terlebih dahulu sebelum pulang. Biasanya jam 15.30 mereka baru bisa pulang ke rumah.
Gaji yang ditawarkan hanya setengah gaji bapaknya. Pembayarannya sama, setiap 14 hari. Warung tutup setiap hari Jum'at, karena kata Bude Warni hari itu sepi pembeli. Warung justru paling ramai pembeli pada hari Minggu.
Yang membuat Wardah senang adalah, jika masih banyak lauk atau nasi yang masih tersisa hari itu, maka Bude Warni tidak segan untuk membawakan pulang bagi para pegawainya. Ia berharap adik-adiknya akan mendapatkan perbaikan gizi nantinya.
Wardah membayangkan, betapa senangnya Fadil dan Laila bisa makan makanan warung bude warni yang terkenal enak di desa. Belum lagi kata mbak Saroh, kalau dalam satu bulan warung selalu ramai, mereka akan menerima tambahan bonus dari bude Warni.
Bude Warni juga menyediakan jasa menjadi juru masak bagi orang hajatan di desa. Wardah akan memohon agar nanti di ikut sertakan jika bude Warni menerima pekerjaan itu. Terserah Wardah mau bertugas menjadi apa, yang penting dapat uang.
" Assalamu'alaikum...", tiba-tiba terdengar suara berat bapaknya masuk ke dalam rumah. Wardah segera bangkit mengambil sisa gembili kukus yang masih ada di kukusan. Tak lupa sambal mangganya di tenteng tangan kirinya.
Wardah melangkahkan kaki sambil menata kata-kata dalam otaknya. Sekiranya bapaknya akan setuju dengan rencananya untuk bekerja di warung Bude Warni. Karena Wardah tahu bapaknya itu walaupun berwajah sangar, tapi berhati baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Zerlynda Syakira
gambaran kehidupan nyata di desa.. yg masih jauh dari kata makan dan berkecukupan.. cuma bisa sedih
2024-01-31
3