5.

"Daripada ngurusin itu, mending gue ngeliatin Kak Julio." Kalista kembali mesem-mesem pada Julio. "Hehe, Kak Julio perhatian banget mau dengerin aku cerita."

Sergio memukul kepala Kalista sebelum dia beranjak kesal.

Walau kesannya dia marah pada Kalista, Julio tahu anak itu pergi untuk menghubungi Astrid tunangannya.

Nampaknya untuk sekali lagi dia akan minta pertunangan dibatalkan.

*

Kalista pulang ke apartemen ketika matahari sudah terbenam. Niatnya sih Kalista mau pulang lebih awal agar bisa membuatkan Papa makanan, sebagai bentuk hiburan karena tidak jadi melamar Bu Direktur.

Tapi ternyata Rahadyan malah sudah di dalam, sibuk berkutat di dapur. Rahadyan adalah bujang tua dengan satu anak tapi belum pernah menikah jadi ya, dia setidaknya pandai memasak sendiri.

"Aku pulang, Pa."

Rahadyan menoleh. "Kalista, duduk, Papa mau marahin kamu."

Cengiran polos menghiasi wajah Kalista sekalipun ia tahu kalau kalimat itu sudah keluar, berarti Rahadyan sungguhan marah.

"Sebelum Papa marah soal aku jodohan sama Kak Julio—"

"Siapa yang mutusin kamu jodohan sama Julio?!"

"—gimana kalo kita bahas soal lamaran Papa yang enggak jadi?"

Rahadyan tersedak. Pria itu langsung batuk-batuk palsu, berbalik ke masakannya untuk menghindari pertanyaan. Tapi Kalista punya waktu buat menunggu karena ia kepo.

"Kamu tau dari mana? Papa bahkan enggak cerita ke Raynar," ucap Rahadyan setelah lama pura-pura tidak bisa bicara.

"Nebak," dusta Kalista. "Soalnya Papa udah tiga tahun suka sama Bu Direktur, ngajak pacaran aja enggak berani, apalagi ngajak nikah."

Rahadyan spontan menggetok kepala Kalista dengan sendok di tangannya. Tapi kemudian pria itu menunduk, menatap wajah Kalista dengan senyum yang lebih jujur.

"Winnie lagi fokus kerja. Papa enggak mau ngasih beban tambahan so Papa pikir bukan sekarang waktunya. Maaf, yah."

Sejujurnya Kalista tidak peduli apa pilihan Rahadyan asal dia bahagia. Di usianya ini, Kalista sudah tidak berharap punya mama baru yang mengurusnya menggantikan Mama, jadi jika Rahadyan menikah itu seratus persen untuk kebahagiaan Rahadyan.

"Papa enggak cari pacar lain aja? Aku sih maunya Bu Direktur tapi kalo Bu Direktur enggak mau, ya mending Papa cari yang lain, kan?"

"Entah. Papa juga sibuk kerja jadi enggak ada waktu pacaran." Rahadyan mengangkat bahu, mau terlihat cuek padahal Kalista juga tahu bahwa dia sudah terlalu menginginkan Bu Direktur sampai tak mau lagi membuka hati pada orang lain.

"Daripada ngomongin itu, kamu jelasin sama Papa kenapa tiba-tiba kamu magang di kantornya Julio!" Rahadyan mengingat masalah awal.

Kalista cengengesan. "Ya habisnya ngapain juga aku magang di kantor kakak ceweknya Sergio, Papa? Aku maunya Kak Julio!"

"Itu bukan magang namanya tapi kegatelan!"

"Iya kali?"

"Kalista!"

"Papa, listen up." Kalista melipat tangannya di atas meja dan lurus menatap mata Rahadyan. "Kalo Papa ngira semua perempuan itu pengennya kuliah biar dapet kerja buat mandiri, big NO. Ada perempuan generasi Z di sini, perempuan modern yang enggak punya cita-cita apa pun selain nikah cepet. So yah, aku enggak ngejar karier tapi ngejar cinta."

Rahadyan menepuk keningnya frustrasi. "Kalista, kamu itu masih umur dua puluh tahun! Itupun belum nyampe karena ulang tahun kamu belum lewat!"

"So what? Aku pengen punya anak di umur dua puluh biar nanti pas dia udah besar aku dikira sodaraan."

"ANAK?!"

Hal selanjutnya adalah ceramah mengenai betapa depresi seseorang memiliki anak jadi Kalista yang masih anak-anak tidaklah sepantasnya berkata dia mau punya anak.

Namun Kalista cuma mendengarnya di telinga kanan lalu mengeluarkannya di telinga kiri.

Semua orang berhak memilih kan? Kalista memilih mau mengejar cintanya jadi yah, ia tak mau mendengar suruhan mengejar karier saja.

Sementara mulut Rahadyan mengoceh-ngoceh di sana, Kalista mengeluarkan ponselnya, menemukan chat dari Sergio.

Sergio :

Gue mau ngomong sesuatu.

Penting.

Kalista :

😒

Kalo mo berantem doang, hari Minggu aja.

Atau kalo mau nembak, batalin aja.

Udah pasti gue tolak.

**Sergio :

Haha, funny 🙄**

Ketemu di gym besok, deket kantor.

"Kalista, are you even listening?!"

"Nah." Kalista menutup ponselnya setelah membalas oke pada Sergio. "But I love you so much, Pa. Muach."

Rahadyan nampaknya habis menelan paprika utuh karena jawaban Kalista. Tapi pria itu pada akhirnya menarik napas, menghidangkan makanan untuk mereka.

"Ngomong-ngomong, si Gio katanya juga training di kantornya Julio. Kamu udah ketemu?"

Makan malam mereka habis sembari Kalista menceritakan rangkaian perdebatannya dengan Sergio di hari pertama magang.

*

Karena Sergio mengajaknya ke gym sebelum pergi ke kantor, hari ini Kalista tidak memakai pakaian yang super super heboh. Alih-alih, Kalista cuma memakai celana pendek dan kaus polo walau bermerek, tak lupa memasang sepatu olahraga.

Rahadyan yang baru bangun langsung terlihat capek melihat putrinya.

"Papa udah enggak tau berapa kali Papa bilang jangan pake celana, rok, atau apa pun yang kependekan buat keluar—tapi serius kamu mau pake begituan ke kantor?"

Dia malah terlihat seperti yang punya kantor saking santainya.

"Aku mau ke gym dulu, Papa."

"Tapi ...." Mulut Rahadyan terkatup sendirinya saking capek mengoceh.

Udahlah, pikir pria itu. Emang lebih bagus dia dipecat daripada kelamaan magang enggak jelas.

Kalista yang merupakan seorang anak gadis dua puluh tahun tentu saja kurang tertarik dengan pemikiran papanya. Gadis itu datang mencium pipi Rahadyan, lalu berlari pergi sambil menenteng kunci lamborghini.

Di belakang sana Rahadyan berharap Julio memecat anaknya hari ini juga.

Sementara itu Kalista mengendarai mobilnya menuju kantor lalu berlari ke tempat gym yang jaraknya hanya sekitar seratus meter lebih.

Karena masih jam setengah enam pagi, gym tidak terlalu ramai dan Kalista bisa menemukan Sergio tengah melatih otot lengan.

"Yo." Kalista menyapa sekalian meletakkan tas air minumnya. "Ternyata lo anak gym juga, yah."

Sergio memutar mata. "Lo kira gimana caranya badan gue bagus kalo enggak ngegym?"

"Bagusan Kak Julio."

"Fvck Julio, Kalista."

Kalista meregangkan badannya cuek. "Yes, I wanna fvck him right now."

"Iyuh."

Kalista cuek saja, melenturkan ototnya ke kanan dan ke kiri.

Berbeda dari Kalista yang bodo amat terhadap pemandangan otot-otot lengan dan dada Sergio, pemuda itu sangat amat tertarik memandangi setiap sudut tubuh Kalista.

Sergio melihat tengkuknya, lalu lehernya, turun ke dadanya, semakin turun ke pinggangnya, lalu ke pahanya, hanya untuk semakin menyadari bahwa ia menyukai Kalista lebih besar dari sebelum mereka berpisah.

Good God, keluh Sergio lemah. Kenapa sih harus cewek yang buta sama gue? I mean like, gue juga ganteng kali!

"Terus, lo mau ngomong apa?" tanya Kalista seolah-olah itu cuma kentang saat itu meregangkan badannya di depan Sergio.

Sergio menghela napas, berusaha tenang walau sebenarnya merasa panas untuk satu alasan yang sangat berbahaya. "Gue mau putus sama Astrid."

"Yaudah putus," balas Kalista tak peduli.

"Maksud gue, gue pengen batalin omongan keluarga soal gue sama dia bakal dinikahin!" jelas Sergio jengkel. Itu benar-benar menyebalkan karena Kalista menanggapinya terlalu santai.

"Ow." Kalista berkacak pinggang. "Terus, lo ceritanya curhat ke gue?"

"Gue mau lo jadi tunangan gue."

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!