Kayaknya itu akan menjadi perdebatan super panjang tapi sangat tidak penting jika seseorang tidak berdehem. Keduanya menoleh dan kompak wajah mereka berubah, satunya kecut sementara satunya semringah.
"Kak Julio!" Kalista buru-buru beranjak, mendekati pria yang tengah melipat tangan di pintu itu.
Cara dia bersandar pada pintu, cara dia memamerkan lengannya yang berurat, kokoh dan nampak sangat pelukable itu membuat Kalista panas dingin dan semakin jatuh cinta padanya.
"Seenggaknya kalian langsung akrab," kata dia, menyinggung pertengkaran tadi. "Anyway udah jam makan siang. Kalian berdua enggak mau makan bareng? Aku traktir."
"No!" tolak Sergio.
Tapi Kalista juga memekik, "YES!"
Julio yang melihat bagaimana Kalista seperti menahan diri jingkrak-jingkrak sementara adiknya malah menahan diri tidak menelan batu hanya bisa tergelak.
Tangannya mengusap puncak kepala Kalista lembut.
"Kamu keluar dulu, tunggu di bawah."
"Oke, Ka—ups, maksudnya Pak Julio."
Gadis itu ngacir pergi sementara Julio mendekati meja adiknya. "Come on, enggak usah bete gitu. I'll help you."
"Help me what? Jelas-jelas Kalista terobsesi sama kamu."
"Oke, Sergio, pertama kamu tau aku enggak tertarik sama anak kecil yang baru lulus SMA dan kedua," Julio merangkul bahu anak itu, "kamu tau makin dalem friendzone-nya justru makin besar kemungkinan jodohnya? Come on."
Sergio berdecak tapi akhirnya luluh juga. Lagipula benar bahwa Julio tidak menyukai anak kecil seperti Kalista dan penolakan Kalista itu cuma karena dia mendadak buta kalau melihat Sergio.
Dia tidak melihat bahwa ada permata yang seharusnya dia sadari.
Di sisi lain, Kalista yang menunggu di luar langsung sebal melihat Sergio bersama Julio. Harusnya dia menolak saja biar Kalista bisa berduaan dengan Kak Julio!
Tapi Kalista harus jadi cewek penurut jadi ketika Julio datang, Kalista senyam-senyum.
"Kalian mau makan apa?" tanya Julio sembari membuka pintu mobil.
Secara bersamaan keduanya menjawab hal berbeda.
"Steak," jawab Sergio.
"Sandwich," jawab Kalista.
Lalu keduanya saling melotot.
"Orang bodoh mana yang makan sandwich siang-siang? Itu sarapan!"
"Gue makan sandwich mau subuh kek, tengah malem kek, suka-suka gue!"
Julio hanya bisa menyuruh dirinya bersabar pada dua remaja ini.
*
Sergio dan Kalista berdebat panjang mengenai steak dan sandwich, tapi saat tiba di restoran sebenarnya dua menu itu bebas di pesan dan pemilik restoran tidak akan marah sama sekali.
Julio memilih menu makan siang salad, membuat Kalista langsung tertarik untuk bertanya bahkan kalau alasannya sudah bisa diperkirakan sendiri.
"Aku vegetarian kalau hari kerja," jawab Julio tentang menu makanannya.
"Hehe, gitu yah, Kak? Pantesan kulitnya bagus." Kalista cengangas-cengenges menikmati wajah tampan Julio sambil menggigit sandwich-nya. "Kak Julio perawatan juga enggak? Spa gitu, misal? Facial?"
"Lo kira dia cewek nanya-nanya facial spa?" timpal Sergio keki.
"Zip it!" Kalista mendelik sebelum kembali tersenyum pada Julio. "Kak Julio ganteng banget, sih. Mata aku mau buta tau enggak ngeliat Kakak."
Julio menutup wajahnya dan tertawa sangat manis, setidaknya di mata Kalista. Tapi sebenarnya pria itu sedang menertawakan 'pacar' adiknya yang benar-benar sangat jujur dalam berperasaan.
Sergio bercerita kalau sejak dulu Kalista memang begini. Bahkan katanya dulu dia pernah minta menikah dengan pengawalnya sendiri gara-gara pengawalnya itu ganteng.
"Emang Sergio enggak ganteng?" balas Julio, sadar bahwa adiknya melotot. "Okay, look at him. Aku aja kaget waktu dia pulang bulan kemarin, loh. Kamu enggak kaget?"
Tatapan Kalista sangat amat fokus pada senyum Julio. "No," jawab dia tanpa ragu dan malah semakin memuja. "Sergio ya Sergio. Lagian, Kak, kita tuh cuma temenan aja. Iya kan, Sergio?"
"Gue enggak tertarik temenan sama cewek kurang waras," balas Sergio jengkel. Tapi hanya sesaat setelah itu, Sergio tiba-tiba terpaku ke satu arah. "Kalista, look at that."
Kalista dan Julio menoleh ke arah yang Sergio katakan, menemukan Rahadyan, ayahnya Kalista, datang bersama seorang wanita yang dikenali setidaknya oleh Sergio dan Kalista.
"O my God!" Kalista memekik tertahan. "Gue lupa Papa mau ngelamar Bu Direktur!"
"WHAT?!" Sergio bereaksi sangat keras sedangkan Julio hanya menatap mereka bingung.
"Bu Direktur siapa?" tanya pria itu penasaran, karena nampaknya perdebatan Sergio dan Kalista langsung selesai begitu namanya disebut.
"Bu Direktur sekolah gue dulu," jawab Sergio sebelum dia beranjak, ikut mengintip ke belakang Kalista.
Julio juga beranjak karena dia dibuat kepo oleh reaksi kedua orang itu. Disamping Julio dengar bahwa Rahadyan sedikitpun tidak pernah dekat dengan wanita selama ini.
"Gila, Om Rahadyan ternyata makin enggak waras," cetus Sergio. "Kalo gue jadi dia, mendingan gur ngejomblo seumur hidup daripada ngelamar Bu Direktur."
"Emang se-creepy itu?" Julio mengangkat alis.
"Se-creepy itu, Kak." Kalista menjawab sambil tangannya memegangi ponsel, merekam papanya dan Bu Direktur di sana. "Mereka tuh udah deket dari aku baru masuk ke Asgard, tau. Tapi biarpun Papa sering banget caper, Bu Direktur tuh kayak 'ugh, I don't fvcking care about you, man'. Yang bikin Papa sering jadiin aku alesan buat ngomong sama Bu Direktur."
Kalista sangat bersemangat karena sejujurnya sudah lama Kalista berharap mereka berdua jadian. Papanya, Rahadyan, terlalu ragu melangkah sebab dia merasa Bu Direktur tidak ingin menikah.
Walau Kalista dekat dengan Bu Direktur juga, ia bahkan tak tahu apakah Bu Direktur suka pada papanya atau tidak.
"Taruhan, Om Rahadyan ditolak," kata Sergio yakin.
"Taruhan, Papa pasti diterima," balas Kalista, tidak terima kalah dari Sergio.
Julio mengerutkan bibir dan menatap ke arah dua manusia yang duduk berhadapan di meja itu.
"Kalo gitu," Julio memegang dua kepala anak kecil di depannya, "taruhan, Om Rahadyan enggak jadi ngelamar."
Eh?
*
"Enggak biasanya kamu ngajak saya ketemu jam segini." Bu Direktur yang aslinya bernama Bu Winnie—harus dibaca Wi-ne—berkata demikian sesaat setelah mereka duduk.
Wanita itu mengambil buku menu dan menyebutkan pesanannya pada waitress sementara Rahadyan sedang berusaha keras menahan gugup.
Melamar wanita bukanlah keahlian Rahadyan. Punya anak tanpa pernah menikah seumur hidup adalah bukti bahwa pria itu sebenarnya payah dalam hal berurusan secara serius dengan wanita.
Namun Rahadyan sudah meyakinkan diri. Kali ini, hari ini, ia akan berhenti menjadikan konsultasi anaknya sebagai alasan berbicara dan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa ia menyukai Bu Direktur sejak tiga tahun terakhir.
"Kamu enggak pesen?" tanya Bu Direktur karena Rahadyan malah sibuk bengong.
"Air putih." Rahadyan terlalu gugup buat melihat buku menu. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu merasa mulas jika sekarang harus memikirkan soal hal lain.
Bu Direktur yang mendengarnya langsung memandang Rahadyan aneh, tapi wanita itu putuskan tidak berkomentar. Anggap saja seorang pria datang ke restoran cuma untuk minum air putih itu adalah hal wajar.
"Terus, kamu mau ngomong apa?" Bu Direktur langsung pada tujuan.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments