4.

Tadi Rahadyan bilang ada hal penting yang mau dia bicarakan jadi mereka harus bertemu sekarang. Biasanya mereka bertemu malam atau di akhir pekan kapan masing-masing tidak sibuk, terutama jika ada sesuatu yang harus dikonsultasikan mengenai Kalista.

Tapi sebenarnya akhir-akhir ini mereka jarang bertemu lagi, dikarenakan Kalista juga sudah lulus dari sekolah maka tidak ada lagi alasan Rahadyan berkonsultasi.

"Itu ...." Rahadyan tergugup.

"Soal Kalista bilang mau magang?" tanya Bu Direktur yang tidak tahu bahwa dia mau dilamar. "Saya denger dari Kalista, katanya dia mau magang di kantor Julio, kakaknya Sergio."

"Jadi Ibu tau?!" respons Rahadyan kaget, tapi buru-buru tersadar lagi. "Ehem, maksud saya, Ibu tau Kalista bukan magang sama kakak perempuannya tapi kakak laki-lakinya Sergio?"

Bu Direktur mengangkat alis. "Aha, jadi Kalista enggak cerita? Katanya dia mau ngejar cinta atau gimana."

"Ibu harusnya nasehatin. Cinta apaan dia kejar di kantor," gerutu Rahadyan yang mendadak sebal.

"Kamu terlalu protektif sama anak kamu." Bu Direktur menerima air putih yang diantarkan pelayan untuknya dan Rahadyan, sambil menunggu menu utama. "Lagipula saya yakin begitu masuk dunia kantor Kalista bakal sadar itu bukan tempat main-main."

"Dia pake rok spam ke kantor, Bu. Hah!"

Bu Direktur tertawa kecil. "Yah, enggak lama lagi tingkahnya yang kekanakan bakal ilang juga. Dia udah dewasa."

Rahadyan mau membalas bahwa Kalista dan kedewasaan adalah dua musuh bebuyutan, tapi segera Rahadyan sadar ia harus bicara tentang hubungan mereka dan bukan cuma Kalista.

Tentu saja Kalista sangat amat penting dan nomor satu, tapi anak itu bilang bahwa Rahadyan juga harus mengutamakan calon istrinya.

"Oke, Winnie, saya seneng ngomongin Kalista sama kamu, Bu Direktur Kesayangan Kalista but there's something I had to tell you."

Bu Direktur mengangguk. "Ya?"

"Saya ...."

Entah Rahadyan yang terlalu lama basa-basi atau memang Bu Direktur tidak punya banyak waktu, ponsel wanita itu lebih dulu berdering daripada Rahadyan berucap.

Bu Direktur minta izin menjawab dan beranjak dari kursi.

"Halo, Pak? Iya, Pak, ini saya lagi makan siang. Oh, oke, Pak. Baik. Saya selesaikan makan siang dan langsung ke sana. Baik, Pak, terima kasih."

Rahadyan tersenyum menyambut Bu Direktur kembali. "Siapa?"

"Pak Al," jawab Bu Direktur santai. "Kebetulan jabatan saya sebagai Bu Direktur harus dipindahin ke orang lain dan Pak Al bilang saya harus ketemu orangnya langsung."

Rahadyan terkejut. "Kamu dipecat?"

"Enggak. Enggak begitu. Saya naik jabatan. Pak Al mindahin saya ke universitas Asgard dan yah, mungkin kedepannya kamu mau manggil saya Bu Wakil Rektor?"

Rahadyan membuka mulutnya yang kemudian terkatup lagi. Itu adalah berita menggembirakan ... tapi jika benar Bu Winnie berpindah jabatan dari Direktur sekolah menjadi Wakil Rektor—menuju Rektor, maka hanya satu yang pasti.

Dia tidak punya waktu mempersiapkan pernikahan.

"Congratulation, Bu Calon Wakil Rektor." Rahadyan diam-diam mengepal kotak cincin di sakunya dan tersenyum lebar. "Kebetulan banget hari ini saya mau bilang kalau Kalista saya daftarin ke Universitas Asgard."

"Ohya?"

Di dekat tembok persembunyiannya, Kalista lebih cengo.

OHIYA?!

*

Sergio menarik Kalista yang nampaknya sangat syok mendengar cara papanya ditolak. Walau itu sebenarnya bukan penolakan, tapi diangkat menjadi seorang Wakil Rektor sama saja seperti memberi pekerjaan yang terlalu banyak buat Bu Direktur.

Pernikahan apalagi dengan pria sekaya Rahadyan tentu saja berputar pada keluarga sangat besar, fitting baju sana-sini, dekorasi, undangan, hadiah, lalu segala setan-setan lainnya yang Bu Direktur sebagai Bu Wakil Rektor tidak akan bisa mengurusinya.

"Gue mau muntah," gumam Sergio saat kembali duduk. "I mean, I feel bad like ... extremely."

"Gue syok," gumam Kalista juga. "Antara Papa ditolak bahkan sebelum ngeluarin cincin ... sama soal gue ternyata didaftarin kuliah. I don't even know!"

Julio kembali menyantap makanannya.

"Kok Kak Julio tau Papa enggak jadi ngelamar?"

"Nebak aja," jawab Julio santai. "Hawa perempuan kayak Bu Direktur itu, kayak ... untouchable. Dia enggak jual mahal, enggak dingin juga, tapi dia terlalu sibuk sama kerjaan. Perempuan kayak gitu intimidating, bukan dalam artian mereka buruk. Tapi yah, cowok jiper duluan."

Kalista cemberut. "Padahal kalo Bu Direktur jadi Mama aku, aku rela aja."

Sergio melirik. "Really? Lo mau manggil Mama ke orang lain selain mendiang nyokap lo?"

"Kalo Bu Direktur, yes."

Julio mengangkat alis. "Kamu keberatan ngasih tau siapa Bu Direktur ini? Kayaknya kalian kenal banget."

"Like I said, dia Direktur sekolah gue sama Kalista," jawab Sergio. "Dan dia temennya Kalista."

"Temen?"

"Satu-satunya." Kalista menambahkan. Gadis itu mendadak terlihat murung, memegang sandwich-nya dan menatap isian daging sapi di sana. "Sergio, waktu lo pergi, satu sekolah ngebully."

"What?"

Kalista menelan ludah, merasa ingin menangis karena harus menceritakan lukanya. Tapi Kalista menguatkan diri, mengutarakan alasan kenapa Bu Direktur itu istimewa.

"Waktu lo pergi, Kak Agas juga udah enggak ada. Tunangan lo, Astrid, akhirnya bisa gangguin gue. Dia mulai nyuruh temen-temennya ngetawain gue kalo gue dateng, bikin anak cowok ngobrol di depan gue soal nyokap gue gundik, sampe nyebarin foto-foto gue buat digosipin."

Julio bisa melihat wajah Sergio memerah marah. Namun Sergio menahan diri sebab Kalista bercerita dengan nada bergetar menahan tangisnya.

"Enggak ada yang mau ngomong sama gue. Karena kalau ada, orang-orangnya Astrid bakal ngebully mereka juga. Jadi tiap siang, tiap waktu istirahat, Bu Direktur nyuruh gue ke ruangannya buat makan bareng."

"Lo enggak ngomong sama bokap lo?"

"Gue enggak mau Papa bayar orang biar nemenin gue. Gue juga enggak mau Oma minta ke keluarganya, kayak lo dulu, buat jadi temen gue cuma karena gue enggak tau cara nyari temen," ucap Kalista dengan senyum tegar.

"So, satu waktu gue enggak ke ruangannya Bu Direktur karena gue diketawain. Katanya gue lari ke Bu Direktur karena gue nolak kenyataan enggak ada yang mau nemenin gue makan. Gue ngumpet di gudang belakang tapi Bu Direktur dateng, bilang kalau dia enggak mau makan kecuali temen makan siangnya dateng."

Julio mengangguk-angguk mendengar cerita anak itu. Adiknya memberitahu Julio bahwa Kalista anak yang pemberani dan terus terang, tapi di sisi lain dia juga sangat lemah.

Kalista bukan anak yang akan diam saja kalau dia diserang, tapi dia juga bukan anak yang akan berusaha keras membuat seseorang suka padanya.

Pada Julio pun dia cuma mengutarakan kalau dia suka, tapi nyatanya tidak memaksa jika Julio bilang dia harus pergi atau harus bersama Sergio.

"Hei." Sergio menyentuh tangan Kalista dan menggenggamnya di atas meja. "Sorry. I'm so sorry, Kalista. Gue pikir lo enggak bakal sampe sendirian. Gue pikir lo enggak bakal dibully karena gue tau lo enggak penakut."

"Gue enggak penakut, emang." Kalista tersenyum. "Tapi gue juga bukan orang gila yang ngelawan satu sekolah jadi yah thank you udah ninggalin gue."

"Kalista—"

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!