Nana kembali memimpin jalan dengan dipandu hologram di tangannya. Kami menaiki tangga menuju lantai dua. Terus berjalan lurus di lorong koridor. Nana berhenti di depan salah satu ruangan.
“Bukankah ini ruangan yang tadi kita masuki?” Arthur menatap Nana heran.
“Tapi ruangan ini yang ditunjukkan oleh peta. Kita periksa sekali lagi.” Nana berjalan masuk. Ruangan gelap seperti biasanya. Manekin dan peti mati tetap bergeming.
“Tidak ada apa-apa di ruangan ini selain peti mati dan manekin.”
“Apa ini termasuk petunjuk?” Aku menyenter gambar yang tadi aku temui di dinding.
“Relief?” Layla memiringkan kepala, membetulkan posisi kacamatanya.
“Gambar pertama, Lihat! Itu gambar sebuah kotak. Lalu gambar di sampingnya, gambar kedua, ada anak kecil yang berlari ke arah kotak. Lalu gambar terakhir anak kecil itu membuka kotaknya.” Arthur lamat-lamat memperhatikan gambar itu.
“Tunggu, bukankah gambar anak kecil itu mirip dengan anak kecil yang kita temui di hutan tadi?” Nana berjalan mendekat ke dinding.
“Jadi kata kuncinya adalah anak kecil?” Arthur mengernyitksn dahi. Layla menggeleng.
“Yang menjadi kata kunci adalah kotak itu, karena gambar pertama hanya terdapat sebuah kotak.” Layla menunnjuk gambar pertama yang berada di samping kirinya.
“Kotak?” Arthur semakin mengerutkan lipatan di dahinya. Layla kembali menggeleng.
“Tidak ada teka-teki yang semudah itu Arthur. Yang jadi pertanyaannya dari mana kotak itu berasal? Siapa yang memeberikannya? Apa isinya? Semua itu masih menjadi misteri. Kita hanya bisa menebaknya. Apa itu jebakan? Atau mungkin itu sesuatu yang lain?” Layla kembali membetulkan posisi kacamatanya. Kondisi Layla sudah lebih baik sekarang.
“Itu dia!” Nana berjalan mendekati Layla.
“Sesuatu! Kata kuncinya adalah sesuatu.”
“Hah?” Arthur melongo.
“Tidak ada yang tahu–” Kalimat Nana terhenti saat mendengar suara benda terjatuh di belakangnya. Nana balik kanan, berjalan mendekati dinding. Aku menyusul.
Di lantai tergeletak sebuah kartu hologram. Di sana terdapat tulisan ‘kata kunci: SESUATU’. Aku melihat senyum sumringah Nana yang menatap senang kartu hologram itu.
“Yosh!” Nana berdiri, menatap kami satu persatu.
“Tapi kamu belum selesai menjelaskannya. Bagaimana bisa kata kuncinya adalah sesuatu?” Arthur merengek.
“Akan aku jelaskan nanti. Untuk sekarang kita kumpulkan dulu semua kata kuncinya.” Nana berjalan keluar ruangan.
“Sebenarnya tempat apa ini? Dari luar tempat ini terlihat sangat kuno, tapi sebenarnya tempat ini memiliki teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan tempat kita.” Arthur menatap langit-langit ruangan.
“Kata kuncinya berbentuk sebuah gambar. Jadi kita akan menuju titik selanjutnya di ruangan lantai dua puluh lima dan mencari gambar di dinding.” Layla bergumam.
\*\*\*\*
Ini sangat buruk. Aku tidak kuat lagi jika masih disuruh untuk melanjutkan perjalanan ke lantai dua puluh lima. Kami masih berada di lantai dua puluh, tinggal lima lantai lagi yang harus kami naiki.
“Cukup! Aku rasa kita harus beristirahat dulu. Lihat! Layla sudah hampir kehilangan kesadaran.” Nana menunjuk Layla yang terkapar di lantai koridor. Napasnya terengah-engah. Baju dan celana yang dia kenakan basah kuyup karena keringat.
“Tinggal lima lantai lagi!” Arthur ngotot untuk terus melanjutkan perjalanan.
“Ya sudah, kalau kamu mau terus lanjut silahkan! Kami akan beristirahat di sini.” Nana menghempaskan punggung pada dinding.
“Kalau kalian di gentayangin hantu jangan nangis, lho!” Arthur melirik, menarik dua ujung bibir ke bawah.
“Yee, justru kamu yang bakal di gentayangin. Kamu ‘kan sendirian.” Aku nyegir. Ikut bersandar di dinding. Arthur menatapku, wajahnya berubah masam. Arthur menghembuskan napas kesal, bersila.
“Ujung-ujungnya istirahat juga, tuh! Kenapa? Takut digentayangin?” Aku menggodanya.
“Idiiih! Mana ada pangeran takut sama yang begituan.”
“Ya terus ngapain ikut-ikutan istirahat? Capek?”
“Capek? Energi aku masih banyak kok. Aku di sini jagain kalian. Nanti kalau aku pergi terus kalian kenapa-napa ‘kan aku juga yang repot.” Arthur membusungkan dada. Aku memalingkan wajah, menahan tawa.
“Ngomong-ngomong apa kita tidak membawa bekal? Air atau makanan?” Arthur menoleh.
“Tidak, karena kita tidak tahu kalau akan jadi seperti ini. Rencana awal hanya untuk mencari Mery dan lainnya. Tidak satupun dari kita yang memprediksi kalau ini akan terjadi, ‘kan?” Nana menatap Arthur. Arthur menggaruk-garuk kepala.
“Jadi kita akan berjalan ke lantai dua puluh lima lalu lantai empat puluh lima tanpa makan dan minum? Itu sama saja dengan penyiksaan.” Arthur menggeleng-gelengkan kepala.
“Jadi maksudmu aku adalah penyiksa?!” Nana menatap tajam. Arthur memalingkan wajah, menciut.
“Untuk sekarang kita istirahat dulu sambil memulihkan tenaga. Kita tidak memiliki makanan ataupun minuman. Jadi, jika kalian memang Ingin keluar dari belenggu bangunan ini kalian harus bisa menahannya. Pilihannya hanya dua, tetap di sini dan mati kelaparan atau bertahan lalu keluar dari tempat ini dan tetap hidup.” Nana mengusap keringat di dahi.
“Kalau begitu, aku tunggu di sini dan kalian yang mencari dua kata kunci yang tersisa. Setelah itu kita keluar bersama-sama.” Arthur mengangkat alis kanan.
“Sebelum itu aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu. Bukankah itu lebih baik daripda mati kelaparan? Aku sedang berbaik hati sekarang.” Nana tersenyum. Arthur membalikkan badan, membelakangi kami.
“Aah! Karena aku ini seorang lelaki sejati, maka aku akan menemani kalian. Tempat ini sangat berbahaya bagi para gadis, jadi aku yang akan melindungi kalian. Aku adalah pangeran yang hebat, ya, pangeran yang hebat dan baik hati.” Arthur mengangguk-anggukkan kepala.
Aku tahu dibalik anggukannya itu dia sedang berusaha untuk menahan rasa takutnya. Rasa takut terhadap Nana, bukan monster atau semacamnya. Aku masih ingat saat Arthur mengatakan bahwa Nana terlihat lebih menakutkan daripada pasukan armada perang ketika dia mengeluarkan sisi buruknya.
‘Bahkan aku tidak yakin satu pasukan armada perang bisa mengalahkannya.’
Arthur membisikkan kalimat itu saat berada di perpustakaan waktu kelas delapan. Aku membungkam mulut, berusaha keras menahan tawa.
“Dari sini kita akan membagi menjadi dua tim. Arthur dengan Lina dan aku dengan Layla.” Nana menatap kami. Layla dengan cepat menggelengkan kepala.
“Itu bukan ide yang bagus. Aku mempunyai firasat buruk. Sebaiknya sampai kita keluar dari tempat ini kita tidak boleh sampai terpisah.” Layla menjelaskan.
Aku mengangguk. “Layla benar, aku setuju dengannya. Aku tahu ini akan terkesan aneh, tapi aku mengkhawatirkan dua makhluk yang kita temui tadi tiba-tiba hidup.” Aku bergidik ngeri.
“Kamu pikir ini adalah dunia fantasi? Makhluk itu sudah tidak diberi makan selama bertahun-tahun. Kota ini sudah lama ditinggalkan. Tidak mungkin jika mereka akan hidup. Tapi ada yang mengganjal dipikiranku. Jika mereka memang bahan percobaan, seharusnya tabung itu sudah tidak ada. Maksudku coba kalian pikirkan, banyak bangunan di kota ini yang rusak parah dan ada banyak juga bekas tembakan di dindingnya. Mungkin di sini sudah terjadi perang. Jika memang seperti itu, harusnya dua tabung itu juga ikut hancur tertembak. Lihat! Semua kaca di sini sudah pecah. Ini pasti bekas dari perseteruan yang mungkin pernah terjadi di sini. Mustahil jika dua tabung itu masih utuh tanpa goresan sedikitpun. Bahkan beberapa dinding di bangunan ini juga memiliki bekas tembakan peluru.”
Arthur menjelaskan seraya tangannya menunjuk-nunjuk tempat yang dia maksud.
Lamat-lamat aku menatap wajah Arthur. Dia benar juga. Tidak mungkin dua tabung itu masih utuh jika bangunan di sini memiliki sejarah perseteruan. Jika misal saja tempat ini memang tidak ada perang, harusnya paling tidak dua tabung itu pasti berdebu. Herannya tabung-tabung itu sangat bersih, seperti baru dibuat.
“Terlepas dari semua yang aku sampaikan, aku setuju dengan Layla. Berpisah di tempat tidak dikenal seperti ini merupakan risiko yang terlalu besar. Tujuan kita sudah ditentukan, tidak ada gunanya juga jika harus membagi tim.”
Nana mengangguk. “Baiklah! Karena kalian tidak menyetujui pembagian tim, maka kita akan pergi bersama. Sebenarnya aku sendiri tidak setuju dengan pembagian tim seperti tadi, tapi sama seperti Layla, aku punya insting tersendiri. Instingku mengatakan kalau kita akan mudah tertangkap jika bersama.”
“Tertangkap? Oleh apa?” Aku mengernyitkan dahi.
Nana menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Mungkin kekhawatiranmu itu ada benarnya. Mungkin saja dua makhluk tabung itu memang tidak memerlukan asupan seperti makanan atau minuman. Tapi jika dipikir kembali itu sangat tidak mungkin. Jadi bisa saja kalau cairan hijau yang menenggelamkan mereka bekerja seperti infus. Cairan itu masuk ke dalam kulit mereka dan memberi nutrisi yang cukup. Itu bisa saja terjadi.”
Aku menelan ludah. Jika memang hal seperti itu bisa terjadi dan jika memang hal seperti itu terjadi, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Membayangkan dua makhluk itu saja sudah membuat bulu kudukku merinding, apalagi jika harus berhadapan dengan mereka secara langsung.
“Untuk sekarang kita akan melanjutkan perjalanan. Cukup istirahatnya, kita harus cepat. Jika mereka kembali ke tenda dan tidak menemukan kita di sana, mereka pasti akan khawatir dan mencari kita. Situasi kita sudah buruk sekarang. Jangan sampai mereka menemukan tempat ini.” Nana berdiri.
“Tapi bukankah itu bagus? Jika mereka menemukan tempat ini lalu membuka pintu ini dari luar kita bisa bebas tanpa harus memecahkan teka-teki konyol seperti ini.” Arthur memberi saran. Nana menggeleng.
“Aku merasa ada yang aneh dengan hutan ini. Jika dipikir kembali, saat kita berangkat dari perkemahan kita hanya berjalan lurus. Kita bahkan tidak berfikir untuk mengambil jalan berbelok atau membagi kelompok agar lebih mudah. Dan yang paling aneh, kita memiliki ponsel tapi kenapa kita tidak menggunakannya untuk menghubungi mereka? Ini seperti seolah ada yang menuntun kita ke tempat ini. Aku rasa mereka juga mengalaminya. Namun, mereka dituntun ke tempat yang berbeda.” Mata Nana menatap serius.
“Apa mereka baik-baik saja?” Layla bertanya cemas. Wajahnya memucat.
“Tenang saja, mereka pasti baik-baik saja. Ada Liya bersama mereka. Dia sangat ahli dalam hal ini. Dia orang yang dapat mengatasi situasi di luar kendali.”
“Nana benar. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan mereka. Yang lebih penting sekarang, bagaimana cara kita keluar dari tempat ini secepatnya?” Aku mengelus punggung Layla.
“Tentu saja dengan menyelesaikan teka-teki itu, kan?” Arthur memonyongkan bibir.
“Baiklah sudah cukup basa-basinya. Arthur! Jika kamu masih ingin di sini aku tidak keberatan. Asal kamu berjanji tidak akan merengek seperti bayi yang kehilangan mainannya.” Nana mengangkat alis.
“Mainan?” Aku memiringkan kepala. Arthur segera bangkit dari duduknya.
“Oke, Oke! Aku ikut!” Wajah Arthur berubah masam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Lamsiah Lamsiah
semagat thoor untuk karya nya
2023-09-14
1