“Kenapa?“
“Kelihatannya aku istirahat dulu disini,“ jawabku menolak ajakannya secara halus. Supaya dia tak marah. Karena bagaimanapun dia orang tua yang tentunya tak akan suka kalau kehendaknya disepelekan. Apalagi olehku yang dianggap sebagai anaknya sendiri.
“Kau tak ikut?“
“Belum paman.“
“Huh...” Ronggo Pekik pergi. Dia berlalu dengan suasana hati yang sedikit resah. Dan gelagat serta gerak tubuh yang demikian tak mengenakkan.
Setelah berlalunya dia, kita kembali sepi. Hanya bertiga. Kecubung Biru asik dengan kesendiriannya. Dia hanya memainkan jemarinya. Sembari membersihkan kuku-kuku indahnya. Ayahnya hanya diam. Dan aku mencari kesibukan yang dirasa bisa menghalau kesunyian alam ini hingga mungkin esok hari, atau pada waktu yang belum kita perkirakan.
Malam tersibak tak berapa lama setelah itu. Ada yang merusak kesunyiannya. Ronggo Pekik datang dengan tergesa. Dia kini tak sendiri tapi beberapa anggota laskar.
“Ada apa?“ Kami bingung. Paman Pulung Jiwo penasaran.
“Pasukan kumpeni dan keraton mengamuk.“
“Lo....“
“Kami berpapasan dengan mereka, yang jumlahnya tidak sedikit. Dan senjatanya begitu hebat. Berikutnya terjadi perkelahian. Dan akibatnya, banyak teman kita yang binasa dan terluka, sisanya mundur.”
Mereka menjelaskan sekedarnya saja. Dan langsung saja beristirahat di tempat yang menurut perkiraan sudah lumayan jauh dari tempat semula mereka melakukan pertempuran. Ada yang duduk, ada yang rebahan dan tiduran begitu saja di tanah.
“Waduh. Gawat kalau mereka terus mengejar sampai kemari. Kita jelas akan kesulitan melawan. Mana senjata tak sebanding, juga personal yang kelihatannya kurang banyak dibandingkan dengan mereka.“
Benar saja, belum sampai mereka istirahat sampai lelah menghilang, sudah nampak keributan yang ditimbulkan oleh kedatangan orang-orang yang jumlahnya banyak.
“Lihat mereka datang.“
“Ayo mundur dulu. Kita belum siap menghadapi mereka yang jumlahnya tak sedikit itu,“ orang-orang yang kelelahan itu minta kita untuk menghindar.
“Gawat, kita tak keburu. Mereka telah menyerbu.“
Orang-orang yang baru datang itu terus menyerang dengan membabi buta dan melakukan gerakan cepat yang tak kami duga.
Hal ini membuat kita kelimpungan. Panik. Dan gerakannya kurang terarah.
Banyak yang terkena sabetan senjata musuh. Dan langsung terkapar.
“Kecubung Biru awas! “
Musuh langsung menyerang. Anak gadis itu hampir saja terkena senjata. Untung dia berhasil menghindar.
Berikutnya tombak dan peluru berseliweran. Kami sementara menangkis dengan apa yang ada. Kalau senjata yang kebetulan tadi diletakkan dekat, bisa langsung dipakai untuk menangkis. Sementara yang sebelumnya lumayan santai sedikit kelabakan. Dan senjata musuh lebih dulu mengenainya.
Mau tak mau para laskar melawan. Ada yang langsung tumbang.
Aku mengambil senjata yang kuletakkan lumayan jauh. Tapi berusaha menjangkau. Bagaimanapun aku ngeri menghadapi semua ini dan kalau tak melakukan perlawanan kemungkinan bakal kena sasaran. Benar saja, tak lama berikutnya, aku melihat musuh yang datang menghampiri. Tanpa menunggu banyak kata, langsung kubabat orang itu dengan pusakaku, pedang pemberian ayah. Tapi meleset. Dia yang kini justru menendang tepat pada perutku dan aku jatuh telentang. Orang keraton mau menusukkan senjatanya. Untung Paman Ronggo Pekik datang, dia lebih dulu menusukkan senjatanya. Musuh langsung tewas.
Pulung Jiwo juga bertempur dengan garang. Namun dia kebingungan, antara melindungi anaknya, melawan musuh yang dulu teman atau Kumpeni yang bersenjata canggih. Diantara perasaan kacaunya itu, dia masih berhasil memburu Kumpeni yang tak jauh dan langsung menewaskannya. Tapi orang keraton yang dulu teman dan jaraknya tak terlampau jauh, justru berhasil menikamkan senjata yang dipegang. Tepat mengenai tubuhnya.
Perut Pulung Jiwo berdarah.
Bapak....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Sis Fauzi
semangat pulung jiwo
2021-04-20
2