“Ayo kita berangkat.”
Aku diam.
Lebih suka disini bersama dengan Kecubung Biru. Yang kali ini tengah asik menatap kesejukan alam dan tak merasakan ada kesedihan. Beda dengan ayahnya yang selalu berpikir pada kenyamanan, keamanan serta kehidupan layak buat gadis rupawan ini.
“Kalian semua menjengkelkan!” Ronggo Pekik berseru. “Biar aku pergi dulu. Aku mau mencari makan atau apalah, syukur-syukur mendapat sesuatu dari bantuan penduduk.”
Kami hanya diam dan membiarkannya pergi. Ronggo Pekik terus berlalu dan hilang dari pandangan kami pada suatu kelokan jalan.
Berikutnya kami hanya terdiam, saling tatap, kemudian merenung. Tak tahu mesti berbuat apa. Sedangkan waktu demikian panjang. Menanti apakah musuh-musuh nanti akan datang menyerang dengan brutal. Dan kita tak bisa mengelak untuk pasrah kemudian terdiam. Atau cuma diam meniti pikiran masing-masing yang kacau. Membayangkan hidup enak di suatu tempat yang mapan. Dengan suasana yang nyaman, aman dan segala kebutuhan terpenuhi. Dan kali ini cuma tak hanya angan semata yang melintas.
Tak lama kemudian Pulung Jiwo juga beranjak pergi. Ada sesuatu yang mesti dikerjakannya. Entah keengganan. Entah kejenuhan. Karena sepanjang waktu dalam diam itu, tak banyak kegiatan. Membuatnya ingin melakukan sesuatu yang mungkin bisa menghalau rasa gundah tersebut. Dan sesaat berikutnya sudah balik lagi. Ayah Kecubung Biru sudah membawa buah. Entah bagaimana mendapatkannya. Barangkali di satu perjalanan diam tadi dia menemukan pohon buah. Yang lalu diambilnya. Dia memberikan pada kami yang langsung menikmatinya. Rasanya masam. Tapi lumayan buat pengganjal perut. Aku makan dengan lahap. Kecubung Biru juga. Dia menikmatinya. Tak risau kalau nanti perutnya bakalan mules atau perih, dia tetap mengisi perut itu. Daripada kosong.
“Ini.“
Tak berapa lama Paman Ronggo Pekik datang dengan membawa sesuatu yang dia dapat dengan jerih payahnya.
“Aku membawa daging.“
“Apa itu?“
“Ayam hutan.“
Nampak suatu daging yang kelihatannya enak. Dengan bekas luka tusuk yang masih mengeluarkan darah. Dia memang sangat piawai dalam berburu dan mencari hewan yang kalau menangkap tentu tak akan mudah. Liar dan sangat cepat gerakannya. Tapi sebagai seorang bekas prajurit yang berpengalaman di segala bidang tentu saja hal demikian bukanlah hal yang sulit baginya.
“Sayang kami sudah kenyang,“ jawab Kecubung Biru.
“Kau saja,“ tunjuk padaku.
“Aku juga malas,“ kataku. “Kenyang. Kebanyakan makan buah.“
Dia hanya mendengus, jengkel. Ronggo Pekik tambah kecewa. Suatu yang dibawa dan dihasilkan dengan susah payah tapi tak ada yang menghiraukannya sama sekali. Dia akhirnya membakar hasil buruannya sendiri. Dan memakan langsung.
Malam ini, kita semua berteduh dibawah pohon rindang. Sembari berjaga, kalau prajurit keraton atau kumpeni datang. Kita mesti bersiap untuk menghindar atau melakukan perlawanan.
“Mungkin kita sebaiknya terus,“ ujar Ronggo Pekik.
“Wah, bahaya. Terutama buat anakku,“ kata Pulung Jiwo.
“Kalaupun bahaya, kita bisa dibantu pasukan Diponegoro.“
“Tidak. Sebaiknya kami disini saja dahulu. Menunggu waktu tepat untuk bergerak,“ ujar Paman Pulung Jiwo memberi alasan.
“Kau memang sulit ya!“ ujar Ronggo Pekik dengan nada tajam. Beberapa waktu ini, dia nampaknya sering marah yang nyaris tanpa sebab atau penyebabnya cuma hal sepele.
“Lo....“
“Apa-apa selalu beda!“
“Aku hanya memikirkan nasib baik kita, yang mungkin bisa dicapai,“ jelas Pulung Jiwo yang sebenarnya juga resah sejak rumahnya menjadi karang abang di luluh lantakkan musuh.
“Huh....“ Ronggo Pekik mendengus. “Biar aku pergi dulu. Ayo Cahyo Layung.“ Ajaknya padaku.
“Tapi... “
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Sis Fauzi
mantap Thor ❤️ lanjuut
2021-04-20
2