Haid pertama

Mama dan papa pergi, hanya ada aku dan Elvan di rumah. Saat orang tuaku tidak ada, sikap Elvam berubah drastis. Dia seperti orang yang berbeda.

"Dek, makan dulu." Dia berteriak saat aku baru selesai mandi sore. Tidak ingin mendengar dia berubah menjadi pendakwah, aku segera berpakaian dan turun menuju meja makan.

Elvan yang gagah dan tampan, terlihat lucu saat memakai celemek mama bermotif shabi chic.

"Ayo makan."

"Kak, besok mau konsul lagi? Aku ikut ya ke kampus, boleh gak? Bosen di rumah terus."

"Besok gue revisi. Ngerjain di rumah, paling Jeno sama Irfan ke sini buat bantuin?"

"Kak Jeno?" tanyaku riang. Elvan mendelik.

"Dek, lo itu masih bocah sementara Jeno udah dewasa banget, awas lo kalau suka beneran."

"Kenapa kalau beneran?"

"Ya lo sekarang masih bocil, gede nanti dia udah tua banget lah."

"Tapi kak Jeno ganteng ih, aku suka."

"Di sekolah smp nanti, kamu pasti akan bertemu dengan laki-laki yang ganteng dan muda. Jadiin dia pacar."

"Oh, jadi aku boleh nih pacaran pas smp? Yakiiin?"

"Eh, ralat. Gak ada ya pacaran pacaran. Pokoknya kamu hanya boleh pacaran kalau kuliah nanti, ngerti?"

"Iya, iya."

"Makan yang banyak biar tinggi."

"Tinggi enggak, gendut iya."

Elvan tertawa kecil.

Meski masih sd dan terbilang lahir di kekuarga kaya, tapi tidak membuat aku menjadi seorang tuan putri yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Mama bilang, seorang wanita harus bisa mengerjakan pekerjan rumah. Terlepas nanti punya pembantu atau tidak, seorang istri harus bisa melayani suami dan anak. Seperti mama, meski kerja dan ada pembantu, urusan masak dan mengurus keluarga tetap sama mama.

"Papa dan kakak lebih suka masakan mama ketimbang masakan chef international sekalipun. Kamu juga harus gitu nanti," ucap mama kala itu.

"Hati-hati pecah," ucap elvan memperingatkan aku saat sedang mencuci piring.

Setelah selesai merapikan bekas makan, aku mengambil puding dan buah untuk aku bawa ke depan tv. Aku dan Elvan akan nonton sambil ngemil. Kadang kami akan bercerita tentang hal yang sebenarmya tidak penting. Tapi itulah yang membuat kami akur.

Bel berbunyi.

"Buka gih."

"Gak mau ah, kakak aja sana."

"Yakin? Itu jeno loh yang datang."

Tanpa mebuang-buang waktu, aku langsung berlari untuk membuka pintu.Dan benar saja, Jeno dan Irfan yang datang.

"Halo, unyil." Irfan melambaikan tangan dengan senyuman yang manis. Sementara Jeno melewatiku sambil mengacak-acak rambutku.

"Santai banget yang mau revisi."

"Gue baru aja makan, sengaja nunggu kalian datang."

"Eh, bro. Masih ada makanan gak? Gue laper nih," ucap Irfan.

"Gak ada, tapi lo bisa minta tolong si unyil buat bikin makanan simpel."

"Si unyil emang bisa masak?" tanya Irfan tidak percaya.

"Kakak mau dibikinin apa?" tanyaku sambil menghampiri Irfan. Aku sengaja bertanya karena ingin unjuk kemampuan di depan Jeno.

"Apa aja, Nyil."

"Oke, tunggu ya."

"Dek, gue ke kamar ya mau revisi."

"Iya, Kak."

Mereka semua naik menuju kamar Elvan, sementara aku ke dapur untuk membuat makanan.

Saat itu aku berpikir untuk membuat spaghetti yang gampang. Saat sedang menyiapkan semuanya tiba-tiba Jeno datang menghampiriku. Saat itulah tanganku teriris pisau.

"Aduuuh."

Jeno mengambil tanganku, dan membawaku menuju wastafel.

"Hati-hati makanya."

"Kakak sih ke sini, aku kan jadi grogi."

Jeno tertawa.

"Lukanya kecil kok, gak usah dibalut nanti malah susah kering."

"Kakak pergi aja sana, aku gak konsen kalau diliatin."

Jeno mengacak rambutku sambil tertawa sebelum dia pergi. Aku pikir dia sengaja menghampiri, ternyata dia datang untuk mengambil minum.

"Ini, Kak."

Aku membawa dua piring spaghetti ke kamar Elvan. Mereka terlihat serius membantu Elvan revisi.

"Taro di meja dulu, Dek. Kita lagi ngerjain ini dulu," ucap Elvan tanpa menoleh sedikitpun. Kesal memamg, aku yang sudah bersungguh-sungguh masak malah diabaikan.

"Keliatannya enak, sih. Semoga sesuai ekspektasi." Jeno menghampiri, lalu memakan spaghetti buatanku.

"Woiii, ini dulu kerjain. Bantuin gue biari bisa sidang, ah elah."

"Otak gue buntu kalau perut lagi laper."

"Kan di rumah tadi lo udah makan, yang laper itu gue, Brooo," ucap Irfan.

"Laper lagi gue. Makanannya terbang kebawa angin." Jeno tersenyum padaku sambil makan dengan lahap.

"Aku tidur duluan ya, Kak."

"Lo mau tidur sendiri? Yakin?"

Sebenarnya gak yakin sih kalau harus tidur sendiri. Mama dan papa yang kamarnya berhadapan dengan kamarku tidak ada, aku takut. Biasanya jika orang tua kami pergi, Elvan akan menemani sampai aku terlelap.

"Tidur di sini aja, gue gak mungkin ke kamar lo 'kan lagi ngerjain revisian."

Saat itu aku merasa senang karena itu artinya akan bisa melihat Jeno lebih lama. Bayangan melihat Jeno lebih lama hilang sudah karena ku tipe orang yang kalau sudah nempel di kasur, maka mata akan otomatis terpejam.

Saat bangun di pagi hari, aku sudah berada di kamar sendiri. Rutinitas seperti biasa, mandi, merapikan tempat tidur, lalu turun untuk sarapan.

"Pagi, Unyiiil. Kesiangan ya?" tanya irfan. Aku melotot pada Elvan karena dia tidak membangunkanku.

Jeno melirik sambil tersenyum.

"Kakak kenapa gak bangunin aku sih? Nanti kak Jeno nyangkain aku suka bangun siang."

"Lah, emang iya kan?"

"Kakak, ihhhh."

"Tadi kakak udah bangunin kamu, tapi kamu gak mau bangun," ucap Jeno.

"Hah? Kakak yang bangunin aku? Tadi aku bobonya pose cantik apa jelek?"

Irfan dan Elvan tertawa.

"Ih, kalian kenapa sih?"

"Abaikan saja mereka, ayo kamu sarapan. Kita akan ke kampus soalnya sidang Elvan dimajuin jadi dia harus segera konsul revisian semalam."

"Oh, oke. Nanti aku bonceng sama kak Jeno ya."

"Kita bawa mobil, bawel!" ucap Elvan.

"Yaaaah, aku kan mau naik motor lagi sama kak jeno kayak waktu itu."

"Panas, bocah. Lo bisa gosong nanti."

Aku kecewa.

"Dek, itu noda apa di celana lo?" tanya Elvan saat aku mencuci piring. Jeno yang kebetulan ada di sana pun ikut melihat.

"Noda? Noda apa?" Aku memutar kepala untuk melihat ke belakang. Ada noda merah di pantatku.

"Gak tau, ini apa ya?"

"Lo haid?"

"Haid? Gak pernah."

Jeno dan Elvan saling melirik.

Aku menangis histeris karena takut. Elvan dan Jeno pun terlihat kebingungan.

"Mbok, ini kenapa?" tanya Elvan saat mbok datang ke kamar.

"Mungkin non Rara haid pertam, Den. Gak apa-apa kok, wajar."

"Aku masih kecil, mbok. Kenapa celana dalamku penuh darah," ucapku disela-sela tangisan.

"Ssssst, Non. Malu ada den elvan dan temannya."

"Kakak ...."

Elvan mendekatiku, mengusap punnggungku dengan lembut.

"Udah gak apa-apa, itu artinya kamu udah mulai remaja, udah gede."

"Tapi aku takut, gak bisa masang pembalut juga."

"Nanti saya yang ajarin, Non."

"Tuh, kan ada mbok. Dia juga wanita, pasti tau."

"Perutnya sakit gak?" tanya Jeno. Aku menggelengkan kepala karena memang tidak merasakan apa-apa.

"Syukurlah kalau gak sakit. Biasanya ibuku selalu kesakitan saat datamg bulan."

"Ya udah, ayo ikut mbok buat pasang pembalut."

Aku dan mbok masuk ke kamar mandi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!