Luka

"Sore nanti mama dan papa harus keluar kota, kalian baik-baik ya di rumah. Jangan berantem terus."

"Siap, Ma." ucapku sambil mengunyah ayam geprek.

"Van, jaga adik kamu baik-baik. Kalau kamu sampai menindas dia, papa akan cabut semua fasilitas kamu. Ngerti?"

"Ngerti, Pah." Elvan sepertinya hanya bisa pasrah.

Sepertinya aku akan sendirian di rumah. Mama dan Papa pergi, sementara Elvan sibuk dengan skripsinya. Mbok pun akan pulang sebelum magrib manti. Mungkin itulah kenapa orang tuaku tidak memiliki rumah yang sangat besar meski mereka mampu. Mereka tidak ingin aku merasa takut jika harus sendirian di rumah.

[Bete gak di rumah?]

Elvan mengirim chat.

Ya, saat orang tuaku pergi keluar kota akan ada ponsel yang mereka tinggalkan untukku agar bisa bekomunikasi dengan Elvan.

[Iya.🥹]

[Jeno akan jemput ke rumah, lo siap-siap]

Hah, kak jeno mau jemput aku?

Aku segera menggeletakkan ponsel begitu saja, dan berlari ke kamar mandi. Dandan di depan cermin sebisanya san seadanya. Lagi pula apa yang bisa dipakai anak sd yang baru lulus sepertiku. Hanya ada lotion, lipbalm, dan parfum.

outfit yang aku pakai.

Berkali-kali aku memastikan jika apa yang aku pakai sudah pas, tidak ada hal yang memalukan nantinya.

Ada suara motor yang berhenti di depan pintu pagar, aku berlari ke balkon untuk memastikan siapa yang datang.

Kak Jeno!

Lariku sangat cepat saat menuruni anak tangga hingga akhirnya ... Brukkkk!

Lututku terasa sangat sakit saat jatuh, air mata mulai menetes. Namun, aku segera bangkit dan menghapus air mataku saat Jeno membunyikan klakson.

Setelah mengunci pintu, segera ku hampiri Jeno.

"Kenapa?" tanyanya saat aku baru saja mendekat.

"Gak apa-apa, kok. Memangnya aku kenapa?"

"Nangis?"

Aku segera mengusap sisa air mata yang ada di wajah.

"Kita mau ke mana?" tanyaku.

"Elvan dan yang lain menunggu di cafe."

"Kenapa kak Jeno yang jemput, bukan kakak?"

"Oh, jadi kamu gak mau aku jemput? Ya udah, aku balik lagi ya."

"Enggak! Aku mau sama kak Jeno aja."

Jeno tersenyum. Dia membantuku memakaikam helm, dan memegang tanganku saat naik ke atas motornya yang tinggi. Tangannya terasa lembut dan dingin.

"Pegangan ya, Nyil. Takut terbang kebawa angin."

Aku merasa kesal saat itu karena dipanggil unyil oleh Jeno.

Bau parfum Jeno tercium sangat jelas olehku yamg duduk di belakangnya. Sangat segar dan manis, namun terkesan cool.

Kami sampai di depan cafe yang dimaksud, lagi kak Jeno membantuku melepaskan helm. Aku seperti tidak bisa bergerak saat Jeno merapikan rambutku. Dia bahkan membungkuk dan wajahnya kini ada tepat di depan wajahku. Dia memastikan tidak ada debu di wajahku.

"Ayo." Jeno menarik tanganku, menggenggamnya erat. Mungkin orang lain melihat itu hal yang biasa karena kami terlihat seperti adik kakak, tapi mereka tidak tahu apa yang aku pikirkan dan aku rasakan.

Saat melihat Elvan, aku merasa lututku kembali sakit. Aku menghampirinya sambil menahan tangisan.

"Loh, lo kenapa?" tanyanya cemas. Aku memeluk Elvan yang sedang duduk, lalu menangis.

"Eh, kenapa? Ada apa, huh?" tanyanya khawatir.

"Lo apain adik gue, Je?"

"Gak tau, tadi dia keluar rumah pun udah mewek."

"Dek, lo kenapa?" tanyanya sambil mendorong lembut tubuhku agar kami bisa saling menatap.

"Lututku sakit," jawabku sambil terbata-bata. Elvan melihat lututku.

"Lutut lo kenapa itu?" tanyanya panik. Aku melihat warana lututku merah kebiruan. Lebam.

"Jatuh dari tangga," jawabku, lalu melanjutkan tangisan.

"Ck, ngapain sih sampai jatuh kaya gini. Ada lagi gak yang sakit?" tanyanya sambil memeriksa bagian tubuhku yang lain.

Aku menggelengkan kepala.

"Aku buru-buru lari solanya pengen cepet ketemu kak Jeno, pas di tangga malah jatuh. Sakit banget, mau nangis tapi malu."

Irfan dan Feri tertawa.

"Kalau malu, kenapa sekarang malah nangis? Dasar gak jelas!"

"Tadi di jalan gak berasa sakit, tapi pas liat kakak, langsung sakit lagi," ucapku masih dalam keadaan menangis.

"Tadi di jalan terobati sama jeno, sih, ya." Irfan menggoda.

"Yaaa kan kalau lagi sama ayang sih semua rasa sskit hilang seketika." Feri ikut menggodaku.

"Berisik lo pada."

"Sini." Tiba-tiba Jeno datang dan berjongkok di belakangku, aku segera berbalik. Dia membawa salep dan mulai mengoleskanny pada lututku yang sakit.

"Cieeee, kalau ayang yang ngobatin pasti cepet sembuh nih."

"Lo bisa diem gak, Fer, ah!" Elvan yang masih khawatir sama keadaan adiknya, terlihat kesal saat Feri menggoda adiknya.

"Udah, nanti di rumah kompres aja pake air dingim biar bengkaknya ilang," ucap Jeno.

"Mau pulang aja? Kita pesan makanan, makan di rumah aja."

Aku menggelengkan kepala pada Elvan.

"Ya udah, mau pesen apa?" tanyanya sambil mengusap air mataku. Aku duduk di pangkuan Faraz kala itu.

"Ini." Aku memesan spaghetti dan es krim. Elvan memanggil pelayan untuk memesan pesananku.

"Kalian bisa seakur ini ya ternyata. Gue kira saban dekit gak ada damainya sama sekali."

"Gak gitu juga kali, Fan. Justru adik kakak yang selalu berantem itu memiliki ikatan yang sangat kuat." Feri menjabarkan teorinya.

"Tau dari mana, lo?"

"Dari mereka," jawabnya sambil menunjuk ke arahku dan Elvan.

Dilain sisi, aku merasa salah tingkah. Satu sisi merasa bahagia karena selalu dilirik Jeno, sisi lain merasa malu karena tadi menangis seperti anak kecil, yaaa meski aku masih kecil tapi di depan crush aku harus terlihat cantik bukan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!