Akhirnya setelah mendapat celah itu, malamnya setelah pulang kerja Rambo segera tancap gas ke perkampungan kemarin, tepatnya di warung kopi Marwah.
"Aku bakal cari jalan keluar, jika memang kita pantas bersama." Dia bicara sendiri sepanjang jalan, suaranya tak lebih dari sekadar bisikan, seakan ia tak sabar agar Marwah kembali kerja dengannya seperti dulu.
Pikiran itu membuatnya terpaku selama beberapa detik sebelum sampai di depan warung kopi sederhana bahkan hanya di buat dari tampalan papan-papan bekas. Inikah rasanya saat bisa bertemu kamu lagi, Marwah? Apakah aku bisa bertahan dari hasrat menggebu-gebu ini? walaupun aku sendiri sudah menikah, tapi ketahuilah hanya kamu yang ku cinta. Rambo terus bergumam.
Hasrat yang dipikirkannya itu semakin memuncak kala ia melihat Marwah melangkah ke sudut-sudut luar warung kopinya. Cangkir-cangkir dan mangkuk-mangkuk plastik disatukannya dalam tumpukan tak beratur di atas meja, semua terlihat kacau dan berantakan.
"Biar ku bantu... " Rambo datang, berlagak pahlawan sambil membantu kutip piring-piring yang berceceran di tanah.
"Om?" Tatapan Marwah terpaku, begitu jemarinya bertemu dengan tangan Rambo yang besar.
Rambo hanya tersenyum. Satu kata saja dari Marwah, dan ia kembali teringat pada kenangan-kenangan antara mereka dulu, Rambo seperti menemukan obat setelah perjuangan panjang.
"Apa yang terjadi?" Rambo menghampiri Marwah di dalam.
"Masalah kecil, aku harus tutup warung ini Om."
Rambo mengernyit, meski di dalam hatinya rasa senang tak kepalang, agaknya jalan untuk dekat dengan Marwah bakal diberikan kemulusan.
"Kenapa? kalau masalah kecil tidak mungkin sampai tutup warung kan?"
"Iya, benar. Cuma sudah kehabisan modal, suami barusan ambil uang penghasilan di sini, mau putar otak pun, percuma sudah tak ada yang mau nongkrong di sini, takut keciduk lagi seperti kemarin." Jawab Marwah.
"Mereka buron judi, sepertinya warung kopi kamu memang sudah sering jadi tempat main mereka, kamu sendiri sadar kan?" Seru Rambo, ia kemudian mengambil sisa kopi susu bungkusan yang masih menggantung depan meja.
"Kampung ini kecil, Om. Aku tidak bisa menolak pelanggan, karena cuma dari mereka aku punya penghasilan. Memang, awalnya agak terganggu. Tapi, lama-lama aku tak masalah lagi, toh aku cuma jual kopi dan buat pesanan mereka, selebihnya mau mereka bagaimana aku tidak masalah, Om."
Lagi-lagi nada suara Marwah, membuat Rambo terenyuh. Penyesalan terus memutar dalam dadanya sampai kencang. Semua orang tahu yang dia pikirkan, andai waktu bisa diulang, mungkin Rambo tak akan melepas Marwah saat itu. Andai dia lebih awal menyadari perasaannya, sebelum Marwah pergi. Mungkin mereka sudah bahagia sekarang.
"Lalu kenapa kamu biarkan suamimu ambil uang begitu saja?" Tanyanya kembali.
"Semua ini memang miliknya, dia yang buatkan warung ini untukku. Entahlah, dia sedang kalut sekarang. Kalau lagi ada masalah, memang suka begitu."
"Termasuk luka di pelipis itu?" Sela Rambo sambil melirik ke arah mata kanan Marwah. "Jangan bohong denganku, aku tahu kamu sudah coba selamatkan uang itu, tapi suami kamu marah dan main pukul lagi, kan?"
Marwah diam, memang yang sekarang di sampingnya adalah Rambo yang ia kenal seperti dulu, Om gondrong yang cerdas dan teliti meski kini ia telah kehilangan sisi jenakanya.
"Katakan di mana dia? kamu lupa aku ini siapa? aku bakal tangkap dia malam ini juga untuk keselamatan kamu!" Rambo berteriak, mungkin sudah kelewat geram.
"Jangan Om! dia bukan orang jahat! suami ku sedang ada masalah, makanya begini. Kalau tidak, dia baik kok."
"Pikirkan ke depan, kamu tidak tahu kapan masalahnya akan datang dan kamu pun tidak bisa menolak balak. Jika nanti dia ada masalah lagi, kamu yang jadi pelampiasan kan?"
"Tetap, jangan Om. Lagi pula dia sudah pergi, entah kapan bakal pulang, bisa sebulan, dua bulan. Jadi aku bakal baik-baik saja. Aku mohon..." Ucap Marwah, sorot matanya yang memohon pada Rambo sudah seperti sihir yang kuat, pertama kalinya mata itu menatapnya penuh harap. Rambo mengalah sementara....
"Bisa selama itu? apa yang dia lakukan?"
"----" hening beberapa saat, hingga Marwah akhirnya kembali buka mulut. "Entahlah, dia tak ada pekerjaan tetap, cuma pergi-pergi keluar rumah tidak keruan, kalau ada masalah, dia bakal lari ke mana-mana sampai berbulan-bulan. Baru kembali lagi."
Mendengar jawaban Marwah itu, tak pelak mengundang kecurigaan pada diri Rambo. Masalah macam apa yang dihadapi suaminya sampai harus pergi selama itu? tidak punya pekerjaan tetap tapi bisa buatkan warung kopi? (walau warung kopi kecil)
"Kalau dia datang lagi, pukul kamu bahkan seujung jari, lapor!!! biar aku yang pukul dia!" Rambo mengepal kuat tangannya, hasrat yang menyala-nyala ingin menghancurkan wajah suami Marwah saat itu juga.
Marwah menatapnya dangan mata berkaca-kaca, lalu berkata singkat; "Terima kasih... "
"Maaf, kalau kamu bangkrut karena aksi ku dan anggota semalam." Ucap Rambo menggantung kata-katanya. "Karena itu, biarkan ku tebus semua dan ganti sumber penghasilan kamu." Timpal Rambo kembali.
Sementara Marwah terdiam.
"Maksudnya?"
"Maaf, kebetulan aku butuh asisten rumah tangga di rumah. Kalau kamu mau, aku bakal senang hati, karena tahu bagaimana kinerja kamu."
Suasana hening, perasaan Rambo tiba-tiba kacau, dadanya berdebar keras melihat suasana saat ini. Tiba-tiba mereka saling diam. Mungkinkah aku salah memilih kata, dan buat Marwah tersinggung? Rambo bergumam.
"Istri Om? begini, kita sudah sama-sama menikah. Sedangkan kemarin----- (maksud Marwah waktu Rambo menyatakan perasaannya) Aku tidak mau ada masalah di antara kita, terutama kalau aku berada dalam jarak yang dekat dengan Om. Kisah kita sudah berakhir, saatnya kita kembali ke masa yang sekarang. Mencintai pasangan masing-masing, dan setia pada mereka."
Hancur Rambo mendengar jawaban Marwah itu, kata-kata Marwah barusan masih menggema dalam rumah siput teliganya. Seakan menghancurkan bayangan dalam rencana liarnya. Benarkah Marwah telah melupakan dirinya secara utuh?
"Aku memang butuh pekerjaan sekarang, apalagi suami sekarang pergi lagi entah kemana. Tapi, kalau kerja dengan Om lagi, sepertinya tidak. Aku tidak mau kita terjerat bayangan masa lalu." Ucap Marwah lagi.
"Tenang saja, istriku sendiri yang minta carikan. Lagi pula kamu benar, kita sama-sama sudah menikah. Sudah sepantasnya saling jaga perasaan, tapi aku cuma minta bantuan kamu, kita murni berhubungan sebagai sahabat lama dan kerja. Soal perasaanku sendiri, biar aku yang urus. Kemarin itu aku hanya melampiaskan apa yang sudah ku tahan selama bertahun-tahun, Ha ha aku tak mau berhutang pada masa lalu, karena tak diungkapkan." Jawab Rambo dengan intonasi suara yang bila siapa saja mendengarnya pasti paham dengan yang tengah ia rasakan. "Aku kerja dari pagi sampai malam, jangan khawatir walaupun berada dalam satu atap, kita tidak akan bertemu intens. Seperti di warung kopi ini, kamu cukup kerja, setelah itu jangan pedulikan apa pun."
"Aku mungkin akan coba cari kerja lain. Tapi jika ku terima tawaran kerja ini, aku ada permintaan sedikit padamu, tolong anggap kita baru kenal saja di depan istrimu Om. Aku tak mau beliau salah paham jika tahu kita sudah kenal lama. Entahlah pikiranku sekarang bercabang-cabang, semuanya kini membuatku takut." Jawab Marwah kembali.
"Aku mengerti, aku sepakat."
Mereka saling berjabat tangan.
Boleh jadi mulut Rambo bersilat, berkata segala sesuatu yang menyakiti hatinya sendiri. Tapi benarkah ia bakal menyerah dan berpegang teguh pada kata-katanya barusan? Hanya Rambo lah yang tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
baiklah. hanya bekerja dulu. karena marwah memang butuh
2024-01-11
0
Ersa
hadir baca
2023-09-23
0
copai
becareful Arwah Rambo
2023-09-11
1