Sekitar hari Minggu, tepatnya setelah satu pekan Rambo menawarkan pekerjaan itu masih belum ada kabar dari Marwah. Gelisah, jelas Rambo merasakan itu sekarang, selama satu minggu itu juga ia tak pernah lagi mendatangi Marwah secara langsung, cuma mantau-mantau keadaan saja meski dari jauh.
"Mas," Erin muncul di belakangnya dan bertanya, "Kamu setuju kan dengan permintaan aku waktu itu? sekarang bagaimana, sudah dapat asistennya?"
"Setuju," jawab Rambo dan memaksakan diri tersenyum, "Maaf, kalau agak lama tapi aku sudah cari kok."
"Maksudku begini Mas, kalau kamu ada pekerjaan atau benar-benar sibuk ngomong saja tidak sanggup, biar aku saja yang cari kalau begitu. Dari pada makan waktu, kasihan juga kamu kalau harus cuci piring dan nyapu terus tiap pagi."
"Jangan!!" Rambo berteriak agak kencang, sampai Erin pun mengernyitkan kening keheranan. "Emm, jangan, karena kemarin aku sudah tawari beberapa orang tinggal tunggu jawaban saja, nanti aku coba tanyakan kepastiannya. Jadi jangan cari dulu lagi, tidak enak kalau rupanya ada salah satu yang setuju." Lanjutnya.
Erin memutar tubuhnya perlahan sampai memandang sejenak pada suaminya. Rambut gondrong yang khas itu teracak-acak oleh angin sore yang dingin dan kuat. Ia mulai merasakan pusaran teror mencengkeram dadanya saat melihat pesona Rambo saat itu.
Baru ia sadari bahwa suaminya bukan sekedar pria kekar berpangkat saja seperti yang dicamkan orang tuanya waktu itu, tapi Rambo memang memiliki pesona tersendiri dan sangat mumpuni untuk dibanggakan jadi suami.
Kemarin kita ribut besar, padahal dari dulu dia tak pernah semarah itu cuma karena aku tolak buat kopi. Sampai aku dibandingkan dengan orang lain, aku yakin di luar sana sudah banyak semut gatal yang ganggu dia. Keputusan ku sudah benar untuk cari Asisten Rumah Tangga, dengan begitu Rambo tidak akan marah besar lagi padaku. Kalau kami baik-baik saja, aku yakin tak akan ada lagi yang berani gigit dia di belakangku. Pikir Erin sambil melamun.
Tapi, ah. Apa yang dipikirkan Erin! Ia tak perlu merasa cemas atau takut suaminya itu akan berpaling dan cari wanita lain, cuma karena ia tak mampu melayani Rambo dengan baik. Toh, dia adalah perempuan yang cantik, badan tinggi putih dan molek, karir bagus. Perempuan mana yang sanggup menggeser posisinya di samping Rambo. Tentu Rambo adalah miliknya, dan sampai kapan pun Erin tak boleh kehilangan dia.
"Syukurlah kalau kamu sudah cari ART, aku sedikit tenang, aku fokus kamu juga fokus. Tidak perlu ribut masalah rumah-rumah lagi kan Mas?" Ucap Erin.
Rambo hanya tersenyum kemudian bangkit dari kursi.
"Kamu mau kemana?" Erin kembali bertanya sambil matanya melirik Rambo. "Aku pesan cappuccino," Kali ini dia mengalihkan pandangan kembali ke ponsel. Gayanya laksana seorang ratu sedang memberi perintah.
Rambo menatapnya dengan mata menyipit. Riuh padat dalam hatinya melihat kelakuan Erin yang makin-makin. Terlalu manja bahkan sedikit kurang ajar bila melihat caranya memerintah barusan.
Kemudian Rambo melangkah ke dalam jarak pandang Erin. Tinggi, dengan bahu yang cukup lebar untuk dilandasi pesawat terbang. Mata cokelatnya menyapu ke Erin dengan tajam sebelum akhirnya merampas ponsel yang sedang menempel di telinganya saat itu.
"Mas!!!!!" Teriak Erin sambil menyambar kembali ponselnya, meski gagal. "Apa yang kamu lakukan sih? aku lagi telepon atasan untuk siaran besok! kalau main-main jangan kelewatan!"
Rambo diam sambil terus menatap langsung ke mata Erin. Seketika mata bersoflen biru seperti mata kucing itu melebar, terkejut karena raut wajah Rambo membuatnya sedikit tertekan. "Apa?"
"Kamu yang kelewatan! Aku sudah terlalu banyak memaklumi kamu Erin, semua permintaan dan keinginan kamu sudah ku turut kan. Kalau aku tanya padamu, apalagi kurangnya aku sebagai suami?"
Aneh dan mengejutkan, Erin berdebar hebat sambil mundur seakan-akan tindakan Rambo itu benar-benar membuatnya takut.
"Apa sih Mas? belakangan ini suka marah-marah tidak jelas!"
"Aku ini suami kamu bukan pembantu, minta tolonglah dengan cara yang benar." Jawab Rambo dengan nada meninggi.
"Kamu marah padaku cuma karena aku minta buatkan Cappuccino? Kamu bicara, sampai bentak aku begini? aku tidak tahu Mas kalau ternyata kamu orangnya kasar! dari dulu aku tidak pernah dibentak siapa pun, dari aku kecil sampai sebesar ini Papa Mama tidak pernah marah atau bicara dengan nada tinggi begitu padaku."
Sisi Manja Erin kini ditampakkan, air mulai memenuhi pelupuk matanya dan dia mulai menangis.
Tapi sebelum Erin sempat mengerang, penglihatan lain membanjiri matanya, di mana Rambo hanya berdiri menatapnya dingin. Emosinya semakin terguncang.
"Berhenti menangis, kamu terlalu manja untuk jadi istri."
Erin terkejut mendengar ucapan Rambo barusan. Ia melihat Rambo lagi. Rambut pria itu kembali tertiup angin.
"Kenapa memangnya? kamu menyesal menikahi aku karena aku terlalu manja?"
"Bukan cuma manja, kamu juga kurang ajar dan pembangkang, tidak ada sedikitpun etika untuk menghormati orang lain. Kamu terlalu lemah dan tunduk hanya pada orang tuamu." Jawab Rambo tegas.
"Mas!!!"
"Kenapa tidak nyaman aku ungkapkan semua fakta itu? kamu memang cuma nurut dengan orang tuamu, kamu mau menikah denganku juga kan karena disuruh orang tua."
"Mas!!!! cukup!!! Kamu pikir menikah itu main-main sampai aku mau nyebur, membangun biduk rumah tangga dengan kamu cuma karena disuruh!" Kini Erin membalas dengan tegas.
"Sudahlah Erin, aku tahu semua. Dari awal kita hanya diatur, tak ada perasaan apa pun di antara kita. Bahkan sampai sekarang. Ya kan?"
"Cukup Mas. Jangan dilanjutkan lagi, ini cuma masalah kecil Okey? tak usah dibawa ke sana kemari, aku pusing. Pekerjaan di kantor sudah banyak, terus di rumah hampir tiap hari ribut terus dengan kamu." Jawab Erin sambil menghempas tangannya. "Aku bisa pesan cappuccino sendiri!"
Rambo mendengus setelah Erin memutuskan pergi berlalu. Kalut sekali makin aneh-aneh, emosi berputar dalam dadanya terus-menerus sampai memenuhi batas mulut tenggorokan. Benar, yang dikatakan Erin. Aku terlalu kesal dan gelisah sampai emosiku tidak stabil dan terpancing kemarahan. Mungkinkah aku begini karena resah menunggu kabar dari Marwah? Sial! Gumam Rambo penuh frustasi.
Tapi, tak sampai situ. Hanya butuh 5 menit saja dari pertengkaran dramatis antara Rambo dan Erin barusan. Sebuah notifikasi pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal ke ponsel Rambo.
Selamat Malam.
Ini aku Marwah, mengenai tawaran kerja kemarin apakah masih bisa ku terima?
Senangnya Rambo tak terkira, bibir yang tadinya tegang terkatup rapat, kini akhirnya menyungging tinggi hampir memenuhi pipinya. Meski pesan itu terlihat kaku, nampaknya Marwah memang yakin pada kata-katanya waktu itu. Dia berpikir bahwa pesan yang dikirim itu mungkin akan dibaca juga oleh Erin, istri Rambo.
Malam, masih bisa. Kamu bisa datang ke sini besok pagi, aku bakal kirim alamat rumahnya.
Balasnya cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Dee
Erin terlalu berbangga diri 😏
2024-05-03
1
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
Erin memang nyebelin ya
2024-01-11
0
Ersa
si ratu deramah
2023-09-23
2