Bab 1
Yoga terbangun pukul delapan pagi karena ponselnya terus saja berbunyi. Telepon masuk dari Tia sahabatnya. Belum sempat ia mengangkat sambungan telepon itu, deringnya seketika berhenti. Dia melihat layar ponselnya, baru mengetahui bahwa panggilan itu sudah lima kali. Di tengah rasa kantuknya, dia berusaha mengingat mengapa Tia menelepon dirinya berkali-kali sepagi ini.
Yoga bangkit dari tidurnya dan beranjak perlahan meninggalkan tempat tidur itu. Tidurnya tak enak semalam. Asmanya terus kumat. Yoga langsung menyambar inhaler yang sudah nyaris habis dari meja belajarnya. Dia bergidik, barusan bermimpi buruk tentang kejadian delapan tahun yang lalu.
Yoga duduk di tempat tidur lagi, berusaha menenangkan diri. Ia menghela napasnya panjang. Tangannya meraba lehernya. Luka di lehernya sebelah kanan masih membekas. Sebuah luka yang di dapatkannya dari si nenek bongkok ketika asmanya datang. Kenangan malam itu masih akan bertahan di dalam ingatan.
Yoga bangkit lagi dan mendekatkan dirinya ke cermin. Ia memandang refleksi luka lehernya. Saat asyik memandang di pantulan cermin, deringan ponselnya terdengar dan menyadarkan dirinya dari kantuk yang kembali datang. Yoga mengambil ponsel itu dan membaca satu pesan masuk ke dalam ponselnya.
Tertera satu pesan dari Tia.
"Yoga, lo di mana? Cepetan dateng ke sini, cumi!"
Sesaat dirinya langsung teringat dengan janjinya.
Yoga selesai mandi dan langsung bersiap. Semenit untuk mencari bajunya, semenit untuk memakai baju favoritnya, lalu menyemprotkan body cologne ke seluruh tubuhnya. Dan lima menit kemudian ia keluar dari kamarnya. Ia turun dari tangga sambil berlarian kecil menuju ke ruangan makan.
Mbak Ning, seorang asisten rumah tangganya, kaget melihat anak majikannya sudah bangun sepagi ini.
"Tumben, Mas? Mau ke mana?" tanya Mbak Ning.
"Mau nonton, Mbak," jawab Yoga, "Papa udah berangkat?"
"Barusan aja, Mas. Sarapan dulu, Mas?" Mbak Ning mempersilakan anak majikannya untuk duduk di meja makan.
"Iya, Pop Mie dong, Mbak!"
Mbak Ning buru-buru menyeduh Pop Mie untuk Yoga.
Yoga mengambil jus jeruk dari kulkas, Mbak Ning menaruh Pop Mie yang sudah diseduh ke meja makan.
"Makasih, Mbak!" kata Yoga sambil meminum jusnya.
Tiba-tiba saja sebuah tangan kecil lebih dulu mengambil pop mie dari meja itu. Yoga melotot kepada pemilik tangan itu, Rani. Adik perempuan satu-satunya yang berumur sepuluh tahun.
"EH, itu punya gue, Ran!"
"Bodo amat!" Rani cuek menjawab sambil terus memakan Pop Mie itu. Kuncir rambutnya bergoyang-goyang ketika ia melakukan gerakan menyuapkan sesuap mie ke dalam mulutnya.
"Eh, anak kecil! Lo tau gak siapa yang suka sama anak jahil macam lo?" Yoga bertanya dengan pandangan jahil. Sementara Rani tak terpengaruh dengan pertanyaan itu. Yoga tampak sebal. Dia asyik meniup mie yang ada ditangannya.
"Elo bakal diculik!" Yoga memerhatikan reaksi Rani, namun tak berubah. "Elo entar diculik sama setan nenek-nenek terus badan lo digerus, trus dijadiin sate sama dia, terus dipanggang!" ujar Yoga lagi dalam suara yang pelan. Yoga pun menunjukkan lehernya dengan ruam yang membekas delapan tahun silam. "Biar tahu rasa, lo! Kayak luka gue ini!"
Mata bulat Rani menatap Yoga dengan berani. "Yee... Emangnya gue anak kecil apa? Lukanya kan ara-gara abang ngigo pas diopname waktu kecil. Penakut kok mo nyoba nakutin orang," ujar Rani dengan nada melecehkan.
Yoga kesal karena taktiknya tak berhasil. Dia mengambil Pop Mie dari tangan Rani, Rani berusaha menjangkau Pop Mie itu, namun tak berhasil karena tubuh Yoga terlalu tinggi untuk dirinya.
"Dasar anak kecil! Sok tahu uuu..., Gue pasang boneka pocong di depan kamar lo baru tahu rasa, lo...!" Kali ini Yoga sedikit mengancam.
Untungnya, Nadia, mama Yoga dan Rani datang. Ia langsung menepuk lengan Yoga dengan lembut, lalu menyerahkan pop mie itu ke Rani. Jika tidak seperti itu, bisa jadi perang dunia ketiga antara mereka.
"Sini, mama bikinin lagi Pop Mienya daripada rebutan melulu," ujar Nadia yang berparas Jawa mengambil sebungkus pop mie baru.
Yoga yang melihat itu lantaran memandang mamanya dengan memelas., "Ma, minta uang bensin dong!"
Nadia melengos sebal, tak menggubris permintaan Yoga.
"Jangan mau, Ma! Kemarin abang baru dapat uang dari Papa!" sahut Rani buru-buru menelan mienya.
Yoga menatap ke arah Rani dengan pandangan yang tajam dengan harapan adiknya itu diam tak menginterupsi sang mama.
Rani yang melihat itu hanya memalingkan wajahnya.
Nadia langsung mengambil roti dan menyerahkannya ke Yoga, "Kamu gak kuliah?"
Yoga mengambil roti itu sambil menggelengkan kepalanya. "Gak ada dosen, Ma!" Yoga yang sekarang berumur sembilan belas tahun ini baru saja masuk kuliah jurusan Desain Grafis.
"Bohong dia, Ma!" Rani menimpali ucapan Yoga.
Yoga kali ini benar-benar melotot ke arah adiknya itu yang bisa merusak rencananya. Rani menahan tawanya dan mengalihkan pandangannya ke kaus Yoga dengan gambar superhero.
Rani yang menunjuk kaus yang digunakan Yoga, "Iya deh, yang jagoan..."
Yoga pun menghentikan tatapannya kepada adiknya, lalu tersenyum jumawa.
"Tapi bohong! Ha ha ha ha...," Rani menambahkan dengan kalimat sarkas. Nadia dan Rani tertawa, sedangkan senyum jumawa di bibir Yoga seketika menghilang, berganti dengan bibir yang di monyongkan ke depan, tanda ia cemberut.
Sepuluh menit kemudian Yoga memanaskan mobilnya. "Yoga...," Nadia memanggil namanya putranya. Yoga yang mendengar itu pun langsung masuk kembali ke dalam rumahnya.
Sementara itu, dari radio mobilnya yang masih menyala terdengar dua perempuan bercakap-cakap seru.
"Jadi ya, pas gue sama geng gue nonton film Jelangkung di bioskop kemarin, ada sebaris kosong gitu bangkunya. Di barisan B yang enak banget buat kita nonton. Awalnya sih, gue sebel banget pas kita udah capek antri, eh ada yang gak dateng...," ujar cewek yang bersuara cempreng yang tiba-tiba menghentikan perkataannya.
Suara perempuan yang lainnya, yaitu si penyiar radio, bertanya dengan penasaran, "Ada apa, Nit?"
Terdengar cewek penelepon itu menelan ludahnya dengan nada suaranya yang berubah menjadi ketakutan. "Katanya sih barisan B itu untuk tumbal..."
Si penyiar radio itu berteriak takut, "Serem bangetttt! Tapi thanks ya, Nit, udah nelepon kita na bikin gue takut buat nonton nih!"
Pas penyiar mengakhiri percakapannya itu, Yoga baru masuk ke mobilnya lagi. Ia buru-buru memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan rumahnya. Terdengar lagi suara merdu penyiar radio, " Oke Kaula Muda, mending kita dengerin lagu yang menyemangati kita hari ini, yah.., selamat mendengarkan."
Yoga menaikkan volume radionya. Intro lagu mulai terdengar, tapi segera tertutup oleh deru mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan puluh tiga puluh dan Yoga masih jauh dari lokasi janjian dirinya dengan sahabatnya di sebuah mall ternama di Jakarta Selatan. Kondisi jalanan juga macet parah. Sepertinya ia akan terlambat.
Keresahan mulai dirasakannya. Di tiap lampu merah, Yoga tidak mengindahkan para penjual yang turun ke badan jalan untuk menawarkan majalah atau tabloid yang membahas tentang film Tumbal Jelangkung. Yoga hanya mengibaskan tangannya tanda dia tak mau. Ia berkonsentrasi penuh untuk langsung tancap gas ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Setelah dua puluh lima menit ngebut dari rumahnya yang berada di Wijaya, akhirnya Yoga berhasil sampai di tujuan.
...****************...
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ayu nuraini maulina
nah loh.. siap2 datang g d jemput pulang g d antar🤭
2023-08-29
0
ayu nuraini maulina
jgn ngmng gitu yoga mulutmu harimaumu pas bener kejadian
2023-08-29
0
nath_e
masih penasaran
2023-07-28
1