Pov of Alessa~
Aku membuat janji temu dengan Joe. Seperti yang telah aku pertimbangkan, hari ini aku akan mengatakan pada Joe tentang lamarannya waktu itu.
“Rut, apa Joe ada di dalam?” tanyaku pada Rut, Sekretaris Joe.
“Ada.”
Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan ke arah pintu ruangan Joe, membuka pintu dan menemukan Joe yang sedang berkutat dengan berkas di hadapannya.
“Alessa?” Kata pertama yang terucap dari bibir Joe, dia tampak kaget dengan kedatanganku.
“Kau datang? Kupikir, kita akan bertemu makan siang nanti,” sambungnya memang benar.
“Ya. Aku ingin menemui sekarang, apa aku menganggu waktumu?” tanyaku.
“Sama sekali tidak. Duduklah,” pintanya.
Aku mendudukkan diri di sofa ruangannya, tak lama Joe menyusul dengan sebotol wine. Kemudian, menuangkan wine tersebut ke dalam gelas yang tersusun di atas meja.
“Thank you,” ucapku setelah menerima uluran gelas berisi wine.
“Anytime for you!” Aku tersenyum mendengar balasan lembutnya.
“Kau tampak lelah. Istrihatlah sejenak,” pintaku merasa kasihan padanya. Apalagi di meja kerjanya terdapat kertas-kertas berserakan. Kusimpulkan dia tengah me-rekap laporan keuangan perusahaan.
“Terima kasih mengkhawatirkan, Baby.” Aku terkekeh mendengar Joe memanggilku sayang.
“Selesaikan pekerjaanmu. Sebentar lagi jam istirahat,” ucapku, dia mengangguk.
“Wait me,” bisiknya, aku mengangguk mengiyakan.
Joe kembali duduk di bangku kebesarannya melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Dia tampak serius, aura ketampanannya meningkat tajam. Satu yang kusukai dari Joe, dia pria yang bertanggung jawab, tidak melupakan tugas yang diembannya.
Jam makan siang tiba, Joe mengajakku makan siang di restoran perusahaan. Restoran ini memang salah satu aset keluarga Helbert, dan uniknya adalah setiap karyawaan yang makan di sini mendapat harga khusus. Keluarga Helbert terkenal royal kepada karyawan, bagi mereka aset bisnis—karyawan—penting diberi berbagai reward, harga khusus ini contohnya.
Tak lama pesanan kami tiba, dua steak medium dan sebotol wine. Sejenak aku merasa ditatap diam-diam, ketika aku menolah ke arah dua orang tak jauh di sana, salah satu dari mereka berpura-pura memanggil waiter yang tengah melayani meja di sebelah kami. Namun, aku tidak bodoh, mereka sesekali ketahuan memperhatikanku. Kuharap jangan ada pertunjukkan dadakan di sini!
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Joe membuka suara.
“Tentang lamaranmu beberapa waktu lalu,” jawabku.
“Kau ingin aku menjawab sekarang, atau nanti setelah makanan ini selesai?” sambungku menggodanya.
“Selesai makan!” Joe berkata cepat membuatku terkekeh.
“Jangan tegang seperti itu, Joe.” Joe tertawa pelan, ketebak sekali dia gugup.
Makan siang ini selesai sepuluh menit kemudian. Wajah Joe benar-benar lucu, rasanya aku ingin tertawa.
“Aku menerima lamaranmu,” ucapku langsung tanpa menunggu Joe bertanya.
“Apa? Ulangi, please!” pintanya dengan tingkah menggemaskan,
“Aku menerima lamaranmu, Tuan Joe.”
Joe mengambil tanganku yang terletak di atas meja, lalu mencium buku jariku lembut. Aku tersenyum, geli dengan tingkah manis Joe.
“Tapi, aku tidak membawa cincinnya!” ucapnya polos.
“Asal jangan memberi cincin itu pada wanita lain,” balasku melempar gurauan.
“Aku akan memberinya nanti padamu.” Aku mengangguk mengiyakan.
Tak jauh dari kami, aku menyadari bahwa Allard di sana memperhatikan kami. Ada yang aneh, Allard menatapku penuh selidik.
...***...
“Berikan tanganmu!” tutur Katryn heboh seraya menarik tangan kiriku yang tengah memegang mangkuk kaca, hampir saja kaca tersebut lepas dari tanganku.
“Heboh sekali. Padahal aku sudah memberitahumu kemarin,” gerutuku malas.
“Kau menerima lamarannya?” Aku mengangguk, Katryna tampak kaget dan menegang dalam satu waktu.
“Hei, ada apa dengan wajahmu itu?” Katryna menggelang dan menjawab,
“Tidak, aku hanya kaget.” Tetapi, aku merasa ada yang aneh dari raut wajah Katryna, atau hanya perasaanku saja?
“Ayo, letakkan itu di meja makan,” ucap Katryn melirik mangkuk yang aku pegang.
“Oke.”
Kami berjalan menuju meja makan, Allard di sana bersama ketiga anak-anak mereka. Katryna kembali ke dapur mengambil sesuatu di dapur, tak lama dia kembali bersama dua pelayan dan menghidangkan makanan di atas meja. Aku tersenyum ketika meliaht tingkah menggemaskan anak kembar Katryna, terutama Allena.
Sejujurnya, aku tidak begitu menyukai anak kecil. Bukan berarti aku membenci, hanya saja aku selalu mengingat kembali pada anakku yang belum sempat hadir ke dunia ini. Dokter mengatakan kemungkinan dia berkelamin perempuan. Terkadang di satu waktu aku menangis ketika ingatan itu datang.
“Aunty Alessa,” panggil Allanzel, putra pertama Katryna dan Allard.
“Ya.”
“Tidak boleh melamun,” ucap Allena tajam. Gadis kecil ini menatapku kesal dan penuh permusuhan.
“Yes, princess.”
“I am not your princess!” pekiknya.
“Allena!” peringat Katryn tidak suka, Allena cemberut menatap sang daddy polos.
“Kau boleh berucap kasar, dengan catatan pada orang yang merendahkanmu. Bahkan, kau boleh memukul jika dia kelewatan batas,” ucap Allard. Ajaran macam apa itu?
“Allard. Jangan mengajari putriku yang tidak-tidak!” ketus Katryn. Aku menggeleng di tempat, heran dengan ajaran Allard.
“Minta maaf pada Aunty Alessa,” ucap Katryn tegas.
“Maaf, Aunty.”
“Tidak papa. Aku tahu kau kesal padaku,” ucapku tersenyum.
“Iya, aku kesal. Kau perhatian pada Allanzel dan Allan, tapi tidak denganku!” akunya.
Aku tertawa kecil, putri kecil Katryna ini sangat jujur sekali. Soal perkataan Allena tadi, Katryna pernah memberitahu padaku alasan Allena yang hobi menatapku tajam, tidak bukan karena lebih perhatian kepada dua saudaranya.
“Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku membelikanmu sebuah boneka?” tawarku tak tega dengan ekspresi Allena.
“Tidak. Bonekaku terlalu banyak,” ucapnya sombong, persis seperti ayahnya.
“Oke,” ucapku tidak ingin membujuknya.
“Begitu saja? Kau tidak membujukku?” rengeknya.
“Oke-oke. Aku akan membelikan, apa yang kau mau?” tanyaku cepat sebelum Allena mengadu pada Allard. Bahaya bila Allard marah, berakibat fatal pada pekerjaanku!
“Janjimu tidak boleh kau ingkari!” tegasnya.
Aku mendesah, di umur lima tahun Allena sudah bisa mengeluarkan sikap bossy-nya, lagi-lagi seperti ayahnya!
“Fine.” Allena mengangguk lucu, tetapi tegas.
“Nampaknya, kau tertarik dengan cincinku?” tanyaku pada Katryn yang sedari memperhatikan jari manisku.
“Tidak,” jawabnya dan kembali fokus pada makanannya.
Dari ujung mataku, Katryn memberi kode pada Allard. Mereka aneh sekali, batinku mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan keduanya.
“Apa ada sesuatu yang ingin kalian katakan?” tembakku pada keduanya.
“Katryna ingin kau menetap di sini,” ucap Allard datar.
“Oh, tidak. Kau tidak bisa meminta Allard untuk memaksaku tinggal di sini, Katryna. Itu tidak mungkin!” jawabku cepat menolak.
“Kau pasti menolak,” desah Katryna.
“Jelas aku menolak. Kau tahu bagaimana pekerjaanku,” balasku menatap Katryn.
“Ya sudah.”
“Katryna...” panggilku.
Dia menoleh padaku datar. Oh, sungguh... aku tidak menyukai sikap datarnya itu!
“Kita sudah pernah bahas ini, kan? Kuharap kau mengerti. Aku tidak bisa menatap bersamamu, akan ada kemungkinan besar orang-orang tahu aku bagian dari Klan Hellbert,” ucapku pelan tak ingin menyakiti hati Katryn.
“Aku mengerti, Alessa...” Aku tersenyum senang.
“Jadi, cukup membahas ini, okey?”
“Baik lah. Asal kau menjaga dirimu dengan baik,” ucapnya.
“Yes, Mother!” balasku menahan tawa melihat Katryn memutar bola matanya malas. Katryn itu paling kesal jika aku panggil dengan sebutan Mother.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
CatForD
wkwkwkkw namanya ajaran barbarly~
2023-08-02
0
Ayunda Fadillah
aaaww lucu
2023-07-12
1
Ayunda Fadillah
aa joe sweet
2023-07-12
1