Selesai memasak alya dengan segera menyajikan makanan yang telah ia masak sebelum kedua orang tuanya dan adik tirinya itu mulai mencaci maki dirinya.
"Eh mau ngapain kamu. Berdiri" Kevano berteriak tepat didepan alya.
"Alya mau makan pa.. Alya laper.." Alya bersujud dikaki ayahnya, memohon untuk diberi makan layaknya seorang anjing yang merengek kepada majikan nya untuk diberi secuil makanan.
Bruakk
Bukan nya memperbolehkan alya untuk makan bersama dengan keluarga nya tetapi alya justru mendapat siksaan baru dari sang ayah tercinta.
Tubuhnya ditendang hingga menabrak kaki meja, menyebabkan kuah sop yang dirinya masak tumpah tepat dipunggung nya.
"Arghh papa.. tubuh alya panas" Rintih alya putus asa merasakan punggung nya terbakar. Bayangkan saja kuah panas yang baru saja ia masak tumpah begitu saja dipunggungnya
"Cuih pastilah itu hanya alasan dasar anak ****** sialan kau" Kevano meludah kesembarang arah kemudian pergi meninggalkan alya yang tergeletak lemas begitu saja.
"Bunda.. Alya nyerah.. Alya capek bunda.. Papa disini jahat, ternyata setiap perkataan bunda itu hanyalah dongeng karena nyatanya papa sejahat itu sama alya" Tangis alya pecah begitu saja.
"Ya ampun apalagi ini dengan rumahku!! Alya apa - apaan kamu membuat rumah saya menjadi kacau begini. Dasar anak kurang ajar! Sialan kamu" Ardila berjalan mengambil rotan yang berada disudut ruangan yang biasa digunakan vano untuk memukuli tubuh ringkih alya.
"Sini kau anak kurang ajar!! Berani - berani nya kau merusak piring kesayangan anakku" Ardila melayangkan rotan itu diudara siap memukul kaki alya sekuat tenaga. Alya menggeleng tak berdaya, jangan kakinya. Ia menangis dalam diam memohon agar takdir mengasihani dirinya sekali ini saja.
Ctar
"Ampun ma.. Alya minta maaf"
Ctar
"Jangan pukul kaki alya mama"
Ctar
"Ma.. Alya mohon.. Jangan ma, alya minta maaf"
"Huh sekarang kau baru merasakan bukan? Rasanya kehilangan sebuah benda yang kita sayangi?" Ardila mencengkram dagu alya kuat sehingga alya mau tak mau mendongak menatap wajah sang bunda.
"Bangun kau sialan!! Pergi kau dari sini aku tak sudi menatap wajahmu itu" Bentak ardila tak ingin dibantah. Dengan susah payah dirinya bangkit dan berjalan dengan tertatih menuju lantai dua.
Alya yang tak sanggup berjalan, berpegangan pada pegangan yang ada dipinggiran tangga.
"Apa salah alya? Kenapa kalian sejahat ini? Kalian pengen alya tiada alya juga tapi kenapa tuhan pengen nya alya menderita disini"
...****...
"Alya bangun kamu! Ini sudah siang dan kau tak bangun. Anak macam apa kau pukul 7 masih tertidur" Vano mendekat kearah ranjang alya dan menarik kasar bantal yang alya tiduri. Mengambil segelas air yang ada diatas nakas lalu menyiram tepat diwajah alya yang masih terlelap dalam tidurnya. "Dasar anak tak tau waktu! Bangun kau atau saya pukul tubuh tak berguna kamu ini" Vano menarik kasar tangan alya, terhenyak sejenak merasakan badan alya panas, ralat bukan panas tapi sangatlah panas.
"Hei bangunlah! Bangun kubilang. Apakah telingamu itu tuli huh?" Ucap vano sarat akan rasa khawatir. Alya membuka mata secara perlahan merasakan tubuhnya menggigil karena kedinginan.
"Papa kenapa disini? Maafin alya pa, alya bangun telat. Tapi tubuh alya sakit semua, alya demam pa.. Papa khawatir kan tadi sama alya? Iya kan pa?" Tanya alya dengan wajah senang namun juga dengan ekspresi pedihnya.
"Siapa? Saya? Khawatir denganmu? Jangan harap alya. Saya bahkan tak sudi memikirkanmu, saya hanya khawatir jika kau mati dirumah ini dan saya serta keluarga saya lah yang disalahkan atas semua itu" Tatapan penuh harap alya pupus dengan tatapan penuh kehampaan dari matanya. Entah perasaan apa yang dirinya rasakan saat ini, tapi dadanya terasa seperti diremat dan ditikam dengan belati tak kasat mata.
"Cepat bangun dan buatkan kami makanan." Alya terdiam kemudian mengangguk lemah
"Pa? Alya minta uang ya pa? Buat beli salep" Vano berbalik memandang remeh kearah alya. "Bukankah kau seorang ****** cilik? Jual saja dirimu kepada seorang yang kaya lalu kuras saja kekayaan mereka dan jangan lupakan keluarga kecilmu ini. Berikan kami sedikit uang untuk balas budi karena telah merawatmu sejak kecil"
Alya terduduk lemas mendengar perkataan ayahnya yang terdengar begitu kejam dan sarat akan kebencial didalamnya.
Dengan tertatih dirinya berjalan keluar kamar dan menuruni tangga menuju lantai pertama dirumahnya yang serba mewah nan megah bak istana ini.
Bruk
"Woi lo itu minggir kek. Ganggu tau nggak" Dengan sengaja dan kasar vania mendorong tubuh kakaknya hingga tersungkur dilantai yang dingin. "Sini gue bantuin, takut - takut kaki lo yang cacat itu tambah cacat, ups" Vania mengulurkan tangannya yang kemudian diraih oleh alya namun baru saja ia ingin bangun tubuhnya harus merasakan kerasnya lantai yang ada dibawahnya ini. "Sorry tadi kelepas, yaudah deh gue duluan ya telat soalnya" Alya hanya tersenyum menanggapi omongan sang adik.
"Iya nggak papa kok lagian cuma jatuh gini" Ucap alya selepas adiknya pergi. Ia mulai berusaha bangun walaupun agak terlalu susah pada awalnya.
"ALYANA!! DIMANA KAMU!!" Teriakan menggelegar tersebut berasal dari arah dapur. "Iya bunda alya lagi jalan kesana"
...****...
"Dah ma, dah papa. Vania berangkat ya" Vania melambaikan tangannya kepada kedua orang tuanya yang masih berada dimeja makan.
"Hati - hati ya sayang" Ucap ardila setengah berteriak. "Kalo uang kamu kurang telpon papa ya nak" Teriak vano kala tak melihat tubuh anak bungsunya itu.
"Pa, ma, alya pamit juga ya.. Alya mau ke sekolah" Pamit alya disertai dengan senyuman manisnya.
"Heh mau kemana kamu? Hari ini tidak ada kata sekolah untuk kamu alya!! Bereskan rumah dan belanja kebutuhan kita karena saya dan suami saya ingin pergi keluar kota" Alya mengangguk. Setelah itu pergi membereskan sisa dari kegiatan sarapan pagi yang harmonis keluarga itu, hanya keluarga itu. Dan bukan bagi alya
...****...
Prang
"Ya ampun alya. Kamu ini memang anak pembawa sial, lihatlah piring saya pecah untuk kesekian kalinya" Omel ardila yang melihat piringnya meluncur dengan mulusnya dan mendarat dilantai.
"Apa ma?" Kevano berlari menuruni tangga untuk melihat keributan yang sedang terjadi didapur rumahnya.
"Ini pa, piring kesayangan mama lagi - lagi dibuat pecah sama dia" Adu ardila pada sang suami tercintanya. Dapat alya lihat sorot mata yang tadinya hanya terdapat ketenangan kini berubah menjadi amarah yang siap meledak kapan saja.
"Sini kamu ikut saya" Vano berjalan menghampiri alya yang hanya terdiam membeku ditempatnya berdiri. Lagi dan lagi apakah ia harus merasakan sebuah luka yang diciptakan oleh keluarga yang dicintainya itu, sebuah luka yang tak dapat disembuhkan hanya karena sebuah salep ataupun obat lainnya.
Plak
"Bisakah kau tak membuat masalah sehari saja hm?" Tanya vano dengan penuh kebencian dan amarah. Alya mengangguk.
"Tatap mata saya alya. Siapa yang menyuruhmu untuk menunduk hah" Vano memegang leher alya hingga kakinya terangkat sedikit dari tanah. Kedua tangannya ia gunakan untuk memukul tangan vano yang masih digunakan untuk mencekik lehernya. "Am-puun pa" Ucap alya terbata. Ketika dirinya hampir kehilangan seluruh nafasnya vano dengan teganya melepaskan cekalan tangannya pada leher alya.
"Harusnya kau berterima kasih pada saya karena saya kau dapat hidup dengan penuh kenyamanan dikeluarga ini" Alya mengangguk lemah. "Maaf pa"
"Memang seharusnya kau berterima kasih padaku." Vano berjalan pergi namun baru selangkah ia hendak meninggalkan tempatnya itu suara alya mengintrupsinya untuk berhenti. "Apa papa bener - bener nggak sayang sama alya? Papa segitu bencinya ke alya? Kenapa papa mukulin tubuh alya? Kenapa-"
Plak
"Berani - beraninya kamu berkata begitu didepanku. Saya itu sayang ke semua anak saya, saya bahkan selalu adil kepada kalian dan kau menyebutku tak pernah menyayangimu? Dan apa kau membuat diriku seperti seorang bajingan yang tega melukai fisik anak nya begitu huh? Begitu?" Vano berjongkok didepan tubuh alya yang masih terduduk disana. "Itu hanya hukuman untuk anak yang tidak patuh untuk kedua orang tuanya, maka dari itulah jadilah anak yang baik dan penurut agar kami sayang padamu" Setelah mengatakan perkataan yang menyakitkan itu vano pergi begitu saja entah kemana.
"Alya juga nggak sebodoh itu pa, alya tau mana yang sayang dan mana yang benci. Asal papa tau. Perlakuan yang papa sebut itu sebagai hukuman atas kesalahan seorang anak sebagai tanda kasih sayang orang tua itu justru membuat fisik dan mental alya rusak pa.." Bulir bening kembali membasahi pipi tirus alya hingga terjun dengan bebasnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments