Semakin sore, semakin tentram. Masih di hari yang sama, begitu nikmat udara yang ku rasakan sore ini. Semerbak angin sepoi, bercampur butiran-butiran salju kecil begitu lembut menghantam wajahku, benar-benar menciptakan suasana perjalanan yang semakin nyaman.
Walau jaket berbahan kulit yang kupakai ini sudah penuh noda dan kusam, setidaknya lembaran ini masih bisa menahan tubuhku dari dinginnya hawa sekitar.
//
...Happiness is The Best Healer....
^^^//^^^
Beberapa menit berjalan kaki dari toko kakek, membuat kaki-kaki ini akhirnya sampai di vila tempatku bermalam. Bangunan yang tak terlalu besar dan mewah sebenarnya, mengingat vila ini memang sesungguhnya diperuntukkan untuk ditinggali oleh satu orang penghuni layaknya diriku.
Mengenai lokasi vila, bisa kubilang sangat tidak strategis. Bagaimana tidak? Vila ini sangat terpencil, berdiri kokoh di dalam suatu lorong yang sepi dan jarang tertapaki oleh masyarakat sekitar. Bahkan untuk menuju lorong itu saja, aku mesti berjalan menanjak sejauh ±50 meter dari persimpangan dekat toko Kakek.
Kendati demikian, aku sendiri sengaja memilih lokasi tersebut sebagai tempat tinggal selama libur bekerja. Bukannya tanpa alasan, melainkan ada satu aspek yang vila itu miliki dan kebetulan tak dimiliki oleh vila atau rumah sewa lainnya di sekitar sini.
Aspek tersebut adalah panorama.
...----...
Karena sudah hitungan bulan aku terombang-ambing di laut, diri ini jelas merindukan sebuah kasur lembut. Kasur yang berpijak langsung ke bumi, bukannya ke dek kapal. Oleh karena itu, tidur jadi hal yang terus-menerus melintas dalam otakku.
Tentunya aku akan beristirahat segera. Namun begitu, tetap jadi hal yang penting untukku mengecek kondisi vila, pekarangan, dan lain sebagainya sebelum aku boleh tenang.
Usai menyusuri puluhan meter lorong pendek nan rindang, aku akhirnya tiba di depan vila.
Dan pemandangan yang aku lihat detik itu, benar-benar berbeda.
Pekarangannya yang benar-benar bersih! Jujur, hal seperti ini sangat aneh bagiku. Berada di luar ekspetasi. Karena biasanya, ketika pulang ke vila saat musim dingin begini, halaman depannya selalu sesak dan dipenuhi banyak sekali daun yang berguguran bekas musim gugur. Bahkan asal kau tahu, aku sebelumnya sempat berpikir jika liburku kali ini hanya akan kuhabiskan untuk membersihkan daun-daun basah nan lengket itu lagi.
Aku berulang kali mondar-mandir pekarangan, mengucek mataku demi meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi. Walau terbilang janggal, yang namanya manusia tentu akan legowo melihat bebannya berkurang. Sekalipun itu tak bisa dijelaskan bagaimana bisa terjadi.
Termasuk aku.
Dalam hatiku memang merasa ada yang aneh, namun jauh di dalamnya, hati nurani hatiku berbisik lega.
"Syukurlah ..., jadinya aku tidak perlu memporsis begitu banyak tenaga sore ini ...." katanya.
Sembari kemudian membuka kunci gembok yang terpasang pada pintu, aku kembali mengecek pekarangan itu untuk terakhir kalinya.
Sungguh, ini bukan mimpi.
Aku telah masuk ke dalam vila. Dengan ini, bersih-bersih pun dimulai.
Aku mulai dengan membereskan dan menyapu bagian dalam vila. Maklum, setelah berbulan-bulan ditinggal dengan kondisi tertutup dan tak berpenghuni, laba-laba sudah merajalela membangun rumah mewahnya di dalam sini.
Sapu ijuk bekas milik penghuni vila sebelumnya aku pakai untuk menyapu sawang-sawang yang menumpuk di sudut ruangan.
Aku tak tau bagaimana bisa mereka berkembang sebanyak ini hanya dalam waktu 6 bulan. Bukan laba-labanya maksudku, tapi sarangnya yang kian memenuhi sudut ruangan ini.
Beberapa menit kemudian,
Hah ... usai bersih-bersih, menyapu, dan sedikit mengepel, rumah ini akhirnya terlihat sedikit lebih layak untuk dihuni. Untunglah ini musim dingin, bukannya panas.
Oh iya, samping itu, tak lupa juga aku menyiapkan sedikit makan malam untuk mengganjal perutku yang sudah keroncongan sejak sampai di dermaga ini.
Malam ini, pencernaanku hanya akan ditemani oleh makanan sepele, yakni mie instan. Entah karena bumbunya, atau karena apa, lidahku sudah nyaman dengan gurihnya racikan instan ini. Mungkin juga hal ini adalah akibat dari kebiasaanku sejak kecil yang sering mengkonsumsi mie-mie-an seperti ini.
Sebenarnya ada kok niatku untuk mengubah pola makanku yang serba instan ini, namun hal itu nyatanya tak semudah yang mereka katakan. Semua butuh proses.
Lima menit waktu merebus mie kuselingi dengan mencuci buah-buahan dan sayur yang tadi kubeli dari toko.
"Aku harap keran ini masih berfungsi," gumamku.
Aku coba memutar keran wastafel yang ada di dapurku. Agak keras sebenarnya. Hal ini membuat diriku jadi serba salah saat memutarnya. Pelan takkan bisa, kuat ... malah pacul. Begitulah kira-kira.
Putaran perlahan tapi pasti dari jemariku akhirnya berhasil membuat air mengalir dari keran tersebut. Namun sebelum mencuci buah dan sayuran, aku terlebih dulu mencolek sedikit air yang keluar tersebut dengan telunjukku, lalu mencicipnya guna memastikan rasanya tawar.
Karena posisi vila ini berada di dekat laut, dan saluran air kadang juga kerap mengalami kebocoran, penting untuk memastikan bahwa air di wastafel ini layak untuk dipakai mencuci. Aku cicipi air itu, jaga-jaga bila saja rasanya asin karena tercampur air laut.
"cp..cp..cp.." kecap lidahku.
"Hm ... untunglah tidak asin," sambungku lega.
Akupun lekas mencuci buah dan sayuran yang ada. Selepas itu, mie yang kurebus pun sudah ikut matang. Aku kemudian mengambil mangkuk serta sumpit dan kemudian menyajikannya.
"Selamat makan!" ucapku seorang diri.
Karena keadaan, aku terpaksa menghabiskan liburku kali ini, lagi-lagi sendirian.
Hah ... apa boleh buat, aku hanya harus menjalaninya saja. Kurasa dengan begitu, rasa kesendirian ini akan hilang dengan sendirinya.
Pada akhirnya aku bisa memuaskan dahaga laparku yang sejak tadi melanda. Selama makan, aku tak memikirkan hal-hal lain lagi. Yang ada di benakku saat itu hanyalah kenikmatan dari mie instan yang sedang kulahap.
Kebahagiaan Adalah Obat Terbaik.
Akhirnya tiba waktuku beristirahat. Aku akan tidur dengan nyenyak malam ini. Pasti.
Akan tetapi, sebelum pergi tidur di vila ini, aku punya suatu kebiasaan. Di mana aku akan selalu keluar vila, berjalan melintasi pekarangan dan duduk sejenak di sebuah gazebo yang berada tepat di depan vilaku. Hanya sekedar melihat-lihat sekeliling saja.
Dari gazebo itu, aku bisa melihat hamparan laut yang terpampang jelas di depan mataku di kejauhan. Sungguh pemandangan yang begitu sempurna untuk dinikmati oleh seseorang yang terpaksa disendirikan oleh keadaan.
Inilah yang aku sebut sebelumnya sebagai aspek panorama dari vila ini.
Selain hamparan laut, nampak pula di sana, sebuah kapal besar yang terlihat baru saja berhalu dari dermaga dan sedang bergerak menuju ke arah lautan luas.
Kau tahu, tiap aku melihat kepergian kapal seperti itu, aku jadi merasa hidup. Aku semakin merasakan bahwasanya hidup ini terus berjalan terus berkembang sedemikian rupa.
Meninggalkan sebuah tempat demi pekerjaan atau sejenisnya juga memberiku pelajaran mengenai apa itu hidup.
Layaknya sebuah kapal yang baru meninggalkan pelabuhan, kapal itu terus melaju. Pergi jauh menuju tempat yang asing baginya. Ia pergi dari zona di mana ia aman dari segala mara bahaya, menuju zona yang tak tahu menau ada apa di sana.
Kepergiaan tak selalu diharapkan. Ada saja mereka yang tak ingin berlama-lama bepergian. Mereka tak ingin pergi atau setidaknya mereka ingin sampai ke tujuan dengan cepat.
Pun mengenai orang-orang yang pergi dengan menaiki kapal itu, mereka semua begitu berharap untuk bisa pulang dengan selamat kembali ke daratan.
Pergi menuju lautan itu terkadang terdengar menyeramkan. Baik menurut penumpang di kapal itu sendiri maupun sanak keluarga yang ditinggalkan.
Kepergian dengan kapal juga selalu mendatangkan kerinduan bagi para keluarga. Baik anaknya, orang tuanya, saudaranya,
Pasangannya.
Ya, aku mengerti akan hal itu.
Aku juga merasakannya.
Persis seperti perasaanku dulu.
--->
^^^Merasa hidup.^^^
--->
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments