Happiness Is The Best Healer

Happiness Is The Best Healer

Tiba

Riuh angin laut yang kurasakan ....

Dentuman ombak yang senantiasa ku lalui ....

Aroma dermaga yang aku rindukan ....

Serta bayang-bayangnya yang kerap hadir di setiap malamku ....

Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat.

^^^Happiness Is the Best Healer.^^^

Sungguh disayangkan. Indahnya bunga sakura yang bermekaran, tak mampu kusaksikan lagi tahun ini.

Berbulan-bulan telah kulalui, hanya untuk mengabdi pada negara ini. Begitu jauh dari gazebo vilaku, begitu jauh dari dirinya.

Enam bulan sudah semenjak aku pergi meninggalkan kediamanku untuk bekerja. Selama itu pula, kakiku tak menyentuh daratan Miyako sama sekali.

...----------------...

Namaku adalah Mitsuyoshi Kaito, laki-laki yang baru saja genap berumur 26 tahun seminggu yang lalu.

Aku telah menyelesaikan pendidikan panjangku dan kini aku bekerja di tempat yang cukup jauh dari tempat asalku. Aku adalah seorang tenaga medis sekaligus pelatih serta pembimbing kesehatan yang ditugaskan untuk menangani para prajurit di sektor angkatan laut Jepang.

Karena pekerjaanku ini, seringkali aku turut berlayar ke tengah lautan luas, bersama-sama dengan para prajurit muda yang masih perlu penempaan di sana-sini. Hal ini membuatku seringkali merasakan situasi terkepung hamparan perairan biru selama berbulan-bulan.

Pemandangan yang kulihat semasa bekerja, setiap hari sama saja. Hanya ada air dengan jumlah yang dasyat yang memenuhi penglihatanku. Hal itu terkadang membuatku begitu merindukan nuansa daratan.

Terlebih, di saat memasuki masa shift-off seperti sekarang ini, hasrat kerinduanku kian bertambah.

"Aku ingin segera pulang dan beristirahat." Begitu pikirku.

...///...

...tiba....

...///...

07 Desember 2015 16:55

Prefektur Miyako, Jepang.

Setelah hampir 2 hari 1 malam kami menghabiskan waktu menyusuri lautan di timur Jepang, akhirnya kapal kami tiba di pelabuhan lokal Miyako, tempatnya berlabuh.

Begitu sampai, para prajurit langsung dibariskan oleh komandan dengan begitu teratur menuju pintu keluar dengan banyak sekali barang bawaan yang mereka pikul di kiri dan kanannya.

Mereka yang seluruhnya ada di atas kapal ini adalah para tentara angkatan laut Jepang. Kebanyakan dari mereka merupakan anggota muda yang masih dalam tahap pelatihan. Kendati ku katakan anggota muda, selisih umurku dengan mereka tak begitu jauh.

Kurasa tak hanya aku saja yang merindukan daratan. Tapi para tentara ini pun, mereka adalah sama. Berbulan-bulan menjalani pelatihan ketat di atas kapal tentunya akan menumbuhkan hasrat ingin pulang yang begitu luar biasa.

Yah, sekaranglah waktunya. Kita semua pulang. Nikmatilah kebebasan kalian yang walau hanya akan berlangsung beberapa minggu ke depan itu ....

...----------------...

Beberapa saat lalu, kapal kami sudah merapat sepenuhnya di dermaga. Sebagian penumpang sudah keluar dari kapal sejak kapal baru saja tiba di pelabuhan, termasuk diriku. Aku juga merasa tak perlu lagi berlama-lama berada di kapal militer yang berloreng gelap nan membosankan itu.

Aku bisa merasakan, sekejap setelah kakiku melangkah berpijak ke daratan, betapa lembut dan dinginnya salju di sore itu. Walau kakiku beralaskan sepatu, dada dan lenganku hampir seluruhnya tertutup busana, kulit wajahku bisa merasakannya begitu jelas.

Sekelilingku kini dipenuhi warna-warna putih nan lembut yang berasal dari salju yang turun sejak beberapa hari lalu. Sungguh pemandangan yang kontras dari apa yang kulihat selama masa bekerjaku di lautan lepas.

Kota kecil ini tak banyak yang berubah, sebenarnya.

Jalanan rusak di dekat pelabuhan masih saja belum terjamah perbaikan hingga sekarang. Padahal kau tahu, rencana perbaikannya sudah dicanangkan sejak sebelum shift kerjaku dimulai. Bupati Miyako saat ini memang sebaiknya tak boleh dipercaya. Ayahku benar.

Kebiasaanku, ketika tiba di Miyako, aku selalu mampir sejenak ke toko kakek untuk belanja mingguan atau setidaknya menyapa Kuroga, adik sepupuku. Mengingat mereka merupakan keluargaku satu-satunya di kota ini, jadi sudah sepantasnya aku mengabari mereka tentang kepulanganku.

Tokonya tak terlalu jauh, kok, dari pelabuhan. Kurang lebih hanya 150 meter dari tempat kapal kami berlabuh tadi.

Tempat ini memang sudah terkenal di kalangan masyarakat sekitar pelabuhan. Menjual cukup lengkap barang-barang baik itu bahan pangan maupun berbagai peralatan pecah belah. Bisa kubilang, sebelas dua belas dengan toko serba ada.

Beberapa menit aku melangkahkan kaki melewati jalan rusak yang kusebutkan tadi, setelah menunggu rombongan kendaraan militer habis melewatiku dari belakang, aku pun langsung menyebrang jalan menuju toko kakekku tersebut.

Oh iya, karena letaknya yang tak terapit bangunan lain sama sekali, toko itu dapat terlihat oleh mata telanjang bahkan dari jarak puluhan meter jauhnya. Kondisi toko ini pun juga tak banyak perubahan. Poster-poster komik serta minuman elektrolit keluaran tahun lalu masih tertempel di kaca depan toko ini dengan corak yang sudah sangat pudar. Untaian lampu LED warna putih bekas Natal tahun lalu pun masih dipakai walau nyatanya tak lagi berfungsi dengan baik. Sekiranya begitulah yang teramati olehku sore ini.

Aku lalu berjalan masuk menuju toko tersebut.

"Irasshaimase! Terimakasih telah memilih toko kami!"

Suasana di dalam toko ini tak jauh berbeda dari keadaan di luar toko.

Sama-sama dingin.

Dan, tak sampai 5 detik aku berada dalam toko ini, seseorang lantas menyapaku dengan lantangnya.

"Eh? Kak Kaitou!?"

Mendengar namaku terucapkan begitu jelas, aku sontak menoleh ke arah sosok di balik meja kasir, yang di mana sumber suara itu berasal.

"Ah ..., Dek Kokuto, ya, ternyata," sahutku ramah. "Lama tak berjumpa!" sambungku.

Kokuto adalah adik sepupuku. Umurnya masih 18 tahun dan ia duduk di bangku akhir masa SMA. Sambil sekolah, dia turut menghabiskan waktunya untuk membantu kakek dengan menjadi kasir di toko ini. Sekedar informasi, ibunya dan mendiang ibuku merupakan kakak beradik. Yah, tak heran jika kami memang sudah akrab bahkan sejak kecil.

Banyak orang mengatakan, bahwa "Ko-kun" (begitu orang rumah sering memanggilnya) memiliki segudang kemiripan dengan diriku. Kebanyakan mengatakan soal rambut hitam lurus kami. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu adalah bentuk wajah bulat kami maupun juga gaya berpakaian kasual kami.

"Kakak ini kenapa 'nggak pernah ngabarin dulu, sih, kalau sudah sampai?" tanyanya terheran.

"Lho ... memangnya mesti, ya? Suka suka kakak, dong," balasku sembari tertawa kecil, meledeknya seperti hari-hari lampau.

"Ya ... setidaknya kabarin dulu kan bisa gitu loh ...." Kakuto menatapku lesu, nada bicaranya yang sopan nan halus seakan begitu menyayangkan sikapku tersebut. Ngomong-ngomong, dia ini memang anak yang sedikit soft, tidak seperti laki-laki lainnya yang seumuran dengannya. Hal yang ... tidak jadi masalah untukku, sebenarnya.

"Ngomong-ngomong, kesini mau cari apa, Kak?" ujarnya beralih topik.

"Hmhh ... biasalah .... Kakak hanya ingin membeli beberapa makanan instan," jawabku datar, lalu kembali meneruskan, "Juga ehm ... beberapa buah dan sayur, kurasa." Aku sibuk menyusuri rak-rak etalase toko tersebut.

"Kakak ini agak aneh, ya ...."

"Kakak ini dokter, tapi aku tak terlalu yakin kalau makanan yang kakak makan sehari-hari itu mencerminkan citra seorang dokter," tutur Kokuto bingung.

Aku pun terdiam sejenak. Lalu tak lama, pandanganku langsung mengarah padanya.

"Iya, kan? Pekerjaan memang menetukan image seseorang, kan, Ko-kun?" singgungku.

"Y..Ya, jelas begitu, kan?! Dasar kakak!" tukasnya.

"Ngomong-ngomong, di mana kakek kita?" tanyaku lebih lanjut.

"Kakek ...? Ah ..., aku rasa kakek sedang membenarkan talang air di belakang." Kokuto mengarahkan jempolnya ke arah belakang, mengisyaratkan bahwa Kakek sedang berada di "belakang".

"Mau ku panggilkan?" tawarnya melanjutkan.

"Hah? Tak perlu, tak perlu. Kalau memang sibuk, ya lain hari sajalah ...." Aku lekas menggeleng.

"Untuk hari ini, sampaikan saja salamku," tambahku sembari menyerahkan barang belanjaanku pada Kokuto untuk kemudian dihitung.

"Hih ...? Mie instan kuah super pedas guntur lagi? Jujur, aku semakin khawatir dengan tubuhmu, Kak," ujar Kokuto yang mulai meng-scan belanjaanku yang kebanyakan merupakan makanan instan itu.

"Tolonglah, kasir .... Jangan kau terlalu mempedulikan barang-barangku! Laksanakan saja tugasmu!" omelku resah.

"Hahaha! Baiklah, Tuan Dokter ...."

To be continued ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!