The Black Butterfly

The Black Butterfly

Tanpa Cahaya

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit. Mansion Hagen terlihat semakin ramai. Kastil mewah bergaya Victoria yang sudah berdiri sejak abad pertengahan tersebut, tengah berhias dalam rangka menyambut pesta ulang tahun putri pertama sang pemilik mansion.

Sementara itu, di ruang kerja milik Lord Christopher Hagen sang penguasa kastil. Dia sedang serius memeriksa email yang masuk ke laptopnya, hingga tak menyadari bahwa ada seseorang masuk ke ruangan itu tanpa permisi.

“Chris, kita harus bicara!” ujar pria yang tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerja Christopher.

Sang pemilik mansion itu langsung mendongak. “Cornelius? Ada apa ini?” tanyanya keheranan.

“Bersiaplah! Aku mendengar dari mata-mata keluarga Walsh, bahwa desas-desus yang menyebutkan tentang perebutan kursi pimpinan dewan itu benar adanya. Pasukan serigala yang sering kita dengar beberapa hari terakhir itu memang benar ada,” jawab pria bernama Cornelius tersebut.

“Tenanglah, Teman. Aku sudah menyiapkan pengamanan ekstra untuk acara pesta nanti malam. Aku bahkan meminta bantuan keluarga Callaghan dan Walsh dalam hal pengamanan berlapis,” timpal Christopher seraya bangkit dari kursinya.

“Itu tidak cukup! Kau harus membawa istri dan anak-anakmu pergi dari sini sekarang juga!” sentak Cornelius dengan mata nyalang, hingga membuat Christopher tertegun.

“Baiklah,” Christopher sudah hendak meraih telepon genggamnya untuk menghubungi sang istri, ketika tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka.

Dua bocah laki-laki berlari masuk dan menghambur kepada sang ayah sambil berteriak saling bersahutan.

“Ayah, kakak mengusir kami pulang. Dia bilang kami pengganggu!” adu Finnes, putra tertua.

“Ya, Ayah. Sekarang kakak masih bersenang-senang dengan teman-teman perempuannya yang berisik itu. Kau harus menghukum dia!” sahut Finn, putra bungsu keluarga Hagen.

“Di mana kakak kalian?” Christopher mencengkeram lengan Finn sedikit erat.

“Masih di sekolah,” jawab Finn ragu.

“Astaga,” Christopher meraup wajahnya kasar. “Kalian berdua, dengarkan aku. Ikutlah bersama paman Cornelius. Bersembunyilah di terowongan rahasia di bawah tanah sampai aku datang. Ayah akan menjemput kakakmu dulu,” titahnya seraya mengalihkan pandangan ke arah Cornelius.

Kedua anak laki-laki tadi tampak keberatan. Mereka sudah hendak mendekat pada Cornelius, ketika Lady Margareth tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja. Wanita itu menutup pintunya dengan tergesa-gesa.

“Ada apa, Sayang?” tanya Christopher keheranan melihat wajah cantik Margareth yang pucat.

“Mereka ada di mana-mana, Chris. Cepat hubungi Elektra! Suruh dia bersembunyi!” Margareth terdengar begitu panik.

“Mereka siapa? Tenanglah dulu, Margareth,” ujar Cornelius berusaha menenangkan.

“Pria-pria bertopeng itu. Mereka berhasil melumpuhkan para penjaga dengan mudah, lalu menyekap semua pelayan,” terang Margareth. Pipi mulus berkulit putih itu tampak kian pucat karena rasa khawatir yang sangat besar. Mata hazelnya pun menyiratkan ketakutan luar biasa.

Margareth sudah hendak membuka mulutnya lagi. Akan tetapi, dari arah luar terdengar suara letusan senjata api. Suaranya bak kembang api yang saling bersahutan, membuat Finnes dan Finn memekik ketakutan.

Spontan Christopher dan Margareth memeluk kedua bocah itu, lalu mengarahkan mereka menuju ke satu sisi ruangan, sambil mencari-cari sesuatu di permukaan dinding kayu berlapis pernis yang membuatnya tampak mengilap dan mewah. Namun, belum sempat Christopher menyembunyikan Margareth dan kedua putranya, tiba-tiba pintu ruang kerja didobrak paksa dari luar.

Beberapa orang pria bertopeng merangsek masuk sambil membidikkan senjata. Cornelius yang berdiri paling depan, segera pasang badan. “Siapa kalian!” bentaknya dengan wajah beringas.

“Kami tidak akan menjawab, jika yang bertanya bukanlah Lord Hagen,” jawab salah satu pria bertopeng tadi. Dia mengarahkan moncong senjata laras panjangnya tepat ke kepala Cornelius.

“Astaga, ini sudah petang. Elektra belum juga kembali,” ucap Margareth kian cemas memikirkan putri sulungnya, yang akan berulang tahun ke-13.

“Tenanglah, Margareth. Aku justru berharap Elektra tidak kembali sebelum kita dapat mengendalikan situasi,” balas Christopher. Walaupun dalam hatinya ada kekhawatiran yang jauh lebih besar, tapi dia berusaha tetap menenangkan sang istri dan kedua putranya.

Sementara, kengerian yang sama juga terjadi di gerbang utama. Puluhan pria bertopeng hitam, menghadang laju sebuah mobil yang hendak memasuki mansion. Dua penumpang di dalamnya merupakan sopir dan gadis remaja yang tampak sangat ketakutan. Terlebih, ketika salah satu dari pria bertopeng tadi mengetuk-ngetuk keras jendela kaca mobil menggunakan popor senapan. Karena tak mempunyai pilihan lain, sang sopir membuka kunci sehingga pintu mobil dapat dibuka dari luar. Orang-orang itu lalu menarik si gadis dan menyeretnya ke dalam mansion.

“Nona Elektra!” seru si sopir, sebelum ujung senapan meletus dan melubangi keningnya.

Gadis bernama Elektra itu berteriak histeris saat pria paruh baya yang biasa mengantar jemput dirinya ke sekolah, terkapar bersimbah darah dan langsung meregang nyawa di sana.

Namun, Elektra tak dapat berbuat apa-apa, karena pria bertopeng tadi terus menyeretnya ke dalam mansion. Pria itu baru melepaskan lengan mungil Elektra, ketika sudah tiba di ruang kerja. Dia mendorong tubuh gadis yang baru beranjak remaja tersebut, ke dekat orang tua serta kedua adiknya.

“Sayang.” Margareth segera merangkul putri sulungnya.

“Pergi kalian dari tempat ini!” hardik Cornelius tegas. Dia mengeluarkan pistol yang terselip di balik blazer mahalnya. Cornelius sudah bersiap menembak. Namun, sayang sekali karena gerakannya kalah cepat. Salah seorang dari pria bertopeng yang tengah menodongkan senjata kepada Christopher dan keluarganya, memukul tengkuk pria itu dari belakang dengan sangat keras.

Cornelius langsung jatuh tersungkur. Belum sempat dia bangkit, pria-pria bertopeng tadi mengeroyoknya secara membabi buta. Mereka menendang, serta memukuli pria itu dengan senjata, hingga Cornelius akhirnya menyerah tanpa perlawanan yang berarti dengan darah di sekujur tubuh.

Christopher bukannya tak berniat melakukan perlawanan. Namun, ada empat nyawa yang harus dia perhitungkan. Sehingga, ayah tiga anak tersebut memilih untuk menuruti apapun yang diperintahkan.

“Berlutut!” sentak salah seorang dari pria bertopeng tadi.

Christopher dan seluruh anggota keluarganya menurut. Dalam posisi berjejer, mereka berlutut sambil menundukkan wajah.

“Christopher Hagen,” ucap salah seorang dari pria bertopeng itu. Suaranya terekam jelas di telinga Elektra. “Kau dan seluruh keluargamu harus mati!” Seusai pria itu berkata demikian, rentetan letusan senjata terdengar begitu nyaring. Mereka menembaki kedua putra Christopher terlebih dulu, hingga anak-anak tak berdosa tadi tersungkur meregang nyawa.

“Tidak!” pekik Margareth. Wanita itu bermaksud merengkuh jasad kedua putranya. Nahas, dia juga harus ikut tersungkur dengan tubuh bersimbah darah di dekat mayat dua anak laki-lakinya.

“Kalian!” Christopher bermaksud untuk bangkit dan menerjang si penembak. Namun, baru saja berdiri, berondongan senjata lebih dulu menghentikannya.

“Ayah!” teriak Elektra histeris.

Pria bertopeng yang tadi mengeksekusi Christopher dan keluarganya, mengalihkan perhatian kepada Elektra. Tepat pada saat dia hendak menarik pelatuk, seluruh lampu di ruangan itu padam seketika.

Terpopuler

Comments

Arina zulfa

Arina zulfa

duh pria bertopeng ini siapa sih!!!🤨

2023-07-10

1

Aurizra Rabani

Aurizra Rabani

Hai... kak, aku mampir ketika mendengar letusan senjata api, makanya lampunya aku matiin 😅
salam kenal 🙏🤗

2023-06-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!