NovelToon NovelToon

The Black Butterfly

Tanpa Cahaya

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit. Mansion Hagen terlihat semakin ramai. Kastil mewah bergaya Victoria yang sudah berdiri sejak abad pertengahan tersebut, tengah berhias dalam rangka menyambut pesta ulang tahun putri pertama sang pemilik mansion.

Sementara itu, di ruang kerja milik Lord Christopher Hagen sang penguasa kastil. Dia sedang serius memeriksa email yang masuk ke laptopnya, hingga tak menyadari bahwa ada seseorang masuk ke ruangan itu tanpa permisi.

“Chris, kita harus bicara!” ujar pria yang tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerja Christopher.

Sang pemilik mansion itu langsung mendongak. “Cornelius? Ada apa ini?” tanyanya keheranan.

“Bersiaplah! Aku mendengar dari mata-mata keluarga Walsh, bahwa desas-desus yang menyebutkan tentang perebutan kursi pimpinan dewan itu benar adanya. Pasukan serigala yang sering kita dengar beberapa hari terakhir itu memang benar ada,” jawab pria bernama Cornelius tersebut.

“Tenanglah, Teman. Aku sudah menyiapkan pengamanan ekstra untuk acara pesta nanti malam. Aku bahkan meminta bantuan keluarga Callaghan dan Walsh dalam hal pengamanan berlapis,” timpal Christopher seraya bangkit dari kursinya.

“Itu tidak cukup! Kau harus membawa istri dan anak-anakmu pergi dari sini sekarang juga!” sentak Cornelius dengan mata nyalang, hingga membuat Christopher tertegun.

“Baiklah,” Christopher sudah hendak meraih telepon genggamnya untuk menghubungi sang istri, ketika tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka.

Dua bocah laki-laki berlari masuk dan menghambur kepada sang ayah sambil berteriak saling bersahutan.

“Ayah, kakak mengusir kami pulang. Dia bilang kami pengganggu!” adu Finnes, putra tertua.

“Ya, Ayah. Sekarang kakak masih bersenang-senang dengan teman-teman perempuannya yang berisik itu. Kau harus menghukum dia!” sahut Finn, putra bungsu keluarga Hagen.

“Di mana kakak kalian?” Christopher mencengkeram lengan Finn sedikit erat.

“Masih di sekolah,” jawab Finn ragu.

“Astaga,” Christopher meraup wajahnya kasar. “Kalian berdua, dengarkan aku. Ikutlah bersama paman Cornelius. Bersembunyilah di terowongan rahasia di bawah tanah sampai aku datang. Ayah akan menjemput kakakmu dulu,” titahnya seraya mengalihkan pandangan ke arah Cornelius.

Kedua anak laki-laki tadi tampak keberatan. Mereka sudah hendak mendekat pada Cornelius, ketika Lady Margareth tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja. Wanita itu menutup pintunya dengan tergesa-gesa.

“Ada apa, Sayang?” tanya Christopher keheranan melihat wajah cantik Margareth yang pucat.

“Mereka ada di mana-mana, Chris. Cepat hubungi Elektra! Suruh dia bersembunyi!” Margareth terdengar begitu panik.

“Mereka siapa? Tenanglah dulu, Margareth,” ujar Cornelius berusaha menenangkan.

“Pria-pria bertopeng itu. Mereka berhasil melumpuhkan para penjaga dengan mudah, lalu menyekap semua pelayan,” terang Margareth. Pipi mulus berkulit putih itu tampak kian pucat karena rasa khawatir yang sangat besar. Mata hazelnya pun menyiratkan ketakutan luar biasa.

Margareth sudah hendak membuka mulutnya lagi. Akan tetapi, dari arah luar terdengar suara letusan senjata api. Suaranya bak kembang api yang saling bersahutan, membuat Finnes dan Finn memekik ketakutan.

Spontan Christopher dan Margareth memeluk kedua bocah itu, lalu mengarahkan mereka menuju ke satu sisi ruangan, sambil mencari-cari sesuatu di permukaan dinding kayu berlapis pernis yang membuatnya tampak mengilap dan mewah. Namun, belum sempat Christopher menyembunyikan Margareth dan kedua putranya, tiba-tiba pintu ruang kerja didobrak paksa dari luar.

Beberapa orang pria bertopeng merangsek masuk sambil membidikkan senjata. Cornelius yang berdiri paling depan, segera pasang badan. “Siapa kalian!” bentaknya dengan wajah beringas.

“Kami tidak akan menjawab, jika yang bertanya bukanlah Lord Hagen,” jawab salah satu pria bertopeng tadi. Dia mengarahkan moncong senjata laras panjangnya tepat ke kepala Cornelius.

“Astaga, ini sudah petang. Elektra belum juga kembali,” ucap Margareth kian cemas memikirkan putri sulungnya, yang akan berulang tahun ke-13.

“Tenanglah, Margareth. Aku justru berharap Elektra tidak kembali sebelum kita dapat mengendalikan situasi,” balas Christopher. Walaupun dalam hatinya ada kekhawatiran yang jauh lebih besar, tapi dia berusaha tetap menenangkan sang istri dan kedua putranya.

Sementara, kengerian yang sama juga terjadi di gerbang utama. Puluhan pria bertopeng hitam, menghadang laju sebuah mobil yang hendak memasuki mansion. Dua penumpang di dalamnya merupakan sopir dan gadis remaja yang tampak sangat ketakutan. Terlebih, ketika salah satu dari pria bertopeng tadi mengetuk-ngetuk keras jendela kaca mobil menggunakan popor senapan. Karena tak mempunyai pilihan lain, sang sopir membuka kunci sehingga pintu mobil dapat dibuka dari luar. Orang-orang itu lalu menarik si gadis dan menyeretnya ke dalam mansion.

“Nona Elektra!” seru si sopir, sebelum ujung senapan meletus dan melubangi keningnya.

Gadis bernama Elektra itu berteriak histeris saat pria paruh baya yang biasa mengantar jemput dirinya ke sekolah, terkapar bersimbah darah dan langsung meregang nyawa di sana.

Namun, Elektra tak dapat berbuat apa-apa, karena pria bertopeng tadi terus menyeretnya ke dalam mansion. Pria itu baru melepaskan lengan mungil Elektra, ketika sudah tiba di ruang kerja. Dia mendorong tubuh gadis yang baru beranjak remaja tersebut, ke dekat orang tua serta kedua adiknya.

“Sayang.” Margareth segera merangkul putri sulungnya.

“Pergi kalian dari tempat ini!” hardik Cornelius tegas. Dia mengeluarkan pistol yang terselip di balik blazer mahalnya. Cornelius sudah bersiap menembak. Namun, sayang sekali karena gerakannya kalah cepat. Salah seorang dari pria bertopeng yang tengah menodongkan senjata kepada Christopher dan keluarganya, memukul tengkuk pria itu dari belakang dengan sangat keras.

Cornelius langsung jatuh tersungkur. Belum sempat dia bangkit, pria-pria bertopeng tadi mengeroyoknya secara membabi buta. Mereka menendang, serta memukuli pria itu dengan senjata, hingga Cornelius akhirnya menyerah tanpa perlawanan yang berarti dengan darah di sekujur tubuh.

Christopher bukannya tak berniat melakukan perlawanan. Namun, ada empat nyawa yang harus dia perhitungkan. Sehingga, ayah tiga anak tersebut memilih untuk menuruti apapun yang diperintahkan.

“Berlutut!” sentak salah seorang dari pria bertopeng tadi.

Christopher dan seluruh anggota keluarganya menurut. Dalam posisi berjejer, mereka berlutut sambil menundukkan wajah.

“Christopher Hagen,” ucap salah seorang dari pria bertopeng itu. Suaranya terekam jelas di telinga Elektra. “Kau dan seluruh keluargamu harus mati!” Seusai pria itu berkata demikian, rentetan letusan senjata terdengar begitu nyaring. Mereka menembaki kedua putra Christopher terlebih dulu, hingga anak-anak tak berdosa tadi tersungkur meregang nyawa.

“Tidak!” pekik Margareth. Wanita itu bermaksud merengkuh jasad kedua putranya. Nahas, dia juga harus ikut tersungkur dengan tubuh bersimbah darah di dekat mayat dua anak laki-lakinya.

“Kalian!” Christopher bermaksud untuk bangkit dan menerjang si penembak. Namun, baru saja berdiri, berondongan senjata lebih dulu menghentikannya.

“Ayah!” teriak Elektra histeris.

Pria bertopeng yang tadi mengeksekusi Christopher dan keluarganya, mengalihkan perhatian kepada Elektra. Tepat pada saat dia hendak menarik pelatuk, seluruh lampu di ruangan itu padam seketika.

Rambut Palsu

Suasana dalam ruang kerja tadi menjadi gelap gulita, berhubung Christopher tak memasang jendela kaca di ruangan tersebut. Alhasil, jika tanpa adanya cahaya lampu, maka keadaan pun menjadi pekat sempurna.

“Sialan! Apa yang terjadi?” seru si pemilik suara yang kembali terekam jelas di telinga Elektra. Gadis itu masih dalam kondisi ketakutan dan terpukul, setelah menyaksikan orang tua serta kedua adiknya dibantai secara brutal.

Perlahan, Elektra bergerak mundur. Dia ingat bahwa sang ayah pernah menceritakan satu rahasia tentang terowongan yang tersembunyi. Elektra tahu bahwa pintu menuju terowongan tersebut ada di salah satu dinding ruang kerja itu. Namun, dia tak mengetahui letaknya dengan pasti. Gadis itu terus bergerak mundur dengan perlahan, hingga tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulutnya dari belakang.

Elektra terbelalak. Dia berusaha untuk melawan. Namun, kekuatannya tak sebanding dengan seseorang yang menariknya cepat ke dalam dinding yang terbuka. Setelah dinding itu tertutup, lampu kembali menyala.

Kawanan pria bertopeng tadi seketika terkejut, saat mendapati Elektra yang telah menghilang dari tempatnya. “Kurang ajar! Bagaimana mungkin bocah ingusan itu bisa melarikan diri?” gerutunya keras. Dia yang sepertinya merupakan ketua dari kelompok pemberontak tadi, menyuruh yang lainnya untuk menyisir seluruh mansion.

“Anak itu tidak mungkin dapat melarikan diri, Tuan. Mansion ini sudah dikepung dari berbagai sudut. Kalaupun dia berhasil keluar, aku yakin anak buah kita akan langsung menangkapnya,” ujar salah seorang yang masih berada di ruang kerja.

“Ya, kau benar. Kita tunggu saja. Sebentar lagi, Christopher Hagen dan keluarganya hanya akan menjadi cerita kelam dari kisah Organisasi Lima Bangsawan.” Pria itu tertawa puas, setelah melihat mayat Christopher beserta istri dan kedua putranya yang mengenaskan.

“Lalu, kita apakan orang ini?” tanya pria satu lagi, sambil menyepak tubuh Cornelius.

“Satukan saja dengan mayat-mayat itu,” titah si pria yang tadi menghabisi Christopher dan keluarganya.

***

Sementara itu, Elektra terus berontak ketika seorang pria memanggulnya menyusuri terowongan. Suasana yang teramat gelap, membuat Elektra tak mengetahui siapa yang telah menculiknya. Namun, pada akhirnya gadis itu pasrah. Lagi pula, orang tua serta kedua adiknya telah tewas mengenaskan.

Elektra yang lelah berontak, perlahan mulai tenang. Dia juga tak mengatakan apapun. Saat itu, dia hanya merasakan guncangan pelan dari tubuh orang yang memanggulnya.

Beberapa saat kemudian, setitik cahaya muncul dan menyambut mereka. “Kita sudah berada di ujung terowongan, Nona muda,” ucap seorang pria yang membawa Elektra.

“James?” Elektra menyebutkan satu nama.

“Ya, Nona. Ini aku.” Pria bernama James tadi menurunkan Elektra. “Astaga, kupikir aku tak akan kuat membawamu seperti tadi,” ujarnya seraya meregangkan badan. Namun, James harus kembali mengerahkan tenaga, saat menahan tubuh Elektra yang tiba-tiba menghambur ke dalam pelukannya.

“Terima kasih, James,” ucap Elektra sambil terisak. “Ayah, ibu, serta kedua adikku sudah tewas terbunuh.” Elektra membenamkan wajahnya di dekat dada James yang seketika terpaku.

“Maaf, Nona. Aku terlambat menyelamatkan tuan dan nyonya serta kedua adikmu. Aku harus mencari celah, lalu menyusuri terowongan panjang ini agar bisa tiba di ruang kerja Tuan Christopher,” sesal James. “Namun, syukurlah karena aku masih sempat membawamu kemari.”

Elektra tidak menjawab. Dia terus menangis, meratapi nasibnya yang menjadi yatim piatu dan sebatang kara dalam waktu bersamaan. Padahal, malam ini dirinya akan mengadakan pesta ulang tahun ke-13.

James Wilson. Dia merupakan pengawal pribadi Christopher. Pria asal Inggris tersebut sudah mengabdi sangat lama kepada Keluarga Hagen. James begitu loyal terhadap tuannya. Dia akan melakukan apapun, demi menjaga keselamatan sang majikan. Namun, kali ini dirinya tak dapat berbuat banyak.

“Kita harus segera pergi dari sini, Nona. Orang-orang bertopeng itu sudah mengepung seluruh mansion. Tak aman jika kita berlama-lama di tempat ini,” ucap James, saat Elektra telah mengurai pelukannya.

“Lalu, kita akan ke mana?” tanya Elektra.

“Ayo, ikutlah denganku. Aku akan membawamu dari sini,” ajaknya. Dia menuntun pergelangan tangan gadis itu keluar dari terowongan. Sebuah tempat yang terlihat asing bagi Elektra. Dia tak tahu di mana dirinya kini. Namun, Elektra memercayakan keselamatan sepenuhnya kepada pengawal mendiang sang ayah.

James terus membawa Elektra menyusuri hutan. Cukup lama mereka menyusuri jalanan yang rimbun ditutupi pepohonan. Elektra bahkan merasa bahwa dirinya tetap berada di tempat yang sama, karena di sekelilingnya hanya ada pepohonan. Akan tetapi, James sepertinya sudah sangat hafal dengan jalan yang akan mereka lalui.

Hampir satu jam mereka berjalan menyusuri hutan tadi. Kini, keduanya telah tiba di pinggiran kota. James berjalan semakin cepat membawa Elektra ke sebuah penginapan sederhana. Setelah memesan satu kamar, dia langsung mengajak gadis itu ke sana.

“Dengarkan aku, Nona. Irlandia bukan lagi tempat yang aman bagimu. Kita tidak tahu siapa mereka dan apa tujuannya melakukan ini. Aku telah gagal dalam melaksanakan tugas menjaga Tuan Christopher dan Nyonya Margareth. Namun, aku akan melakukan segala cara agar kau tetap hidup.”

“Aku sangat takut, James. Orang-orang itu memukuli Paman Cornelius hingga tubuhnya berdarah dan tak sadarkan diri. Setelah itu, mereka menembaki keluargaku. Mereka juga berniat untuk membunuhku.” Elektra kembali menangis, saat teringat akan kejadian mengerikan yang telah menimpanya.

“Karena itulah, Nona. Aku yakin bahwa mereka masih memburumu. Aku harus memikirkan cara untuk membawa kau keluar dari negara ini dengan aman.” James mengembuskan napas berat. Dia lalu duduk di sebelah Elektra. Pria itu tampak berpikir keras.

Sesaat kemudian, James beranjak dari duduknya. Dia menoleh sesaat kepada Elektra yang masih duduk termenung. “Tunggulah di sini. Jangan buka pintu untuk siapa pun selagi aku pergi. Jika kau merasa ada sesuatu yang aneh, bersembunyilah di bawah ranjang, di dalam lemari, atau ….” James mengeluarkan pistol dari belakang pinggangnya. Dia menurunkan tubuh di hadapan Elektra. “Pegang ini. Jangan takut untuk menarik pelatuknya andai kau merasa terancam. Kau adalah pemanah hebat, dan pasti bisa membidik sasaran dengan tepat.”

James memberikan pistol tadi langsung ke tangan Elektra yang hanya terpaku menatapnya. Seumur hidup, gadis itu tak pernah memegang senjata selain perlengkapan untuk olahraga memanah. Seusai berpesan demikian, pria berusia empat puluh lima tahun tersebut keluar dari kamar. Dia menguncinya dari luar.

Setelah James pergi, Elektra segera beranjak ke dekat pintu. Dia mengunci pintu dari dalam. Gadis itu juga memeriksa jendela. Elektra dapat bernapas lega, ketika semua sudah dirasa aman. Kini, dia duduk di sudut ruangan sambil terus memegangi pistol yang James berikan padanya.

Hingga dua jam berlalu James belum juga kembali. Elektra bahkan sempat tertidur beberapa saat, sampai dirinya tiba-tiba terbangun setelah mendengar suara gagang pintu yang dipaksa berputar. Elektra langsung bangkit, lalu mendekat ke pintu.

“Nona, ini aku.” Suara James terdengar tidak terlalu nyaring.

Elektra akhirnya dapat bernapas lega. Dia segera membuka kunci slot, sehingga James dapat masuk. Pria itu kembali ke penginapan sambil membawa dua paper bag.

“Apa itu?” tanya Elektra penasaran.

“Duduklah.” James mengarahkan agar Elektra duduk di tepian tempat tidur. Dia mengeluarkan pakaian baru. Pria itu juga mengeluarkan rambut palsu berwarna gelap. “Aku tadi berkonsultasi dengan seseorang di salon. Dia menjelaskan cara memasang rambut palsu seperti ini,” ucap sang pengawal.

“Maaf, Nona. Aku harus melakukan ini,” ucap James. Tanpa meminta persetujuan Elektra, dia langsung mengikat rambut pirang gadis itu. Rambut panjang sebatas punggung tadi digulung rapi, lalu ditutupi dengan harnet. Setelah seluruh rambut asli Elektra tertutup sempurna, barulah James memasangkan rambut palsu tadi.

James begitu cekatan melakukan hal itu. Dia yang terbiasa memegang pistol, kali ini harus melakukan sesuatu yang tak pernah dirinya bayangkan. “Gantilah pakaianmu, Nona,” suruhnya setelah merapikan rambut palsu Elektra.

Tanpa banyak membantah, gadis itu menurut. Dia masuk ke kamar mandi, lalu berganti pakaian di sana. Beberapa saat kemudian, Elektra keluar dengan penampilan barunya. Gadis itu mengenakan midi dress floral sederhana dengan stoking hitam.

“Apakah aku terlihat aneh?” tanya Elektra. Dia tak terbiasa berpenampilan demikian. Elektra selalu mengenakan pakaian modis, bermerk ternama, dan tentu saja mahal.

“Jangan pikirkan itu, Nona. Kau tetap terlihat cantik. Lihatlah, dirimu sangat berbeda dengan rambut gelap,” sanjung James diiringi senyuman lembut. Sesaat kemudian, pria itu kembali terlihat serius. “Maaf jika kau merasa lelah. Akan tetapi, kita harus kembali bergerak malam ini,” ucapnya.

“Kau akan membawaku ke mana, James?” tanya Elektra lagi.

“Kita akan ke perbatasan. Aku akan membawamu ke tempat yang jauh lebih aman. Ke kampung halamanku di Salisbury, Inggris,” jawab James yakin.

Cemburu

“Apakah kita akan pergi malam ini juga, James?” tanya Elektra ragu.

“Ya, Nona. Kita akan ke Inggris dengan penerbangan terakhir,” jawab James yakin.

Elektra tak langsung menjawab. Gadis belia itu memilih duduk di ujung tempat tidur, lalu menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan. Elektra kembali menangis. Bagaimana tidak? Perasaannya begitu hancur. Dia tak tahu seperti apa kondisi mayat keluarganya. Apakah mereka dimakamkan dengan layak atau dibiarkan begitu saja tanpa adanya upacara penghormatan terakhir.

Tak pernah terbayangkan dalam benak remaja tiga belas tahun itu, bahwa dirinya harus meninggalkan negara tempat dia dilahirkan dan tumbuh hingga setinggi saat ini, dengan cara yang sungguh dramatis dan mengerikan. Namun, Elektra tidak memiliki pilihan lain. Dia menerima dan setuju dengan apapun yang James lakukan, demi menjaga dirinya.

“Ingat, Nona. Mulai saat ini, namamu adalah Cassandra Wilson. Kau adalah putriku,” ucap James dengan penekanan berbeda pada akhir kalimatnya. Dia mengembuskan napas berat, sambil bersandar pada kursi dalam pesawat.

Sementara, Elektra masih belum mengerti. Gadis itu menatap lekat James yang sudah memejamkan mata. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyanya memasang raut penasaran.

“Tanyakan saja,” sahut James tanpa membuka matanya.

“Apa kau memang sudah mempersiapkan semua ini? Kau sudah berniat membawaku pergi, sehingga semuanya telah dipersiapkan dengan sangat matang dan ….” Terbesit pikiran buruk dalam benak Elektra. Dia baru menyadari setelah dirinya berada di dalam pesawat. Namun, belum terlambat untuk melarikan diri, karena pesawat itu belum lepas landas. “Kau? James?”

Elektra berdiri. Dia bermaksud untuk pergi. Namun, dengan cepat James menahan gerakan gadis dengan rambut palsu itu. “Tetaplah di tempatmu, Nona,” cegah pria itu penuh penekanan. “Jangan membuat ulah macam-macam. Jangan melakukan apapun yang dapat mengundang perhatian orang lain,” tegurnya lagi.

“Aku tidak bisa pergi denganmu!” tegas Elektra. “Bisa saja bahwa kau merupakan salah satu dari komplotan pria bertopeng yang telah membantai keluargaku!” tuding gadis itu.

“Hati-hati dengan kata-katamu, Nona. Jangan sampai ada orang yang mendengarnya.” James kembali mengingatkan Elektra dengan cukup tegas, meskipun pelan. Dia yang tadinya hendak beristirahat beberapa saat, terpaksa harus mengurungkan niat tersebut. James paham apa yang yang ada dalam benak Elektra saat ini.

“Dengarkan aku, Nona,” ucap James masih dengan suara pelan. “Tuan Christopher sudah menyadari bahwa posisinya diincar oleh anggota dewan yang lain. Entah siapa, tapi ayahmu telah mencium aroma tidak enak itu sejak beberapa bulan yang lalu. Hal tersebut diketahui setelah dia mengadakan penyelidikan. Namun, sayangnya Tuan Christopher belum dapat mengungkap dalang di balik rencana pemberontakan itu. Dia bahkan sempat menganggap desas-desus tentang pemberontakan tadi, hanya sebatas isu yang sengaja diembuskan ke permukaan untuk memecah konsentrasinya dalam menjalankan tugas.” James mulai memberikan penjelasan. Entah Elektra akan memahaminya atau tidak. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa putri sulung majikannya adalah gadis yang cerdas.

“Namun, itu bukan berarti bahwa Tuan Christopher tak melakukan persiapan apapun. Dia memerintahkanku untuk melakukan beberapa hal. Salah satunya adalah membuat tiga paspor palsu atas nama dirimu dan kedua adikmu. Apa yang kulakukan saat ini, merupakan rencana jangka panjang yang telah Tuan Christopher persiapkan untuk  melindungi anak-anaknya. Akan tetapi, sayangnya hanya kau yang berhasil kubawa pergi.” James mengakhiri penjelasannya dengan nada penuh penyesalan.

“Tuan Christopher berharap bahwa hal buruk apapun yang akan menimpanya dalam masa jabatan sebagai ketua dewan, tak membuat keturunannya ikut celaka. Dia ingin agar garis keturunan Hagen tak berhenti hanya pada dirinya.”

Elektra yang tadinya sempat berpikiran buruk tentang James, hanya dapat mengembuskan napas pelan. Dia menyandarkan kepala pada kursi pesawat. Tak ada hal lain yang dirinya lakukan, selain mengikuti instruksi pramugari dan ikut terbang ke kampung halaman James.

Penerbangan dari Irlandia menuju Inggris terasa begitu singkat. James dan Elektra telah tiba di negara Ratu Elizabeth tersebut. Dari bandara, James langsung membawa Elektra ke kampung halamannya di Salisbury.

“Kau tidak perlu banyak bicara, Nona. Ikuti saja permainanku,” pesan James, ketika mereka sudah berdiri di depan rumah dua lantai dengan dinding bata ekspos.

Sebelum pintu dibuka, Elektra sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Suasana sekitar rumah tadi begitu asri. Halamannya ditumbuhi rumput serta aneka tumbuhan dan beberapa jenis bunga, yang samar terlihat dari penerangan lampu taman berwarna kuning.

“Siapa saja yang tinggal rumah ini?” tanya Elektra setengah berbisik, saat dia mendengar suara langkah mendekat ke pintu.

“Nanti juga kau akan tahu, Nona. Ingat. Namamu adalah Cassandra,” pesan James sebelum suara langkah tadi berhenti di dekat pintu. “Olivia! Ini aku,” seru James tidak terlalu nyaring, berhubung saat itu sudah lewat tengah malam.

Tak ada jawaban dari dalam, selain suara kunci yang dibuka. Refleks, Elektra bersembunyi di belakang tubuh tegap James saat pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita seusia Margareth.

“Kenapa kau datang pada jam seperti ini, James?” tanya wanita bernama Olivia, yang tak lain adalah istri James.

“Maaf. Aku harus pulang mendadak,” sahut James. Pria itu terpaku beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Kali ini, aku pulang dengan membawa seseorang,” ucapnya menepiskan rasa ragu yang membuat dia terlihat kikuk.

“Siapa? Siapa yang kau ajak pulang?” tanya Olivia dengan tatapan penuh selidik pada suaminya.

James tak langsung menjawab. Dia meraih lengan Elektra, kemudian menarik pelan gadis itu agar memperlihatkan dirinya di hadapan Olivia yang langsung terbelalak.

“Siapa gadis ini?” tanya Olivia. Raut wajah serta nada bicaranya terdengar kurang bersahabat di telinga Elektra. Gadis itu seketika merasakan firasat tak nyaman.

“Biarkan kami masuk.” James yang sudah terlalu lelah, menerobos masuk sambil menuntun Elektra. Dia membiarkan Olivia dalam rasa penasarannya.

Wanita dengan roll rambut dan kimono tidur itu langsung menutup pintu, lalu mendekat kepada James. “Katakan! Siapa gadis ini?” desak Olivia tak sabar. Rasa was-was mulai hadir, saat melihat raut wajah sang suami yang tak seperti biasanya.

James menoleh sesaat kepada Elektra. Dia memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setelah itu, James mengalihkan perhatian kepada Olivia. Wanita berambut cokelat tersebut sudah memasang ekspresi seperti hakim, yang siap memberikan putusan hukuman pada terdakwa.

“Gadis ini bernama Cassandra. Cassandra Wilson,” jawab James dengan berat. “Cassandra merupakan putriku. Aku ingin agar kau memperlakukannya dengan baik. Sama seperti sikapmu terhadap Brianna.”

Olivia tertegun untuk beberapa saat lamanya. Pria yang telah menikah dengannya selama lebih dari lima belas tahun tersebut memang lebih sering berada di luar rumah untuk bekerja. Bagi Olivia, James adalah seorang suami dan ayah yang sangat baik, hangat dan sangat bertanggung jawab.

“Siapa wanita itu? Katakan,” bibir Olivia bergetar saat berucap demikian.

“Tidak ada wanita lain, Olivia,” jawab James tegas.

“Tidak ada wanita lain? Lalu, kenapa nama belakangmu tersemat di nama gadis ini, hah!” Olivia mulai lepas kendali. Telunjuknya yang lentik, lurus mengarah pada Elektra yang ketakutan. Gadis remaja itu segera bersembunyi di balik tubuh tegap James.

“Aku meminta kerja samamu. Mulai detik ini, Cassandra tinggal di rumah kita dan dia memiliki hak yang sama dengan Brianna. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Selebihnya … aku harap kau bisa mempercayaiku,” pungkas James sembari menggandeng Elektra, lalu membawanya naik ke lantai dua.

Olivia masih terdiam di tempatnya dengan dua tangan terkepal. Hatinya bergemuruh akibat dipenuhi oleh rasa cemburu. “Kau menyakiti hatiku dengan sangat dalam, James. Jangan salahkan aku jika membalas dengan sakit yang sama, atau lebih,” geramnya lirih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!