Part 4

..."Kala masih muda perempuan akan melihat lelaki dari kadar ketampanan. Pada saat usia mulai beranjak dewasa kemapanan menjadi tolok ukur yang diutamakan. Tetapi kala sudah paham akan ilmu agama, maka ia akan memilih lelaki dengan menggunakan kacamata yang menerawang jauh ke depan, di mana iman serta islamlah yang menjadi patokan."...

...***...

Keputusan besar telah Ghani ambil. Mau tidak mau, suka tidak suka harus diterima dengan lapang dada. Namun karena memang dasar si bungsu memiliki kadar keras kepala tinggi, ia keukeuh tak mau mengikuti. Segala macam cara gadis itu lakukan, tapi tak membuahkan hasil sama sekali.

"Bang Gilang bantuin Ama dong buat bujuk Ayah sama Bunda. Ama gak mau pindah, Ama gak bisa jauh-jauh dari Guntur, Bang Gilang!" seru Ama saat dirinya masuk tanpa permisi ke dalam kamar sang kakak.

"Tadi, kan udah Abang bantuin, Ma. Tapi Keputusan Ayah udah gak bisa diganggu gugat lagi," sahut Gilang jujur apa adanya.

Lelaki itu memang sempat kembali bernegosiasi dengan sang ayah agar mengizinkan adik manjanya untuk tetap tinggal di Ibu kota.

"Usaha Bang Gilang gak maksimal, gak mempan!"

Gilang menggeram sebal. Sudah dibantu bukannya berterima kasih ini malah menyalahkan. Adiknya yang satu ini memang benar-benar menyebalkan.

"Kamu sih tadi malah bongkar kartu dan pake acara bawa-bawa si geludug segala. Udah tahu Ayah gak suka sama dia, eh kamu malah mancing. Ya udah rasain aja getahnya!" omel Gilang yang berhasil membuat Ama meradang kesal.

"Bang Gilang jahat! Ama gak suka Bang Gilang!"

Lelaki itu menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Abang masih normal, gak mungkin embat adek kandung sendiri," katanya asal.

Ama menimpuk kepala sang kakak dengan bantal, hingga membuat Gilang mengaduh kesakitan. "Bang Gilang mah gak ada empati-empatinya sama adik sendiri. Ama berasa diadiktirikan!"

Gilang terbahak mendengarnya dan tanpa aba-aba ia langsung menarik lengan Ama agar duduk bersamanya di atas ranjang. "Pantat Ama sakit, Bang Gilang."

Jeritan sang adik malah memberikan hiburan tersendiri baginya yang kini tengah diliputi banyak pikiran yang membayang tiada henti. Pusing sekali rasanya, dan dengan cara seperti inilah ia bisa menghilangkan sejenak kemelut dalam hati.

"Dengerin Abang dulu, bisa?" cetus Gilang memulai mode serius.

Ama menggeleng keras dan bersidekap dada. Ia menatap sengit sang kakak lantas berkata, "Bang Gilang gak pantes pasang muka begitu. Ama mual liatnya!"

Tanpa komando Gilang memberikan sebuah jitakan di kening sang adik. "Gitu amat kamu sama kakak sendiri. Abang serius, Ma."

"Ama duarius, Abang."

"Serah lah!"

Gilang merasa frustrasi sendiri jika berhadapan dengan adiknya yang cerewet, serampangan, dan tahu aturan. Entah akan jadi apa jika kelak adiknya itu berumah tangga. Sudah bisa Gilang pastikan bahwa hanya laki-laki dengan kadar kesabaran di atas rata-ratalah yang sudi mempersunting Ama.

"Untuk kali ini aja kamu turutin kemauan Ayah sama Bunda. Ini demi kebaikan keluarga ki—"

"Gak mau. Ama gak bisa jauh-jauh dari Guntur, Bang Gilang. Nanti siapa yang bakal jagain Guntur di sini, kalau Guntur berpindah hati dan ninggalin Ama gimana?" potong gadis itu cepat tapi melemah di akhir katanya.

"Ya cari lagi lah, susah amat. Jangan mempersulit diri sendiri, dikira laki-laki di muka bumi ini cuma si geludug aja kali. Banyak, Ma, banyak!"

"Kalau ada yang deket kenapa harus cari yang jauh? Dan lagi hati Ama hanya buat Guntur, gak ada yang lain. Titik gak pake koma, pakenya tanda seru!" sengit sang adik tak mau kalah.

Gilang menjambak rambutnya penuh rasa frustrasi. Lama-lama ia bisa darah tinggi jika terus berhadapan dengan si bungsu. Sangat berbeda jauh dengan adik keduanya yang kalem, adem, dan tak suka banyak bicara. Ama itu seperti kenalpot racing.

"Udahlah Abang gak mau banyak basa-basi sama kamu. Pokoknya kamu harus ikut pindah sama Ayah dan Bunda," tukasnya tak mau menerima bantahan.

Tadinya ia akan bicara secara pelan-pelan, tapi nyatanya sang adik tak bisa diajak kompromi. Ya sudah langsung to the point saja, toh niatnya pun sama. Membujuk.

Ama sejenak menimang, bahkan ia mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Terlihat sangat amat menggemaskan. "Ok, Ama mau tapi ada syaratnya."

"Apaan?"

Senyum nakal terbit di sana. "Bang Gilang harus selalu kasih kabar dan laporan sama Ama tentang keseharian Guntur. 24 jam, tanpa nego!"

"Gila kamu! Dikira Abang ini mata-mata kali ah. Gak mau!" tolak Gilang sangat tidak setuju. Syarat macam apa itu? Adiknya itu memang aneh bin ajaib.

"Ya udah Ama juga gak mau pindah," ujarnya enteng. Gilang menggeram, jika tak berstatus sebagai adik sudah ia pastikan akan mengarungi Ama dan membuangnya ke rawa-rawa.

"Ok ... ok ... Abang turutin mau kamu. Udah sana keluar dan bilang sama Ayah dan Bunda," usirnya.

Ama mencebik tapi tetap mengikuti titah sang kakak. "Ama sayang Bang Gilang."

"Abang gak sayang Ama!" timpalnya yang langsung dihadiahi cubitan sadis.

"Bang Gilang jahat!"

Lelaki itu terbahak. "Nah itu baru adek abang. Yang tadi mah bukan," katanya santai. Ama tak menyahut dan lebih memilih untuk menutup pintu kamar sang kakak dengan kencang.

Gilang hanya mampu menggeleng lantas tungkainya bergerak untuk menuju kamar samping, di mana sang adik pertama tinggal. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Ghilsa. Terlebih lagi jarak akan memisahkan keduanya, meskipun ia tak terlalu dekat tapi tetap saja rasa sayangnya begitu besar.

Mau bagaimanapun Ghilsa membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Bukan penghakiman apalagi hinaan yang tak tahu aturan. Ia memang telah salah, tapi bukan tugas manusia untuk menghukum apalagi menghakimi. Cukupkah Allah yang kelak akan memberikan buah dari kesalahan yang telah Ghilsa perbuat.

"Udah tidur belum, Sa?" tanya Gilang dengan kepala melongok ke dalam. Ia melihat sang adik yang tengah duduk tertidur di meja belajar. Dengan lembut ia menyingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Ghilsa. Tak lupa ia pun membaringkan sang adik di ranjang.

"Seharusnya Abang bisa lebih memperhatikan kamu, mungkin kejadian ini gak akan pernah menimpa kamu," lirih Gilang syarat akan rasa sesal. Ia tersenyum getir kala melihat wajah pucat sang adik dengan dilengkapi mata sembap.

Gilang menarik selimut untuk menghangatkan tubuh sang adik lantas kakinya berjalan ke arah meja belajar, guna merapikan sedikit kekacauan yang telah Ghilsa perbuat. Namun gerak tangannya terhenti kala ia membaca sepucuk surat yang tergeletak di sana, terlihat ada jejak-jejak air mata yang sudah mengering.

^^^Maafkan aku karena lebih memilih pergi dan meninggalkan kamu. Kuharap kamu bisa bahagia dan lepas dari bayang-bayang kenangan pahit yang telah aku berikan. Aku bukan lelaki baik, dan aku tak pantas untuk menjadi pendamping kamu. Jaga diri kamu baik-baik yah, Sa. Aku mencintaimu dan calon buah hati kita.^^^

^^^Salam sayang,^^^

^^^H 💔 G^^^

Tanpa dapat dicegah tangan lelaki itu terkepal kuat dan menghancurkan surat tersebut hingga berakhir di tempat sampah. "Gua akan cari lo bajingan. Mau lo sembunyi di lubang semut pun akan gua cari!"

Gilang akui bahwa dirinya pun bukan lelaki shalih yang begitu paham akan agama. Tapi setidaknya ia masih lebih baik karena tak sembarang menebar benih lantas pergi meninggalkan. Hanya laki-laki pecundanglah yang melakukan perbuatan bejat tersebut.

Oleh sebab itulah agama harus selalu dijadikan sebagai arahan dan tujuan, agar kita tak tersesat jalan hingga mendengarkan bisikan setan yang mematikan. Carilah pasangan yang dengan kacamata islam, bukan tampang, apalagi jabatan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!