..."Perempuan butuh pemimpin yang mampu membawanya ke surga, bukan hanya membersamai di dunia."...
...***...
Hukum sebab akibat itu akan senantiasa menyertai, dan memang sudah sewajarnya dijalani penuh lapang hati. Tak ada satu pun manusia yang bisa menghindar ataupun menyangkal, karena yang saat ini kita tanam akan kita tuai di masa mendatang. Begitupun dengan hidup, kejadian pada masa kini adalah pembuka jalan bagi kehidupan di masa depan. Baik buruknya tergantung pada apa yang saat ini tengah diperjuangkan.
Ghani percaya betul bahwa musibah yang saat ini tengah menghimpitnya tak lain dan bukan karena campur tangan kelalaian dirinya pribadi. Sebab Allah takkan mungkin tiba-tiba menurunkan persoalan tanpa ada andil manusia itu sendiri. Dan mengintrospeksi serta mengevaluasi diri adalah hal utama yang ia lakukan kini.
"Kamu tetap tinggal di sini sampai lulus kuliah, sedangkan Ayah, Bunda, Ama, dan Ghilsa akan pindah untuk mengasingkan diri," tutur Ghani pada sang putra.
Hal itu jelas membuat Gilang terkejut bukan main. Tak ada angin, tak ada hujan sang ayah langsung memutuskan secara sepihak, sedangkan posisinya ia tak tahu menahu ihwal permasalahan yang kini tengah sang keluarga alami.
"Kasih tahu Gilang ada apa sebenarnya?" tuntut sang putra yang dibalas helaan napas berat oleh ayahnya.
"Gak ada apa-apa, Ayah hanya ingin suasana baru dan meninggalkan hiruk pikuk Ibu kota," alibinya menutupi.
Gilang menatap curiga sang ayah, tatapan menyelidik lebih tepatnya. "Apa ini ada hubungannya sama kejadian kemarin pagi?"
Ghani terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Netranya menerawang jauh, tapi cengkraman tangan di tepian pagar balkon cukup mengundang kecurigaan. Bahkan Gilang bisa menangkap sorot tajam mematikan milik sang ayah.
"Ghilsa kenapa?" Sontak Ghani pun menoleh dan bertukar tatap dengan sang putra. Seketika suasana menjadi tegang serta mencekam.
"Gak ada, kamu cukup kuliah yang benar di sini dan setelah lulus pindah ke rumah baru yang sudah Ayah siapkan di desa," ujar Ghani enggan menjawab kalimat tanya sang putra.
Ia tak ingin membebani pikiran putra satu-satunya itu, cukuplah ia yang dihantui rasa bersalah karena tak mampu menjaga serta melindungi salah satu putrinya.
"Ayah gak jago bohong dan gak bisa bohongin Gilang. Bilang terus terang, kan bisa?" katanya menuntut kejelasan.
Ghani tersenyum samar, netranya terasa memanas seketika. Namun sekuat tenaga ia menahan, agar tak terlihat lemah di hadapan Gilang. Ia tak mungkin menumpahkan air mata di hadapan putranya, itu bukanlah hal yang pantas untuk dipertontonkan.
Ia melirik Gilang sekilas lantas membuangnya ke sembarang arah. "Ghilsa hamil." Hanya dua kata yang mampu Ghani utarakan, tapi hal itu sangat berdampak buruk pada emosinya yang seketika langsung meletup.
Gilang mematung linglung dengan pandangan kosong ke depan. Bahkan kakinya terasa lemas seketika, ia tak lagi bisa berkata-kata. Adik pertamanya yang tak banyak berbicara, sulit bergaul, dan tak pernah berulah, kini mengacau. Parahnya itu sangat fatal dan sulit untuk dimaafkan.
Gilang mengepalkan tangannya kuat, hingga kuku-kuku jarinya yang panjang menancap sampai melukai telapak tangan lelaki itu. Tak ada rasa sakit yang dirasa, sebab ia sudah mati rasa. Kenyataan pahit ini sungguh sangat membuatnya kecewa sekaligus meradang tak terima.
"Kurang ajar! Kenapa Ayah baru bilang sekarang?" Emosi Gilang terlihat sangat berapi-api, bahkan urat lehernya pun mengencang.
Kalimat makian begitu ringan Gilang tuturkan, dan Ghani tak bisa berbuat banyak selain diam. Ia masih bingung sekaligus marah atas takdir yang menimpa sang putri. Rasa kecewa pun tak kalah andil ikut meramaikan.
"Cukup, Lang. Emosi gak akan menyelesaikan masalah. Ayah sedang mencoba untuk mengikhlaskan dan menerimanya," pinta Ghani dengan mata tertutup rapat. Kesakitan sangat terlihat dengan jelas di sana.
Sekuat tenaga ia menahan serta mengeyahkan, tapi rasa sakit itu kian naik ke permukaan. Dan emosinya yang memang tak stabil selalu meletup tanpa bisa dicegah.
"Tapi si berengsek itu harus bertanggung jawab!" amuk Gilang begitu kasar dan tegas. Ghani menggeleng tak setuju. "Hukum sebab akibat itu akan selalu ada, mungkin sekarang dia bisa selamat dari hukum dunia. Tapi di akhirat nanti, dia tak lagi bisa menghindari."
Gilang menatap marah sang ayah. Ia tak terima dan takkan pernah bisa berdamai dengan lelaki kurang ajar yang telah menghancurkan masa depan sang adik. Mau bagaimanapun keadilan harus tetap ditegakkan.
"Bukan sepenuhnya salah lelaki itu, mereka melakukannya atas dasar suka sama suka," ungkap Ghani melemah di akhir kalimatnya.
"Bodoh!" umpatnya kesal.
"Perempuan itu seperti gembok dan lelaki kuncinya. Jika kendali sang perempuan sudah dikuasi oleh sang laki-laki, maka dengan sukarela si perempuan akan menyerahkan apa pun, termasuk kehormatan. Itulah yang Ayah takutkan saat kamu lebih memilin jalur pacaran, Ghilsa adalah salah satu bukti nyata dari bobroknya hubungan tak halal."
Gilang terdiam cukup lama. Perkataan sang ayah sangat amat menohok dan menusuk hati. Ia kehabisan kosakata untuk menyangkal ataupun membenarkan. Sebab apa yang telah Ghani ungkapkan adalah sebuah fakta yang marak terjadi di luaran.
"Kepindahan ini bukan bertujuan untuk menghindari masalah. Tapi ini justru menjadi jalan keluar agar Ghilsa tidak dikucilkan secara sosial. Psikisnya tidak sekuat kamu ataupun Ama, dia lemah dan rapuh," imbuh Ghani karena sang putra yang tak kunjung buka suara.
"Ama mau ikut pindah?" tanya Gilang mencemaskan si bungsu, sebab ia sangat yakin bahwa adik keduanya itu tak mudah dibujuk. Keras kepala, itulah Ama.
"Ayah dan Bunda sedang mencari waktu untuk membicarakan masalah ini sama Ama. Ayah harap dia bisa mengerti dan memaklumi, meskipun Ayah yakin dia akan menolaknya," sahut Ghani pesimis.
"Ama biar tinggal di sini sama Gil—"
"Gak. Ayah akan membawa Ama pindah. Ayah gak mau ambil risiko lagi!"
"Ada Gilang yang akan jaga Ama."
Ghani menggeleng tegas. "Keputusan Ayah sudah bulat. Hanya kamu yang akan tinggal di sini."
Gilang hanya mampu mengangguk singkat. Angannya berkeliaran dan masih sulit untuk menerima kenyataan. Jujur saja, ia merasa gagal sebagai seorang kakak. Ia tak bisa diandalkan dan malah sibuk berpacaran. Dirinya bukanlah kakak yang baik.
"Pesan Ayah hanya satu, jangan bermain-main dengan kata cinta. Kalau memang sudah siap, menikahlah. Ingat, Lang, kamu punya dua adik perempuan dan seorang ibu. Melukai hati perempuan lain, sama saja seperti melukai Bunda, Ghilsa, dan juga Ama." Wejangan sang ayah cukup berhasil memukul telak kebatuan hati Gilang.
"Allah sudah menyediakan yang halal, kenapa kamu harus memilih jalur yang haram? Jangan kecewakan Ayah dan Bunda," sambung Ghani semakin terasa memberatkan beban di pundak Gilang.
"Maafin Gilang, Yah," katanya syarat akan rasa sesal. Dengan lembut Ghani merangkul bahu sang putra dan menepuknya beberapa kali.
"Kelak bahu ini yang akan menjadi sandaran dan memikul tanggung jawab besar. Kamu harus bisa menjadi pemuda yang teguh akan pendirian, dan juga bertanggung jawab. Ingat kalau perempuan butuh pemimpin yang mampu membawanya ke surga, bukan hanya membersamai di dunia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments