..."Lelaki sejati itu tak suka memacari, tapi langsung tancap gas untuk menikahi. Sebab yang namanya mencintai harus diikrarkan dengan janji suci, bukan janji ilusi." ...
***
Gilang akui ia sudah keliru dalam melangkah, mengajak seorang gadis untuk berpacaran bukanlah hal yang dibenarkan. Bahkan ia berani bertaruh, jika sang ayah dan bunda tahu, pasti mereka akan mengomel tiada henti. Sebab dalam keluarganya sangat anti pacaran, dan lebih memilih jalur ta'aruf sebagai proses menuju pernikahan.
Tapi yang dilakukannya kini sudah sangat melenceng dari aturan. Entah akan bernasib seperti apa jika sampai sang orang tua tahu akan kebenaran tersebut. Mungkin saja ia akan kena ceramah tujuh hari tujuh malam, atau bisa juga kena damprat habis-habisan. Sudah bisa dipastikan dirinya takkan bisa lepas dengan mudah. Gilang yakin akan hal itu.
"Kita pacaran syar'i, Aira, hanya sebatas status supaya kamu gak berhubungan dengan laki-laki lain," ungkap Gilang meyakinkan wanita di hadapannya yang terlihat gusar tak tenang. Sangat terlihat dengan jelas bahwa ia tak sependapat dengan Gilang.
"Maaf, aku gak bisa terima Kak Gilang. Abi gak izinin aku buat pacaran," tolak Humaira selembut dan sepelan mungkin, agar sang lawan bicara tak tersinggung ataupun meradang.
"Kita bisa backstreet, Aira," sanggah Gilang kembali membujuk. Ia sudah sejak lama menaruh perasaan lebih pada Humaira, dan dengan cara mengikatnya dalam hubungan pacaran adalah hal yang harus dilakukan.
Humaira menggeleng lemah. Ia tak ingin membuat sang ayah kecewa karena dirinya yang tak mampu mengemban amanah. Hati gadis itu memang sudah terpaut pada Gilang, tapi jika membahas perihal pacaran, ia lebih baik mundur secara perlahan.
"Kita pacaran sehat, gak ada kontak fisik ataupun hal lainnya yang menjurus ke arah zina. Hanya status, Aira," kata Gilang keukeuh.
Kegamangan sangat terlihat dengan jelas di kedua netra Humaira, ia dilanda kebingungan yang tiada terkira. Di satu sisi dirinya tak ingin membuat sang ayah kecewa, tapi di sisi lain cintanya pada Gilang tak bisa dikesampingkan juga.
"Kak Gilang yakin gak akan berbuat yang macam-macam? Hanya sebatas status." Dengan cepat Gilang mengangguk penuh kemantapan. Senyum lelaki itu terbit dengan begitu lebar.
Secara perlahan gadis itu pun mengangguk pelan lantas menunduk dalam. Ia masih bingung, apakah ini keputusan yang tepat atau malah sebaliknya. Tapi Gilang sudah berjanji tidak akan bermacam-macam dan hanya sebatas status saja. Ia harap omongan Gilang dapat dipegang dan dibuktikan.
"Makasih, Aira," ucapnya begitu senang bukan kepalang, bahkan senyum lebar tak pernah surut di kedua sudut bibir. Sedangkan sang lawan bicara hanya menampilkan sunggingan tipis saja.
Humaira tersenyum getir kala bayangan satu tahun lalu itu terbayang begitu saja. Tanpa dapat dicegah air mata kembali turun dari pelupuk netra. Hatinya sakit tak terperih, terlebih kala ia mengingat kenangan manis yang sempat mereka rangkai berdua.
"Abi sudah ingatkan kamu untuk tidak pacaran, tapi kamu malah enggan menuruti. Sekarang kamu patah hati karena lelaki pilihan kamu tak lebih hanya pengumbar janji yang tak bisa diajak untuk berkomitmen," tutur sang ayah pada sang putri yang kini tengah dilanda galau tingkat tinggi.
"Aira cinta sama Kak Gilang, Abi," lirihnya pelan dan terdengar sangat amat memilukan. Ia masih belum bisa terima akan putusnya hubungan dengan sang kekasih. Terlebih cara mereka mengakhiri hubungan karena di bawah tekanan, bukan murni atas kemauan mereka pribadi.
Ali menggeleng tak sepaham. "Bedakan antara nafsu dan cinta, kalau dia benar-benar memiliki perasaan lebih sama kamu, dia akan menjaganya dan takkan pernah menodai cinta tersebut hanya karena ikatan pacaran yang tak halal. Kamu sudah keliru, Aira!"
Humaira yang sedari tadi menunduk serta berkawan tangis pun mendongak takut, ia tak berani jika harus beradu debat dengan sang ayah, terlebih hanya perihal cinta saja. Tapi ia tak bisa tinggal diam kala lelaki yang dicintai, direndahkan seperti itu.
"Jangan sampai kamu gadaikan cinta Allah hanya untuk cinta dunia yang penuh tipu daya. Hanya rasa sakit dan kecewalah yang kelak akan kamu tuai," ujar Ali kala sang putri sudah bersiap untuk angkat suara.
"Aira yakin cepat atau lambat Kak Gilang akan menikahi Aira, Bi. Ini hanya masalah waktu saja," sangkal gadis itu membela.
Ali menghela napas panjang. "Hubungan kalian sudah berakhir, bukan? Apalagi yang ingin diperjuangkan. Gak ada, kecuali lelaki itu mau datang untuk meminang kamu pada Abi."
Setelahnya Ali langsung berlalu pergi, meninggalkan sang putri yang kembali berkawan geming. Gilang takkan mungkin mau melakukan hal tersebut, sebab Humaira tahu betul bahwa Gilang belum siap untuk melangkah menuju hubungan yang jauh lebih serius lagi.
Kemarin saja ia tak mampu mengubah pola pikir Gilang perihal pernikahan. Ia menagih sebuah kepastian dan beralibi akan ada seorang ikhwan yang berniat untuk melamar, tapi tanggapan Gilang justru mundur dan tak ingin memperjuangkan. Lelaki itu malah memilih untuk memutuskan hubungan.
Padahal ia sudah mati-matian memancing agar Gilang mau menikahi, bukan hanya berani memacari. Kenyataan itu jelas sangat melukai hati, dan ia yakin bahwa setelah ini hubungan mereka tidak mungkin berjalan dengan baik-baik saja.
Sedangkan di sisi lain, tak jauh beda. Gilang tengah didakwa oleh sang orang tua karena berani menjalin hubungan tak halal secara diam-diam di belakang mereka. Meradang, kecewa, dan kesal. Semua perasaan itu sudah saling tumpang tindih dan sulit untuk dienyahkan.
"Kamu laki-laki yang kelak akan menjadi seorang pemimpin. Kalau saat ini saja kamu berani melanggar aturan Allah, apa kabar dengan kamu di masa mendatang? Menjemput jodoh dengan cara berpacaran adalah kebodohan yang hanya akan menuai banyak dosa dan kesakitan. Kamu sudah keliru, Gilang!"
Kalimat sarkas itu Ghani layangkan pada sang putra yang tertangkap basah menjalin hubungan tak halal. Ia merasa kecewa dan gagal, karena putra satu-satunya itu ternyata belumlah dewasa dan bisa diandalkan. Lemah dalam pendirian, dan tak bisa berkomitmen untuk menuju jenjang pernikahan.
"Aku udah putus, Yah, lagi pula Aira juga akan berta'aruf dengan laki-laki lain," beritahu Gilang pada sang ayah dan bunda yang terlihat masih kesal padanya.
Ghina melirik penuh rasa tak percaya pada sang putra. "Putus? Bulan lalu kamu mengaku kalau sudah gak menjalin kasih lagi dengan Aira, tapi buktinya kamu masih tetap berhubungan, bukan? Bunda bisa jamin kalau sekarang pun kamu akan kembali melakukan hal itu!"
Ghina masih mengingat dengan betul kejadian bulan lalu kala ia mengetahui hubungan di antara Humaira dan juga sang putra. Pada saat itu juga ia langsung menyidang keduanya, dan meminta untuk mengakhiri hubungan. Di depannya mereka seperti sudah tak menjalin kasih, tapi di belakangnya, kedua muda-mudi itu masih tetap berhubungan.
Gilang menghela napas singkat. "Gilang serius, Bunda. Kemarin Aira minta putus dan dengan terpaksa Gilang mengiyakan, karena Gilang gak bisa kasih Aira kepastian."
"Makanya Ayah juga bilang apa, nikahi. Perempuan itu mau yang pasti, bukan hanya sekadar dipacari!" sembur Ghani merasa puas. Ia seperti tak tahu saja, bahwa hati sang putra kini tengah remuk redam.
"Bang Gilang gak peka. Maksud Mbak Aira itu buat mancing Bang Gilang supaya berani ambil langkah buat menikahinya. Bukan benar-benar Mbak Aira akan berta'aruf dengan laki-laki lain!" serobot si bungsu yang sedari tadi mencuri dengar perbincangan.
"Nah bener tuh kata adik kamu!" timpal sang bunda menambahi. Hal itu cukup membuat Gilang bingung dan tak bisa berpikir jernih. Apakah yang dikatakan oleh sang adik itu benar?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments