...Jika saling mencinta jangan nodai dengan kata pacaran. Sebab di antara keduanya tak memiliki benang merah serta saling berlainan."...
...***...
Mengakhiri hubungan tak halal itu sudah menjadi sebuah keharusan yang tak lagi bisa ditawar-tawar. Sebab jika terus dilakukan, itu sama saja seperti menentang aturan Tuhan. Bagaimana mungkin bisa menaati aturan manusia, jika aturan Allah saja dilanggar dengan sadar dan penuh rasa sukacita. Pertanda akhir zaman ya seperti ini, antara yang hak dan batil dicampur baur jadi satu.
Islam melarang hamba-Nya berpacaran sebab di dalamnya hanya terdapat segudang mudharat dan kerugian. Entah itu berupa tumpukan dosa, ataupun hal-hal sepele yang kerapkali tak diambil pusing oleh pelakunya. Jika saja kita bisa membuka mata dan hati, bahwa Allah menurunkan sebuah larangan bukan tanpa sebab. Melainkan untuk kebaikan diri kita sendiri.
Coba lihatlah ke depan, dan perhatikan dengan detail dampak buruk dari pacaran sebelum halal. Tak jarang penganutnya terjebak dalam keadaan yang mengharuskan mereka untuk menikah karena sebab hamil di luar nikah. Tentu saja itu bukan menjadi rahasia, melainkan sudah menjadi konsumsi publik. Yang paling dirugikan jelas wanita, kenapa bisa?
Sebab yang mengandung, melahirkan, serta merawat dipegang sepenuhnya oleh perempuan. Yang malu secara hukum sosial jelas perempuan, yang dikucilkan pun pasti perempuan. Sedangkan laki-laki? Ia seperti manusia tanpa dosa yang tak tahu apa-apa. Padahal sudah sangat jelas bahwa ia pun ikut andil.
Oleh sebab itulah Islam hadir di tengah-tengah kita. Mengangkat harkat dan martabat seorang wanita yang dulu tak dihargai, bahkan hanya dijadikan budak dan pemuas napsu saja. Islam telah memerdekakan kaum wanita, tapi kenapa sekarang wanita itu sendiri yang malah merendahkan dirinya hanya karena cinta buta yang mengalirkan banyak dosa.
"Menikahlah dengan lelaki pilihan Abi, jangan menunggu yang tidak pasti. Itu hanya akan membuang-buang waktu kamu saja," tutur Ali memohon.
Sebagai seorang ayah ia tak ingin sang putri kembali terjebak dalam hubungan yang tak seharusnya. Ia ingin yang terbaik, dan lelaki bernama Gilang itu bukanlah pendamping yang baik untuk sang putri.
Di matanya lelaki yang hanya berani memacari tak lebih dari lelaki pecundang yang tak memiliki nyali. Lebih mementingkan napsu dibandingkan dengan hakikat cinta yang sebenarnya. Ia takkan melepas putri satu-satunya pada lelaki sejenis itu.
"Aira gak mau, Abi," tolaknya dengan mata memerah menahan tangis. Ia masih mengharapkan Gilang, ia masih mencintai sang mantan, dan mungkin ia pun akan sulit untuk melupakan.
Ali mengelus puncak kepala sang putri penuh sayang. "Jangan menangisi laki-laki sepertinya, air mata kamu terlalu berharga untuk lelaki seperti dia!"
Humaira memeluk sang ayah dari samping dan terisak di sana. Hatinya menjerit sakit, batinnya bergejolak tak tahan. Ia tak bisa lepas dari bayang-bayang Gilang.
"Lamarin Kak Gilang buat Aira, Bi," lirihnya penuh harap. Ali terkejut bukan main, bahkan ia pun sedikit menyingkir.
"Jangan aneh-aneh, Aira!"
Humaira menggeleng pelan dan menghapus kasar air matanya. "Kalau Kak Gilang gak berani datangin Abi, kita aja yang datang ke rumahnya. Aira tahu rumah Kak Gil—"
"Cukup, Aira! Kamu sudah dibutakan oleh napsu dan ambisi ingin memiliki. Percayalah itu bukan cinta yang suci," potong Ali tak ingin kembali mendengar penuturan ngaco sang putri.
"Ibunda Khadijah melamar Rasulullah diperbolehkan. Kenapa Aira gak boleh ngelamar Kak Gilang? Bukankah itu dihalalkan dalam Islam!" sanggah gadis tersebut berhasil mengskakmat sang ayah.
Ali menetralkan gemuruh dalam dada yang terus meronta tak terkendali. Ia terkejut bukan main dengan perkataan sang putri yang tak pernah sedikit pun terbesit di benaknya. Putri kecilnya yang polos dan tak pernah dibiarkan bergaul dengan sembarang lawan jenis itu kini telah tumbuh dewasa dan diperbudak oleh cinta buta
"Kalau dia merasa dirinya lelaki, dia sendiri yang akan datang pada Abi. Kalau mau kita yang datang ke sana, suruh lelaki itu pakai rok dan jilbab!" kesal Ali meradang.
Anak gadisnya terlalu berharga hanya untuk lelaki seperti Gilang. Masih banyak lelaki lain yang menawarkan untuk meminang, dan menjanjikan pernikahan. Ia takkan sudi merendahkan dirinya sendiri untuk memenuhi pinta sang putri.
...***...
Di sisi lain, tepatnya di kediaman Ghani sekeluarga tengah terjadi keributan. Gilang dan Ama yang memang heboh serta memiliki tingkat kekepoan di atas rata-rata pun tak mau ketinggalan, mereka segera menggali informasi ke sumber suara berasal. Dan keduanya dibuat mati kutu kala melihat sang bunda yang tengah memarahi Ghilsa—anak kedua dari Ghina dan Ghani—tapi kegiatan menguping mereka dihentikan paksa karena kedatangan sang ayah tercinta.
"Ada apa pagi-pagi sudah ribut?!"
Suara tegas Ghani mengambil fokus semuanya, terlebih Gilang dan juga Ama yang mematung linglung. Mereka berada di ambang pintu, dan sudah bisa dipastikan bahwa keduanya tidak akan lolos dengan mudah dari dakwaan sang ayah.
"Sejak kapan kalian diajarkan menguping, hm?" Pertanyaan itu Ghani layangkan bersamaan dengan tangannya yang bergerak untuk menjewer kuping Ama dan juga Gilang.
"Sakit, Ayah, lepas," pinta Ama meringis. Sedangkan Gilang terlihat santai saja, jeweran ayahnya tak sedikit pun terasa sakit. Adiknya memang terlalu berlebihan.
"Awwww, sakit, Yah!" jerit Gilang saat Ghani memelintir telinganya dengan begitu sadis.
"Berangkat ke kampus sana. Kaya gak diajarin etika sama tatakrama aja kalian ini. Mau Ayah potong kuping kalian?"
"Jangan!" kompak keduanya.
"Ya udah sana ke kampus!" titah Ghani tegas.
"Lepas dulu dong, Yah, bisa copot beneran nih kuping Gilang," kata sang putra.
Ghani menurut dan langsung mengusir putra serta putrinya untuk segera bergegas ke kampus. Ia menghampiri istri dan juga putri keduanya yang tengah terduduk lesu di lantai.
Sedangkan Ama dan Gilang sibuk berbisik-bisik di anak tangga. Kedua tungkai mereka enggan untuk pergi, tapi jika memaksakan diri untuk tetap berada di sana, keduanya tak berani.
"Bang Gilang sih ribut mulu, jadi ketahuan sama Ayah, kan!" omel Ama pada sang kakak. Dengan sadis Gilang menjitak kepala Ama.
"Yang dari tadi ngoceh dan buat keributan itu kamu, bukan Abang. Mulut kamu gak bisa mingkem sih jadi ketahuan!" sembur Gilang tak terima.
Kedua netra Ama mulai berembun, jejak air mata sudah siap untuk ditumpahkan. "Bang Gilang jahat! Dengkul Ama aja masih sakit, terus sekarang ditambah lagi Abang jitak kepala Ama. Laporin Ayah baru tahu rasa!"
Kaki gadis itu tersandung karena berdesakkan di anak tangga kala tadi menghampiri sang bunda dan juga Ghilsa. Dengkulnya memar karena ulah Gilang yang mendorong Ama dengan sangat sadis.
Gilang malah tertawa tanpa dosa seraya merangkul bahu sang adik mesra. "Jangan main lapor dong, Ayah, kan bukan pak RT."
Ama memutar bola mata malas dan mencubit kencang pinggang sang kakak. "Bang Gilang jahat! Bang Gilang nyebelin! Ama gak mau berangkat ngampus sama Bang Gilang!"
"Sakit kali, Ma. Ya udah sana berangkat sama di Geludug aja, dimarahin Ayah sama Bunda baru nyaho!" sahutnya semakin menyulut emosi Ama.
"Ama doain Bang Gilang susah dapat jodoh. Mbak Airanya ditikung cowok lain, Aamiin!" seru gadis itu lantas melangkah pergi meninggalkan Gilang yang terpaku di undakan tangga terakhir.
"Kasih doa yang baik-baik kek, Ma. Jahat bener kamu sama abang sendiri!" teriak Gilang setelah beberapa saat berkawan geming. Mendengar nama Humaira saja sudah membuat dadanya berdebar dan linglung, apalagi jika mereka kembali dipertemukan.
"Bang Gilang yang jahat. Ama mah baik hati dan tidak sombong!" ujar Ama saat sebelum dirinya berhasil menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan dentuman keras.
Gilang menggeleng frustrasi, dalam hati ia berharap bahwa malaikat tak mencatat doa sang adik, dan Allah tak sudi untuk mengabulkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments