Di jalan menuju rumahku, ini sudah sore hari ketika aku pulang sekolah, beda kali ini aku bersama Eri. Kami akan menyelidiki semua hal yang terjadi, dan bagaimana itu bisa terjadi.
Sesampai di rumah, Eri duduk di sofa dan aku ke dapur menyiapkan minuman dan makanan ringan. Aku melihat Eri sangat antusias, dia mengeluarkan satu bukunya yang agak tua dan kusam. Aku membawa baki minuman dan makanan ringan dan langsung duduk di sampingnya.
“Dari semua yang aku pahami dan pelajari, aku merasa ada dunia lain selain dunia kita dan semua itu di yakinkan oleh 2 orang yang kita temui 3 hari kemarin.” Eri menjelaskan dengan semangat dan menggebu-gebu, aku menanggapinya dengan mengangguk-angguk paham. “Kamu ingat ucapan mereka sebelum mereka pergi ke lingkaran hitam itu.”
Aku mengangguk lagi, aku sangat-sangat ingat setiap ucapan dan momen itu. Eri menatapku dengan serius “Kamu di bilang Putri Leo dan aku di bilang keturunan Asli Aries.”
Aku mengangguk, dia benar. Putri Leo apa maksudnya pun aku tidak tahu. Eri meminum air di depannya “Aku serasa omong sama robot yang cuman bisa angguk-angguk.”
Aku menatapnya malas, padahal aku sudah serius-serius ingin mendengar ceritanya. “Lalu apa hubungannya?.”
Eri menepuk jidatnya “Dasar, itu saja tidak mengerti.” Ingin sekali aku memukulnya dia dengan nampan di depanku. Melihat wajah tidak bersahabat dariku, Eri tersenyum cengengesan “Baiklah-baiklah, jadi gini. Aries dan Leo itu kan zodiak, jadi mungkin di dunia lain sana ada negeri bernama Leo, Aries, Gemini dan zodiak lainnya.”
Aku melempar keripik padanya “Dasar aneh, mana ada hal yang seperti itu.”
“Aku serius, mungkin di luar sana ada yang namanya Galaksi Zodiak dan nama planet-planetnya ada zodiak kita.” Eri mencoba meyakinkanku, namun ucapannya tidak benar. “Coba aku tanya, kapan kamu berulang tahun?.”
“17 Agustus 2001” Jawabku dengan ragu, masa iya ada tangan namanya planet Leo, itu sangat tidak mungkinkan “Lalu apa hubungannya, zodiak itu hanya zodiak, tidak lebih.”
“Itu jawabannya, kamu lahir pada 17 Agustus berarti bintangmu adalah Leo, sedangkan aku 29 Maret berarti Zodiakku adalah Aries. Ini sudah membuktikan semua Tin.” Eri menjelaskan dengan penuh penghayatan. Anak ini benar-benar aneh.
Aku menggeleng “Tetap saja itu tidak logis, mana ada planet yang mananya Leo, Virgo atau yang lainnya.”
“Lalu penculikan kamu 3 hari yang lalu dan matamu berubah menjadi merah itu logis?” Sekakmat, aku tidak bisa menjawabnya. Eri tersenyum kala aku tidak bisa membalas perkataannya.
Aku tetap menggeleng “Lalu bagaimana dengan semua orang, mereka pasti memiliki zodiak kelahiran masing-masing, tapi tidak tuh seperti kita.” Aku berganti tersenyum kala membungkamnya.
Dia mengangguk mengiyakan, lalu berpikir entah apa itu. “Aku tidak tahu, mungkin ini salah dan mungkin ini benar. Kita harus mencari lebih lanjut.”
Aku menatap Eri tidak mengerti, bagaimana caranya kita mencari tahu itu. Tidak mungkin menanyai orang-orang di luar sana, yang ada kita yang di anggap kurang waras. Melihat ke tidak mengertikan dari raut wajahku “Tin, coba kita geledah kamar ibu kamu, mungkin aja di sana ada petunjuk. Tapi kalo di bolehin sama kamu.”
Aku mengangguk, tidak ada salahnya. Siapa tahu yang di ucapkan Eri benar. Aku dan Eri menggeledah kamar ibu dengan saksama “Jangan sampe berantakan!.”
Kami mencari di setiap sudut kamar ibu, dari kasur, lemari, bawah ranjang dan semuanya. 30 menit aku dan Eri bergulat mencari sesuatu yang mencurigakan namun hasilnya nihil. Aku sudah menyerahkan tidak ada gunanya, entah apa yang di sembunyikan ibu dariku.
Sudah kelewat petang Eri pulang ke rumahnya, dan aku membersihkan gelas dan piring. Rumah ini tampak sepi, sangat sepi. Biasanya ada ibu yang selalu menanyakan apa pun itu padaku, rasanya sangat sesak bila mengingat hal itu semua. Rumah ini sepi tak bernyawa, hanya kesunyian yang menemaniku setiap hari.
Aku kembali menatap bingkai foto di dinding, hanya ada aku yang sedang merangkul angin. Aku tidak mengerti bagaimana ibu bisa hilang dari foto ini. Aku mengacak-acak rambutku, semuanya terlalu susah untuk aku mengerti. Semua begitu cepat terjadi hingga aku tidak bisa mengartikan apa yang aku lihat dan aku rasakan.
Aku mengusap bingkai itu namun dia jatuh hingga kacanya pecah. “Apa itu?” Aku melihat sebuah tulisan di balik foto. Aku mengambilnya, menyingkirkan pecahan kaca yang menutupinya. Aku tidak mengerti arti dari tulisan ini, hurufnya seperti Aksara, tapi bukan Aksara.
Setiap bingkai foto aku jelajahi namun hanya satu foto ini yang ada tulisannya. Aku memukul-mukul kepalaku, kenapa begitu rumit mengartikan semuanya. Aku menyimpan foto ini di tas sekolahku, besok akan aku tunjukan ini pada Eri.
“Kamu menemukan sesuatu yang lain?” Tanya Eri di depanku. Ini jam istirahat, kami makan berdua di kantin. Memang sedikit aneh makan bersamanya yang biasanya dia selalu memalak anak-anak lain.
Aku menggeleng, hanya itu yang aku tahu. Suasana Kantin begitu hening padahal ramai di dalamnya, mungkin karena ada Eri dan kawan-kawannya di sini.
Eri mengangguk “Aku tidak mengerti ini tulisan ini. Kenapa menjadi sangat rumit seperti ini sih.” Aku tersenyum ketika Eri mengacak-acak rambutnya “Kenaoa kamu ketawa?. Ouh iya, selain matamu menjadi merah itu, kamu bisa apa lagi?.”
“Aku tidak tahu, kemarin kali pertamanya aku seperti itu.” Belum genap seminggu aku mengenalnya, kamu sudah mempunyai banyak urusan. “Emang kamu bisa apa saja?.”
“Hanya kekuatan telekinesis.”
Di kantin tadi aku dan Eri masih belum menemukan jawaban, aku memilih mencari tahu sendiri apa yang terjadi. Kita memutuskan untuk mencari tahu sendiri-sendiri, sampai kami menemukan sesuatu yang janggal baru kami bertemu. Sangat aneh juga aku tertemu dengannya setiap hari.
“TINAAA.” Teriak Agnia sedang berlari ke arahku. Dia terlihat menggebu-gebu, nafasnya tersengal-sengal “Kamu, kamu, kamu sama Eri si Bangor itu temenan? Tadi aku liat kamu sama si Bangor itu makan bareng di kantin.”
Mulai hari ini dan seterusnya dalam satu tahun aku, kelasku adalah X IPS 1. Kelas yang dekat dengan lapangan utama, murid di sini sebanyak 34 termasuk aku. Dan seperti biasa di dalam kelas pasti ada anak yang aktif, ada juga yang pendiem, ada yang Bangor kayak si Eri dan ada juga yang taat aturan.
Aku memutar bola mataku, yang benar saja dia teriak-teriak seperti itu hanya untuk menanyai hal yang tidak penting sama sekali. “Iya.”
“Atau jangan-jangan.” Agnia tersenyum miring sembari menyipitkan matanya “Kamu sama dia khem khem.”
“Apa sih!, Aku cuman temenan bukan apa-apa.”
Masih dengan senyum miringnya “Iya kok aku percaya, percaya banget.” Di balik perkataannya, dia benar-benar tidak percaya. Aku memukul Agnia dengan bukuku. Agnia berlari memutari meja sembari tertawa “Iya kok aku percaya, jangan pukul-pukul donk.”
Aku berhenti dan duduk di kursi kembali. Agnia di depanku masih tersenyum aneh “Cieee yang Deket sama kakak kelas.” Setelah perkataannya dia pergi begitu saja keluar kelas.
“AGNIAAAAAA.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments