“Bu aku pulang” Ucapku merapikan payungku dan melepas sepatu yang basah. Aku menengok ke segala arah, tidak ada jawaban dari ibu tapi suara yang berisik dari dalam rumahku. Tidak biasanya ibu memiliki tamu. “Bu?.”
Aku tidak bisa membuka pintu, pintunya terkunci dari dalam. Aku menengok ke jendela yang tertutup dengan tirai tipis namun aku masih bisa melihat ke dalamnya. Tidak ada yang aneh, tidak ada orang, namun suara berisik itu dari mana, tidak mungkin dari radio atau televisi sebab kami tidak punya.
Buk
Mataku melebar ketika aku melihat tubuh ibu terlempar ke dinding, dia mengerang kesakitan. Aku mencoba mengetuk pintu namun tertahan melihat 3 orang Pria dewasa berbaju serba hitam menendang tubuh ringkih ibu. Rasanya sangat sesak melihat ibuku sendiri di pukuli oleh orang yang tak di kenal.
“Di mana anak itu?” Tanya salah satu pria itu sembari menjambak rambut ibu dengan keras. Ibu menggeleng dan tersenyum. Aku tidak mengerti, seharusnya ibu meminta tolong dan menangis, namun malah sebaliknya dia tertawa. Membuat pria berbaju hitam itu semakin marah “Sepertinya kamu memilih mati.”
“Kalian tidak akan mendapatkan anak itu, hahah” Di suara ibu yang serak, dia masih tertawa.
Dor
Satu tembakkan berhasil menembus perut Ibu. Di saat-saat kesadarannya mulai menipis, dia menemukan wajahku di balik jendela. Dia tersenyum dan menyuruhku pergi melalui tangannya. Pria berbaju hitam itu mengikuti arah tatapan dan tangan Ibuku dan mereka menemukan wajahku.
“TINA LARIII” Teriakan terakhir ibu saat sebelum satu tembakan mengenai kepala. Aku yang merasa panik, aku berlari di derasnya hujan. Tanpa alas kaki, aku berlari entah ke mana. Perasaanku bercampur aduk, antara sedih, bingung dan entah apa itu. Rasanya duniaku hancur. Air mataku terhapus oleh derasnya hujan “Ibu....”
Di belakang sana 3 orang Pria itu mengejarku, mereka berlari sangat cepat. Sangat jelas kalau mereka berhasil menangkapku, tapi siapa mereka mencariku sampai-sampai ibu yang menjadi korbannya.
Aku tidak tahu harus melakukan apa sebab hatiku terasa sangat sakit mengingat kejadian tadi. Melihat ibuku sendiri tertembak dan aku malah pergi berlari meninggalkannya. Aku mengambil jalan sempit, siapa tahu ada rumah seseorang yang terbuka. Namun.
“Jalan buntu” Aku mengutuk diriku sendiri, bagaimana bisa aku tidak tahu jalan ini. Tiga Pria dewasa itu berhenti berlari dan berjalan mendekat ke arahku. Melawan mereka adalah hal yang paling bodoh, tapi aku harus bagaimana. Aku sudah berteriak-teriak namun derasnya hujan merendam suaraku. “BERHENTI.”
Nafasku tersengal-sengal, jantungku berpacu dengan cepat dan udara dingin tidak bisa menembus tubuhku yang panas. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku, membuat kaki dan tanganku bergemetar. Pria berambut cepak di sisi kanan dan kirinya menghampiriku dengan perlahan, dia tampak tidak jahat namun wajahnya tetap saja menyeramkan.
“Tenanglah nak, mari ikut bersama kami” Pria itu mengulurkan tangannya, aku menggeleng dan terus mundur sampai terimpit tembok. Mereka buka orang baik, jika mereka baik, tidak mungkin mereka membunuh Ibuku. “Negeri kita membutuhkanmu nak”
“Pergi!!” Aku menghempaskan tangannya. Nafas dan jantungku masih belum normal, aku tidak mempunyai keahlian apa pun dalam bela diri. Dan juga mereka memiliki senjata. “Aku tidak kenal kalian, Pergi!!.”
Mereka bertiga saling melirik, entah apa yang mereka rencanakan yang pasti aku sangat takut dan panik. Aku hannyalah anak kelas 1 SMA, bahkan aku belum belajar apa pun di sekolah.
“Jangan takut, kami di sini hanya menjemputmu” Dari derasnya hujan, aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas. Pria itu mendekat dan menarik tanganku dengan paksa. “Si pelayan memang kurang ajar.”
“TOLONGG!!” Teriakku yang terus melepas tanganku dari tangannya. Tidak ada orang, ini hanya gang kecil yang kosong, di tambah derasnya hujan yang merendam suaraku. Akankah aku juga ingin di bunuh, tapi kenapa, aku rasa selama ini aku dan Ibu hidup dengan bahagia tanpa mempunyai musuh sekali pun.
Pria dewasa berkepala botak mengeluarkan sebuah cincin hitam dari sakunya. Cincin itu di lempar, tak lama ketika cincin itu mendarat di tanah. Cincin itu membesar berdiameter 1 meter, dengan lingkaran hitam di tengahnya. Mereka mencoba menarikku ke arah sana, satu Pria berkepala botak itu sudah lebih dulu meloncat dalam lingkaran tersebut.
Aku menangis, aku sudah mencoba memukul dan menggigit tangannya namun hasilnya nihil. Mereka menarikku dengan keras, aku rasa tanganku sudah merah akibat tarikannya. Sepertinya aku akan di culik, apa yang mereka inginkan dariku. Aku hanya anak 15 tahun yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Ya, aku hanya sebatang kara di dunia yang kejam ini. Entah bagaimana hidupku nantinya.
“BERHENTIII” Teriakan itu berhasil langkah Pria dewasa ini berhenti. Dengan baju seragamnya yang basah dengan dua kancingnya yang terbuka, siapa lagi kalau bukan Eri. “Lepaskan Tina dari tangan kotormu itu.”
“Siapa lagi bocah ini, Max urus dia” Pria berambut cepak ini kembali menarikku, sedangkan pria botak itu berjalan mengarah Eri, sepertinya dia siap menghabisi Eri sama seperti Ibu.
Dengan gagah berani, Eri menyiapkan tinju di tangannya. Tidak mungkin dia bisa menghajar pria botak yang besar itu, tubuhnya saja kalah jauh. Bahkan sebelum Eri bisa memukulnya, aku yakin dia kalah lebih dulu. Namun pemikiranku salah. Entah kekuatan dari mana dia bisa mengambil balik kayu yang jauh darinya dan mengarahkan ke pria kepala botak yang bernama Max itu.
Pria berambut cepak melepaskan tanganku, dia terlihat terkejut melihat Eri. Sedangkan aku yang masih terkejut melihat Eri, memilih berlari ke arah Eri. Dia tersenyum padaku, si preman ini ternyata manis juga ketika tersenyum. “Kamu baik-baik saja?.”
Masih terkejut dengannya kenapa dia di sini, lalu bagaimana dia bisa mengajar balok kayu di depan sana tanpa menyentuhnya dan berbicara ‘Aku-Kamu’. Entah ada apa dengannya namun aku sangat berterima kasih padanya telah datang dan menyelamatkanku dari orang-orang berbaju hitam.
Pria berambut cepak dan Max maju melawan Eri, mereka mengeluarkan senjata mereka yang telah di gunakan untuk membunuh Ibuku. Aku yang lemah ini mundur perlahan, aku tidak memiliki senjata atau kemampuan seperti Eri.
Dor Dor
Aku menutup kupingku, aku sangat khawatir pada Eri. Walaupun dia sangat lihai menghindari tembakan-tembakan, tapi tetap saja dia hanya anak kelas 2 SMA. Dia hanya tukang memalak dan membuat onar, dia sangat, sangat tidak mungkin mengalahkan dua orang tersebut.
Eri mengerahkan tong sampah pada Max namun dia berhasil menghindar. Suara-suara tembakan kembali bergema di balik derasnya hujan. Aku sangat khawatir, tapi aku ingat sekarang. Di sekolah tadi ada asap hitam yang mengelilingi tubuhku dan menggerakkannya. Mungkin itu bisa di gunakan untuk menghajar dua pria ini, tapi aku tidak tahu caranya.
“Max sudah cukup” Pria berambut cepak itu menghentikan tangan Max yang ingin menarik pelatuk pistolnya. “Di sini kita hanya membawanya, bukan bertarung dengan keturunan Aries, jangan sampai negeri kita mempunyai konflik dengan mereka.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments