Malam harinya, Dion terbaring dalam kamar yang dingin. Di bawah temaramnya lampu tidur Dion sedang berbicara pada dirinya sendiri. Anak itu bertanya-tanya, kenapa matanya terasa begitu gatal? Kenapa penglihatannya semakin menyempit pada bagian kiri. Dan anak itu juga berbicara pada boneka lebah miliknya, kenapa dahinya terasa sakit jika tak sengaja tersentuh tangan.
Lalu kemanakah Bi Nung? Jawabannya adalah soal peraturan rumah. Peraturan tersebut mengatakan jika Dion tidak boleh di temani ketika malam hari. Sekitar pukul 10 malam ke atas Dion harus di biarkan sendiri. Dengan alasan kemandirian.
"Uhuk..uhuk..uhuk.."
Dion gelisah di atas tempat tidurnya. Matanya mulai membengkak mengeluarkan air yang gatal. Karena hal itulah kadang Dion lupa mengucek mata sampai dia berteriak sendiri karena perih. Kemudian anak itu menangis sebentar untuk meredakan rasa perih tersebut. Lalu berhenti perlahan-lahan kemudian terlelap. Tanpa Dion tahu, ada perih lainnya yang bersembunyi di balik pintu.
Setelah memastikan Dion betulan terlelap, Vino masuk membawa serangkaian peralatan tidurnya dan juga segenap kasih sayang untuk Dion yang malang. Hatinya yang tersayat segera merengkuh tubuh anaknya. Membawanya pada titik nyaman yang ia punya.
Vino membersihkan bagian mata Dion yang terus mengeluarkan cairan. Ia memberi obat disana. Menciumnya di titik bagian yang Dion keluhkan sakit. Vino bukanlah boneka lebah yang teronggok di samping Dion, tetapi dia tahu apa saja yang anak itu keluhkan hingga membuatnya terlelap setelah menangis.
Di dalam pelukan sang Ayah, Dion tersenyum samar.
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Ketika Bi Nung masuk ke dalam kamar Dion, wanita paruh baya itu berteriak. Sesuatu yang membuatnya kaget juga menimbulkan kabut pada bola matanya. Rinai air mata akan turun sebentar lagi. Sementara bocah yang dilihat Bi Nung hanya terpaku dalam duduknya. Memandangi Bi Nung dengan mata yang hampir rapat tanpa ringisan.
"Nenek kenapa?" Kata seorang anak yang sedang di tangisi Bi Nung.
"Ini kenapa mata Aden jadi kaya begini? Kita ke rumah sakit aja ya."
"Iya, tapi kenapa Nenek nangis?"
"Nenek nggak tega lihat mata Aden. Sakit ya?" Bi Nung mengelap area sekitar mata Dion yang sedang tidak baik-baik saja. Sama persis apa yang dilakukan Vino semalam.
"Gatal aja Nek, yang sakit itu ini." Dion menunjuk bagian kening tepat diatas mata yang sedang mengalami pembengkakan.
"Oh, kok ada benjolan gini ya? Sejak kapan Aden kaya gini? Perasaan semalam belum ada." Bi Nung semakin cemas. Ia bergegas menghubungi Mang Karjo untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit.
"Nung, ada apa dah romannya lu tepon gua panik amat?" Mang Karjo menodong pertanyaan pada Bi Nung yang sudah menggendong Dion. Karena di sambungan telepon tadi, Bi Nung hanya mengatakan kalau Mang Karjo harus standby sebab mobil akan di gunakan.
"Ke rumah sakit Jo. Tuh lihat anak kita matanya. Teu tega pisan ningalina."
"Astaghfirullah... Lah iya itu Nung." Mang Karjo berkaca-kaca. Sama seperti Bi Nung, Mang Karjo pun tidak tega melihat kondisi Dion seperti itu.
"Mang Karjo udah makan belum?" Tanya Dion sambil nyengir.
"Ya ampuun Nung, nih bocah malah nanyain gua udah makan ape belom. Bikin gua jadi pen nangis aja da ah." Mang Karjo mengelap air matanya dengan ujung lengan pendek seragam supirnya. Tidak puas dengan itu Mang Karjo meminta selembar tissu pada Bi Nung untuk mengelap ingusnya.
"Kok Mang Karjo malah nangis juga Nek? Dion jadi bingung kenapa orang-orang pada nangis ya? Nenek, Mang Karjo, dan semalam Papa. Padahal Dion kan nggak jahat."
"APA!" Kompak Bi Nung dan Mang Karjo.
"Iya kan Nek. Iya kan ya. Dion nggak jahat kan? Iya kan Mang?" Dion memastikan sekali lagi. Sebab kiranya Dion Bi Nung dan Mang Karjo berkata 'apa' pada sebuah pertanyaan. Bukan sebuah pernyataan terkejut.
"Maksudnya semalam Papa nangis itu gimana Den?" Bi Nung bertanya yang juga mewakili pertanyaan Mang Karjo.
"Papa tidur sama Dion, terus meluk aku sambil nangis. Kaya gini" Anak itu memperagakan kejadian perkara semalam. Ia memeluk Bi Nung dengan tangan kecilnya merambati pipi kemudian mata wanita paruh baya itu. Memberikan usapan lembut disana persis apa yang dilakukan Vino semalam.
"Tapi Dion nggak berani ngelap air mata Papa, takut di marahin." Mata sebelahnya yang masih terbuka lebar berbinar, seakan memberitahukan bahwa Dion teramat senang.
"Nek mata aku gatel." Lanjutnya, sudah keluar dari tema Papa.
"Jangan di kucek Den. Sini Nenek bersihin dulu ya." Dion mengangguk. Sementara Mang Karjo lebih memilih mepet-mepet pada Bi Nung untuk sekedar berbisik.
"Nung, kok berasa lagi mimpi ya denger cerita anak Pak Bos?" Mang Karjo mengutarakan apa yang dia rasakan.
"Saya juga sama Mang. Manaan..."
"Hiks..hiks..hiks..huhuhu" Dion membuat satu rumah kelimpungan. Tidak hanya Bi Nung dan Mang Karjo saja, semua jajaran asisten rumah tangga dari masing-masing bagian turut cemas melihat Dion menangis sesegukan dengan kondisi yang memprihatikan.
"Lah Nung, gimane ini? Malah sekarang jadi bos kecil yang nangis."
Lha piye Iki Mang, Bi Nung.
Ya ampun, Aden Dion kenapa ini?
Cup..cup..cup.. Den Dion kenapa nangis?
Di tengah riuhnya keadaan rumah, Dion tahu-tahu berhenti menangis. Yang tadinya anak itu dalam gendongan Bi Nung kini sudah berpindah dalam dekapan Mang Karjo. Dion di arak seperti pengantin sunat yang sedang naik odong-odong keliling kampung. Merupakan ide Mang Karjo untuk mendiamkan tangisan Dion Rasdiansyah.
"Mang Karjo udah makan belum? tadi pertanyaan Dion belum di jawab."
Walaaaah, ingatan Dion tidak bisa diremehkan. Bukan hanya Dion, ingatan para bocil se nusantara tidak bisa di abaikan.
"Hehe iya ya. Tadi Mang Karjo panik jadi gak jawab pertanyaan Aden. Mamang udah makan kok. Tuh lihat, Mamang abis makan bayam jadi kuat begini." Mang Karjo memarkan ototnya yang tidak seberapa. Alih-alih gundukan otot nan gagah, apa yang di pamerkan Mang Karjo lebih mirip kutil.
Dion tergelak. Sama dengan orang-orang sekitarnya yang turut tergelak bersama. Habis menangis kemudian tertawa sudah menjadi hal lumrah disini. Tidak apa-apa. Setidaknya itu lebih baik daripada memberi sebuah penghiburan dengan kebohongan.
"Aden tadi kenapa nangis kejer? Nenek ngelap matanya terlalu kuat ya? hampura. Maafkan Nenek yang ceroboh ini."
"Nggak Nek. Dion bukan nangis karena sakit."
"TERUS?" lagi-lagi mereka perpaduan suara.
"Dion nangis karena terlalu senang. Papa mau tidur sama Dion. Papa juga mau peluk Dion dan usap kaya gini. Hehehe" Dion ceria kembali sama seperti biasanya. Bahkan lebih berbinar dari hari-harinya yang suram.
.
.
.
.
Bersambung....
Kalau Papa mau peluk aku jika mataku sedang terluka, nggak masalah. Aku rela mata ini tertutup dua-duanya asal aku dapat pelukan Papa.
Dari Dion, untuk Papa terhebat.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
FT. Zira
masih pagi pada heboh😅
2024-03-21
1
FT. Zira
Aaa..??? aku gak paham..
2024-03-21
1
FT. Zira
Vino sebenarnya sayang. tpi bersikap gak peduli
2024-03-21
1