Diya terus memandangi langit sore kala itu. Tak terasa air matanya menetes lembut. Diya memang suka menatap langit sore hari dan berangan sedang apa Adit di sana, di bawah langit Jakarta. Namun rasanya saat ini dia sudah tak peduli sedang apa dan dengan siapa Adit di sana. Walaupun dada masih terasa sesak namun mau tak mau, bisa tak bisa, dan suka tak suka dia harus melupakan sang mantan.
Diya mulai menyibukkan diri untuk melupakan patah hatinya. Diya mulai belajar lebih tentang hal-hal untuk membuat bisnisnya maju. Perlahan dia mempraktikkan strategi digital marketing yang dipelajari lewat youtube, dan sambil menunggu orderan masuk, maupun menunggu baju-baju yang sedang diproduksi oleh penjahit-penjahitnya hingga siap kirim, Diya juga mulai mencari penghasilan tambahan dengan menulis. Setelah dia tahu ada tempat daring yang bisa menghargai tulisan fiktifnya.
Saat mencari inspirasi dan ide untuk tulisannya, tak jarang Diya mengerjakannya di luar rumah walaupun sekedar di taman dekat rumahnya, agar pikiran tak sumpek karena bisa melihat hiruk pikuk perkotaan. Dan kala itu, Diya sedang ingin mengerjakannya di kafe. Kafe yang memang sering dijadikan tempat orang-orang untuk bekerja atau yang saat ini ramai disebut work from cafe atau WFC.
Di dekat meja Diya, tampak seorang laki-laki dengan tubuh proporsional, rambut dan pakaian yang rapih, dan sekilas tingkat ketampanannya tak jauh beda dari Adit. Dia tampak sedang kebingungan sambil memegangi perutnya. Lalu laki-laki itu melihat Diya yang juga sedang memperhatikan tingkahnya. Sambil menghampiri Diya dengan sedikit berlari, lelaki itu mengatakan,”Mbak, titip laptop sebentar ya, saya mau ke toilet.” Dengan muka yang masih melongo melihat tingkah si lelaki itu, Diya menganggukkan kepalanya.
Tak lama lelaki itu kembali menghampiri Diya dan mengucapkan terimakasih sambil meletakkan segelas es kopi ke meja Diya.
“Sebagai ucapan terima kasih sudah mau menjaga barang-barang saya, soalnya tadi bingung beresinnya karena udah kebelet banget hehe,” terang laki-laki itu.
“Oh, gak papa Mas, tidak perlu repot-repot. Tapi terima kasih untuk kopinya,” jawab Diya dengan senyum.
“Saya boleh ikut 1 meja di sini mbak?” tanya laki-laki itu.
“Silakan Mas,” jawab Diya sambil meminggirkan barang bawaannya yang berantakan.
Laki-laki tersebut membereskan barang-barang di meja sebelumnya lalu memindahkan ke meja Diya. Ya, karena meja Diya memang diperuntukkan untuk dua hingga tiga orang.
“Saya Putra,” ucap lelaki itu dengan menyodorkan tangan kanannya pada Diya.
“Diya,” respon Diya memperkenalkan diri sambil membalas tangan Putra.
“Lagi WFC ya?” tanya Putra
“Saya lagi nulis aja Mas, kebetulan saya freelance, kalo Mas lagi WFC ya?” jawab Diya dan berbalik bertanya.
“Wah hebat dong freelance writer. Saya iya, lagi WFC. Sering kesini ya?” imbuh Putra.
“Gak sih ini pertama kali kesini, karena saya baru juga mulai nulisnya,” jawab Diya.
“Kalo Mas, udah sering kesini?” tanya Diya lagi.
“Kemarin kesini, sekarang kesini lagi. Baru dua kali berarti ya hehe. Rumahnya mana Diy?” tanya Putra.
“Aku dekat Mas, di Malang sini aja, gak jauh dari sini. Kalo mas Putra rumahnya dimana?” tanya Diya ingin tau.
“Aku lahir dan besar di Malang, tapi saat masih sekolah pindah Jakarta karena ayahku kerja di sana. Kalau lagi ke Malang aku tinggal di rumah eyang,” jawab Putra jelas.
“Oh, jadi Mas Putra kerjanya juga di Jakarta, lagi cuti ya sekarang?” tanya Diya.
“Ya begitulah. Ada yang harus diurus di sini,” jawab Putra.
“Ohya, Diy, kamu kelahiran tahun berapa hehe jangan panggil Mas lah kayaknya tua banget saya haha,” pinta Putra.
“Eh sori-sori, karena baru kenal jadi sungkan kalau panggil nama langsung, hehe. Aku 93, kamu?” jawab Diya.
“Oh benar berarti harus panggil Mas karena aku 90 haha,” jawab Putra sambil tertawa.
“Eh tapi panggil Putra aja lah Diy, biar kayak teman-teman gitu,” imbuh Putra.
“Haha oke oke Put,” respon Diya.
“Kamu cuti sampai kapan Put?” tanya Diya.
“Minggu depan Diy,” jawab Putra.
“Lumayan lama ya Put. Banyak urusan ya disini?” tanya Diya sambil berfikir membandingkan dengan sang mantan yang tidak pernah ambil cuti selama itu untuk menemui dirinya.
“Ya begitu deh Diy, aku bisa kerja dari mana saja sih sebenernya, sama kayak kamu. Cuma kadang memang harus datang ke kantor untuk meeting atau sekedar laporan,” terang Putra.
“Oh gitu,” jawab Diya sambil menggangguk.
“Kamu full nulis Diy?” tanya Putra penasaran.
“Aku urus bisnis juga Put, ada merk sendiri. Cuma memang baru juga jadi belum begitu berkembang. Masih merintis hehe. Masih kecil banget. Banyak perjuangannya hahah,” jelas Diya.
“Wah hebat kamu Diy. Ya kalau kecil mah kita juga dari lahir gak langsung besar seperti ini kan. Bayi dulu haha,” ucap Putra.
“Awalnya karena semenjak lulus kuliah susah dapat kerja, sampai beberapa tahun tes-tes terus gak pernah lolos. Akhirnya begitu ada modal sedikit aku bikin usaha ini biar sekalian bisa jaga orang tua aku yang tiap bulan harus kontrol. Kalau aku tinggal kerja kayaknya kasian nanti gak ada yang nemenin. Terus sekarang mau mencoba cari penghasilan tambahan ya kali aja bisa dapet dua dijit kan hehe,” imbuh Diya bercanda.
“Keren kamu Diy. Salut aku. Ngomong-ngomong kalo boleh tau orang tua kamu sakit apa? Kamu gak ada adek atau kakak Diy?”
“Aku anak tunggal Put. Mereka gak bisa kalau harus pesan taksi online. Ibuku juga gak bisa naik motor. Ayahku juga udah terganggu penglihatannya jadi kalau harus nyetir atau naik motor ke rumah sakit yang harus lewatin jalan besar, kita khawatir juga. Kalau sakit sebenarnya bukan sakit yang parah banget begitu sih cuma memang harus kontrol aja untuk memantau kesehatannya. Ada obat dengan resep dokter yang harus selalu diminum juga jadi gak boleh berhenti biar gak jadi parah,” jelas Diya.
“Hmm oke-oke. Hebat loh kamu Diy, sungguh. Takjub dengar cerita kamu. Sukses ya Diy bisnis dan tulisan kamu,” respon Putra.
“Makasih ya Put. Kamu sendiri full time kerja di Jakarta?” tanya Diya.
“Ya, pegawai full time hehe cuma enaknya memang di kantor aku gak yang harus selalu di kantor, yang penting kerjaan selesai,” jawab putra.
“Oiya Diy, boleh minta nomer hp gak, ya lumayan buat tambah-tambah relasi baru. Apalagi kan kamu pebisnis dan penulis nih jadi ya kalau suatu saat aku butuhin kamu untuk saling berbagi atau apa begitu kan enak diskusinya hehe. Eh tapi kalau kamu berkenan ya Diy, kalau enggak juga gak apa-apa, karena itu kan hak privasi,” ucap Putra.
“Boleh kok Put, aku juga seneng bisa tambah teman, nanti kalau kamu ke Malang boleh loh kita ketemu dan mengobrol lagi,” jawab Diya sambil menyodorkan hp nya ke arah Putra.
“Wah iya benar, enak juga mengobrol sama perempuan hebat kayak kamu. Terima kasih ya Diy,” balas Putra.
Beberapa menit kemudian, hp Diya berbunyi pertanda ada pesan masuk.
Simpan nomerku ya, Putra.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments