“Apakah kamu gugup, Clara?” tanya Ansel tatkala dia melihat keponakannya yang tidak bisa berhenti meremas ujung rok sekolahnya.
Gadis berambut panjang bergelombang itu menoleh ke arah paman angkatnya, kemudian mengangguk. “Aku takut kalau aku tidak bisa mengerjakan soal-soal dengan baik,” balas Clara lalu menghela napas panjang.
Hari ini adalah hari pertama ujian kelulusan Clara. Ilmu yang telah Clara cari selama tiga tahun terakhir akan terlihat hasilnya setelah dia berhasil menjalani ujian kelulusan. Gadis itu merasa sangat gugup bukan karena dia tidak yakin dengan kemampuannya, hanya saja dia takut kalau tiba-tiba dia lupa dengan materi-materi yang telah dia pelajari semalam suntuk.
“Tidak perlu khawatir, Clara. Aku yakin kalau kamu pasti bisa mengerjakan semuanya dengan baik. Bukankah selama ini kamu selalu menjadi juara di kelas?” tanya Ansel.
“Aku tahu, Om. Tapi ....”
“Tapi apa?”
“Murid-murid lain juga pasti belajar lebih keras lagi untuk ujian ini,” ucap Clara. “Rasanya sangat menakutkan saja karena aku merasa kalau kali ini sainganku jadi semakin berat.”
Lagi-lagi Ansel terkekeh geli. “Tidak perlu takut, Clara. Meskipun teman-temanmu juga belajar dengan keras, aku yakin sekali kalau kamu akan berhasil.” Melihat sang keponakan yang tampak masih sangat gugup, Ansel lantas mengoreksi ucapannya, “Begini saja, kalau kamu gugup, kamu jangan berpikir siapa yang akan menjadi juara satu. Cukup pikirkan bagaimana caranya kamu harus menyelesaikan ujian dengan baik.”
Clara mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Ansel. Namun, ketika dia mencoba melakukan seperti apa yang diinstruksikan oleh Ansel, dia malah semakin pusing.
“Aku malah jadi semakin gugup, Om,” ucap Clara.
“Hm ....” Ansel mengusap-usap dagunya, memikirkan cara supaya Clara tidak gugup lagi. “Om punya ide. Bagaimana kalau kamu memejamkan matamu sambil menarik napas dalam-dalam. Pikirkan saja kalau yang ada di ruang ujian hanya dirimu dan pengawas. Kamu tidak perlu takut memiliki saingan atau tidak bisa mengerjakan soal. Kamu harus berpikir kalau kamu adalah satu-satunya yang terbaik.”
Clara pun memejamkan matanya, membayangkan seperti apa yang dikatakan oleh Ansel. Ia tak lupa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Perlahan namun pasti, rasa gugup yang dia rasakan berangsur menghilang, digantikan oleh rasa percaya diri yang memenuhi pikirannya.
“Kita sudah sampai,” ucap Ansel, membuyarkan lamunan Clara. “Apakah kamu masih gugup?”
Gadis itu membuka matanya kemudian tersenyum. “Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih, Om!” ujar Clara kemudian mengecup pipi Ansel seperti apa yang biasa dia lakukan sebelum dia keluar dari mobil.
Ansel melambaikan tangannya kemudian memberikan isyarat kepada Clara supaya gadis itu bersemangat. Setelahnya, barulah Ansel melajukan mobilnya menuju ke kantornya.
Pria itu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Dia saat ini menjabat sebagai direktur utama menggantikan posisi Anton. Saat pertama kali Ansel mengambil alih perusahaan, banyak sekali orang yang meragukan kemampuannya sebab dia baru saja lulus SMA. Namun, delapan tahun kemudian terbukti kalau Ansel bisa memimpin sebuah perusahaan dan bahkan membuat perusahaan perkebunan tersebut berkembang semakin pesat.
Kalau saja orang tua Ansel masih hidup sampai detik ini, pastilah mereka akan bangga karena Ansel tidak hanya berhasil menjalankan roda bisnis perusahaan keluarga, namun Ansel juga berhasil membesarkan keponakan angkatnya sampai ia tumbuh menjadi gadis yang sangat pandai dan mandiri.
Memang betul kata orang kalau di balik sebuah bencana, pasti akan ada hal baik yang bisa dipetik. Dan Ansel menyadari jika banyak hal yang telah ia rasakan hikmahnya setelah kecelakaan maut yang merenggut nyawa Nia dan Anton delapan tahun lalu. Karena jika bukan karena kejadian itu, mungkin Ansel tidak akan menjadi pribadi yang kuat seperti saat ini.
Setibanya di ruang kerjanya, Ansel dikejutkan dengan kehadiran Ridwan yang sudah lebih dulu sampai. Ansel memicingkan matanya, kemudian menyapa sahabatnya itu.
“Tumben kamu pagi-pagi sekali sudah ada di ruang kerjaku,” ujar Ansel.
Ridwan menoleh. “Akhirnya kamu datang juga. Aku sampai jamuran gara-gara menunggumu, Ansel!” gerutu Ridwan.
Ansel berdecap. “Memangnya sudah berapa abad kamu duduk di sini? Kalau kamu tidak sabar ingin bertemu denganku, seharusnya kamu jemput aku di rumah,” cibir Ansel. “Dengan begitu, kan, aku tidak perlu repot-repot menyetir mobil.”
“Sialan!” umpat Ridwan kemudian tertawa renyah. “Kala aku tidak ingin memberitahu kamu tentang sebuah berita, aku pasti tidak akan datang ke ruang kerjamu pagi-pagi seperti ini.”
Ansel mengerutkan dahinya, bingung dengan maksud ucapan Ridwan.
“Memangnya berita apa yang ingin kamu ceritakan?” tanya Ansel kemudian duduk di kursi kebesarannya. Pria itu mulai menyalakan komputer dan memeriksa beberapa e-mail yang masuk.
“Kemarin ada laki-laki yang menembak Clara di sekolah. Kata Mira, sih, dengan cara yang sangat romantis,” ucap Ridwan. Dia mendengar berita tersebut dari Mira, adik iparnya yang tak lain adalah sahabat Clara di sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments