MAWAR UNTUK STARLA

“La, sepertinya Devan itu suka sama lo,” ujar Kiki membuka perbincangan saat keduanya baru tiba di kelas. Pagi itu mata kuliah Filologi dengan pertemuan yang pertama.

“Mana mungkin cowok itu mau sama aku. Dari segi manapun udah beda,” sahut Starla. Kiki berdecak kesal. Starla terlalu pesimis dengan kehidupannya.

Soal kejadian dua malam yang lalu di Cafe, Kiki bisa mengambil kesimpulan bahwa Devan tertarik pada sahabatnya. Kiki pun mengetahui kabar itu dari Lany, teman masa kecil Starla yang juga sangat akrab padanya.

“Tapi, Devan itu punya pacar,” kata Kiki lagi.

“Pacar?” Starla membeo.

“Iya. Katanya mereka satu angkatan dan anak Sastra juga.”

“Kalau Devan fakultas apa?”

Kiki mengulum senyum. “Fakultas management bisnis, sama seperti Yehezkiel.”

“Kalau dua curut lagi?” tanya Starla.

“Oh, yang berdua itu anak Teknik. Darren dan Juna.”

Starla mengangguk paham, kemudian duduk dibangkunya. Kiki kembali sibuk dengan buku Filologi miliknya.

Kelas mulai ramai didatangi para mahasiswa, kata beberapa teman-teman yang baru masuk ada beberapa anak semester atas yang akan mengulang juga pada mata kuliah Filologi.

Starla dan Kiki asyik dengan dunia masing-masing, Starla sibuk memberi pesan pada Ibunya.

Bragh…

Kiki terlonjak. Bagaimana tidak, gebrakan meja itu persis di meja miliknya dan Starla. Sedangkan Starla nampak biasa saja.

"Bisa cari tempat lain nggak?" tanya gadis berambut pendek itu.

Starla menyerngit. "Maksudnya cari tempat lain? Ehm, maaf. Aku dan sahabat aku ini kelasnya disini, dan dari awal kita masuk, kirain dan meja ini sudah kita tempati."

Sheren. Gadis itu tersenyum sinis padanya. "Lo Maba disini. Sebelum lo duduk disini, gue yang lebih awal. Paham lo!" tukas Sheren.

"Terus menurut kamu, karena aku Maba disini, aku harus nurutin kemauan kamu?"

Kelas yang tadinya bising mendadak hening, hanya suara kedua gadis itu yang memenuhi ruangan. Kiki diam tak berani membantah. Dasar Kiki cupu.

"La, udah. Jangan diterusin," bisik Kiki, sangat pelan. Bahkan Starla nyaris tak mendengar suaranya.

"Lo berani sama gue?!" hardik Sheren.

"Selama aku benar, aku nggak akan pernah takut. Maaf, aku nggak punya waktu buat meladeni kamu," ucapan Starla.

"Bangun lo!" pekik Sheren yang sudah berapi-api. Berani sekali Maba satu ini padanya.

"Tempat aku disini," tandas Starla.

"Lo!"

"Jangan pernah main tangan sama aku!" tekan Starla, tangan kanan nya menahan pergelangan tangan Sheren yang hampir menamparnya.

Sial. Tidak ada sejarahnya Sheren dilawan seperti hari ini. Lalu gadis ini, hanya dia yang bisa melawan Sheren.

"Ada apa ini?" Suara pria tua dari ambang pintu memutuskan tatapan maut dua gadis itu.

Starla pun melepaskan cengkramannya dari tangan Sheren. "Nggak ada apa-apa, Pak."

"Urusan kita belum selesai," bisik Sheren didepan wajah Starla. Gadis itu lalu keluar tanpa mengikuti mata kuliah Filologi.

***

"Kalau mau cari lawan usahakan yang sejenis Diva dan Icha."

Sheren menoleh, mendapati Yehezkiel tengah duduk di meja seberangnya.

"Maksud lo apa, El?"

Yehezkiel terkekeh. "Lo salah kalau mau senioritas sama cewek itu."

"Lo kenal dia?" tanya Sheren.

"Sama kita aja dia berani, apalagi sama lo," cibir Yehezkiel.

"Wait. Gue nggak ngerti maksud lo apa!"

Yehezkiel beranjak dari kursi, bersiap keluar dari laboratorium Bahasa ketika melihat kekasihnya sudah selesai konsultasi.

"Tanya sama Azlan Devandra."

Sheren belum paham maksud Yehezkiel. Tanya pada Devan? Apa mungkin Devan kenal gadis itu?

***

"Sayang?"

Yang dipanggil tak kunjung menyahut, padahal sudah mendengar suara kekasihnya. Gadis yang sudah menemaninya selama satu tahun.

"Dev, aku tahu kamu dengar aku. Kamu dimana sih?"

Sheren datang ke apartemen Devan. Sejak semalaman Devan memang mengatakan padanya bahwa ia tidur di sana.

Sialnya Devan lupa mengganti password pintu.

"Kenapa?" Devan turun dari lantai dua. Itu sebenarnya apartemen milik Papinya, namun sudah atas nama Devan.

Karena apartemen itu sudah cukup lama sejak awal pernikahan nya dengan Helsa, Adryan meminta direnovasi besar-besaran karena untuk anak sulungnya. Jadilah apartemen itu terlihat seperti baru. Termasuk semua furniture diganti.

"Kunjung pacar aku salah memang?" Sheren balik bertanya.

Devan tak menjawabnya. Ia langsung menuju dapur, mengambil dua minuman kaleng bersoda dan memberikan satunya untuk Sheren.

"Di dapur lagi nggak ada makanan ataupun bahan masakan. Kalau lo pengen makan, delivery," ujar Devan, sangat ketus.

Sheren. Gadis itu hanya memperhatikan Devan. Entah kenapa, kekasihnya seperti berubah sejak dua bulan terakhir. Sheren merasa jauh dari Devan. Lo-gue? Itu juga yang Sheren dengar akhir-akhir ini ketika mereka berbincang.

"Aku punya salah sama kamu?"

"Bangsat," batin Devan.

"Dev, kamu sakit?" tanya Sheren.

"Gue mau istirahat. Lo boleh pulang," ketus Devan.

Sheren membanting minumannya. "KAMU NGUSIR AKU?"

"AKU SALAH APA SIH SAMA KAMU?"

"Menurut lo?"

Sheren hampir menangis karena dengan santainya Devan berbicara.

Sebenarnya kedatangannya selain untuk berkunjung Devan, Sheren ingin bertanya perihal perkataan Yehezkiel siang tadi. Tapi Devan malah bersikap acuh padanya.

Devan beranjak dari sofa, kemudian membuka pintu. “Silahkan kalau mau keluar.”

Sheren menghampiri Devan, kemudian memeluk laki-laki itu dengan sangat erat. “Aku sayang kamu, Dev. Jangan seperti ini. Aku mau kita yang dulu.”

“Pulang, gue mau istirahat.” Melepaskan pelukan itu, tatapan mereka bertemu. Tersirat kerinduan yang begitu besar dari mata Sheren.

“Aku pulang,” ujar Sheren. Raut wajah putus asanya membuat Devan tak tega. Biar bagaimanapun, Sheren adalah kekasihnya.

“Eren,” panggil Devan.

Sheren menoleh. “Gue antar pulang.”

***

“Assalamualaikum. Bu, Starla pulang.”

“Waalaikumsalam,” balas Devita, wanita itu baru saja dari kamar. Starla mencium punggung tangan Ibunya.

“Sudah makan malam, Bu? Starla bawakan makanan, lumayan malam ini Starla dapat tip besar dari customer tetap toko bunga. Pria itu baik sekali,” ucap Starla mengingat pria dewasa yang curhat padanya tadi.

“Ibu menunggu kamu tentu saja. Sini biar Ibu siapkan makanan nya. Kamu mandi sana,” suruh Devita.

Starla mengangguk.

“La, tadi ada kurir yang mengantar buket bunga untuk kamu,” kata Devita.

“Buket bunga, Bu?”

“Iya, Ibu simpan di kamar kamu. Bunganya masih sangat segar,” jawab Devita.

Dengan cepat Starla masuk ke kamar, melihat sebuah buket bunga berukuran sedang diatas ranjang.

Mawar merah.

Starla tertegun. “Cinta. Sebuah ekspresi cinta kepada seseorang.”

***

Sun Flower. Salah satu tokoh bunga terbesar yang menjadi ladang uang untuk Starla, setelah Hello You Cafe. Gadis itu memang bekerja di dua tempat. Untungnya, Starla bisa membagi waktu untuk pekerjaan dan juga kuliah. Pemilik toko bunga sendiri adalah sahabat Devita, Ibunya. Jadi, Starla sudah bekerja disana sejak ia duduk dibangku kelas dua SMA.

Starla sendiri menjadi tulang punggung keluarga sejak SMA. Devita memiliki penyakit asma yang memang sudah tidak memungkinkan untuk bekerja.

Ting..

Bunyi lonceng pada pintu utama toko mengalihkan perhatian Starla. Pria dewasa berkemeja putih menghampirinya. Starla tersenyum, ia kenal baik pria itu. Salah satu customer yang selalu membeli bunga di tanggal 30.

“Seperti biasa?” tanya Starla.

“Kali ini mix mawar merah,” ucap pria itu.

“Baik. Sembari menunggu, Bapak bisa-”

“Menurut kamu, apa wajah saya sudah tidak tampan? Apa ada keriput yang sangat terlihat?” tangkas pria itu sebelum Starla melanjutkan ucapannya. “Anak-anak saya selalu mengatakan bahwa saya sudah tua. Padahal masih kepala empat.”

Starla mengulum senyum. “Bapak masih tampan, dan juga romantis.”

“Hm, terima kasih. Andaikan anak gadis saya seperti kamu. Dia selalu mencela saya.” Yah, malah curhat orang tua ini.

Sambil mendengar cerita itu, tangan Starla dengan telaten menyiapkan buket bunga untuk customer tersebut. Sesekali Starla tertawa mendengar omelannya. Pria itu menceritakan pasal istrinya yang suka cemburuan.

“Udah siap,” ucap Starla. Mawar putih yang di mix mawar merah terlihat sangat cantik.

Pria itu mengambil debit card dari dompet dan memberikan pada Starla.

“Total semuanya dua ratus lima puluh ribu,” kata Starla lalu mengembalikan debit card dan juga nota belanjaan itu.

“Ini tip untuk kamu yang sudah mendengarkan curhatan saya malam ini dan juga tangan kamu yang selalu terampil mempercantik Bunga ini.” Pria itu memberikan lima lembar uang berwarna merah pada Starla.

“Terlalu banyak Pak,” sanggah Starla. Pria itu berlalu meninggalkan Starla. Astaga, iseng-iseng berhadiah ini mah. Hanya mendengar curhatan saja langsung diberikan uang sebanyak itu.

“Semoga pernikahan bapaknya abadi seperti lambang bunga mawar itu,” gumam Starla, kemudian kembali bekerja lagi.

Ting..

“Apa ada yang ketinggalan, Pak?”

Starla mendelik. Kali ini laki-laki berpakaian serba hitam yang mengunjungi toko bunga.

“Kamu?”

“Kayaknya kita jodoh deh,” ucapnya.

Starla berdecak, kenapa juga Devan harus masuk toko ini. Seperti tidak ada toko lain saja. Eh nggak boleh nolak rejeki, La.

“Ngapain kamu kesini?” tanya Starla.

“Main futsal,” celetuk Devan.

“Disini toko bunga, lapangan futsal seratus meter dari sini,” kata Starla.

“Ya menurut lo, gue ngapain kalau udah disini?”

Starla tertegun. “Kamu ngikutin aku, ya?”

“Siapa lo, gue harus ngikutin?”

Starla berdecak kesal, lebih baik cepat-cepat melayani pembeli satu ini. Starla capek harus berurusan dengan laki-laki mesum ini.

“Mau bunga yang mana?” tanya Starla.

“Mawar merah,” jawab Devan.

Starla mempersilahkan Devan untuk menunggu beberapa menit. Devan meminta agar buket itu harus rapi dan cantik. Mungkin untuk kekasihnya, pikir Starla.

“Lo tahu nggak makna mawar merah?” tanya Devan.

“Cinta. Sebuah ekspresi cinta kepada seseorang.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!