“Mas.” Seorang pria berusia kepala tiga memasuki rumah besar dengan langkah tegas dan menghampiri pemuda yang sedang meneguk orange jus di ruang tengah.
“Berhasil?” tanya pemuda itu to the point.
Geovano- pria lajang yang sudah bekerja selama lima tahun bersama keluarganya, dan juga menjadi kaki tangannya itu menyeringai. Ia mengeluarkan satu amplop coklat sedang dan memberikan pada anak dari atasannya.
“Good. Lo bisa langsung cabut, jangan sampai ada yang lihat lo disini,” katanya memberi perintah. Tidak ada satupun dari keluarganya yang mengetahui kerja sama mereka.
“Oh, dan satu lagi.” Ia menahan langkah Geovano, “berhenti panggil gue Mas. Gue nggak suka!”
Geovano terkekeh, kemudian berlalu meninggalkan pemuda 22 tahun itu. Sudah hilang dari pandangannya, pemuda itu meraih amplop tadi dan membuka isinya.
Pandangannya jatuh pada wanita paruh baya pada foto disana.
“Like mother, like daughter.” Ia meraih ponsel dari atas meja, menekan beberapa nomor telepon yang tertera pada kertas di amplop itu.
“Selamat siang. Dengan Hello you Cafe, terima kasih sudah menghubungi kami. Ada yang bisa saya bantu, kak?”
“Reservasi untuk malam ini jam delapan, untuk 150 orang.”
“Oh, apa sudah melakukan reservasi dua hari yang lalu?” tanya seorang wanita yang seberang sana, “sesuai peraturan kakak hanya bisa mem-”
“Saya bayar tiga kali lipat,” tangkas nya sebelum wanita disana berbicara panjang lebar.
“Baik kak. Kami keep untuk malam ini. Atas nama siapa?”
“Devandra Brawijaya.”
***
“Gue mau lo dan lasagna malam ini.”
“Hah?” Starla mendelik dengan tatapan polos yang begitu menggemaskan.
“Temenin gue habisin Lasagna yang katanya terfavorit disini,” pungkas Devan.
“Tapi, aku disini-”
Tercekat, Starla merasa tenggorokannya ada gumpalan besar yang menahan lidahnya untuk kembali bicara. Devan sudah berdiri menjulang di hadapannya. Ia bisa mendengar dengan jelas tegukan liur dari tenggorokannya sendiri. Starla, jangan baper.
Suatu kejadian yang membuat Starla hampir berteriak saat itu juga, Devan melepaskan apron dari tubuhnya, dan berbisik tepat disamping telinga. “Kalau liur lo kebanyakan, sama gue ke Mawar Medika kita periksa kesehatan. Malu didengar orang.”
Semua yang disana hanya ada anak-anak Acme dan waiters di Cafe. Starla malu sekali dengan perlakuan itu. Dan sekarang Devan kembali duduk setelah berhasil melepaskan apronnya.
“Duduk!” perintah Devan, namun tidak Starla lakukan.
“Oh, mau gue pangku?” tanya Devan.
“Ok, saudara Yehezkiel dan Darren, sebaiknya kita bergabung pada meja utama disana,” ajak Juna sambil menunjuk meja panjang yang diduduki teman-temannya. Mengerti keadaan itu, mereka berpindah dan meninggalkan Starla dan Devan.
“Sheren buat gue,” bisik Darren pada Devandra sebelum meninggalkan meja itu.
Sedangkan Starla masih mematung di tempatnya. “Kalau lo nggak duduk, gue paksa dan langsung ke paha gue. Mau?”
“Iya, aku duduk.”
“Di paha gue?” goda Devan.
“Nggak. Aku duduk di kursi,” sahut Starla.
Devan mengangguk, “good girl.”
Devan tersenyum puas melihat Starla sudah duduk di depannya. Ia kemudian memanggil salah satu waiters.
"Lasagna dua. Orange jus satu, dan lo?"
Starla terkesiap. "Lasagna satu aja."
"Lo harus makan," ujar Devan.
"Tapi aku--"
"Diam daripada gue yang suapin lo," kata Devan.
Matanya kembali tertuju pada waiters itu. "Lasagna tetap dua. Minumnya orange jus dan milkshake rasa strawberry."
Starla memperhatikan Devan dengan seksama. Apa ini hanya kebetulan dengan segerombolan anak muda yang memakai Cafe ini? Atau mungkin pekerjaan lelaki di depannya ini.
"Jatuh cinta baru tahu rasa lo," sindir Devan.
"Ehh-"
"Tapi, gue nggak doyan cewek tepos modelan lo. Kalau dipukul nggak enak," kata Devandra.
Devan bisa melihat raut wajah Starla menahan kesal.
"Terserah kamu. Aku juga mana mau cowok mesum kayak kamu," ketus Starla.
"Nggak jelas," imbuh Starla.
***
"Dari mana saja kamu?"
Saklar lampu tengah menyala. Devan tidak terkejut dengan suara itu.
"Mami nya Devan yang cantik belum tidur?" Devan balik bertanya.
"Mami nggak akan tidur sampai pacar kamu itu berhenti menghubungi Mami."
"Sheren kenapa lagi?" tanya Devan. Ia duduk disamping Helsa, oh lebih tepatnya sudah berbaring di paha sang Mami.
"Kalau udah ngerasa nggak cocok, jangan di lanjutin. Katanya ponsel kamu nggak aktif dari siang," ujar Helsa.
Wanita 38 tahun itu masih cantik dengan rambut panjang hitamnya. Mirip sekali dengan Devan.
"Nggak usah diladenin, Devan aja males," sahut Devan.
"Nggak usah dilanjutin kalo kamu udah nggak punya perasaan," sambung Helsa.
"Hmm." Devan memejamkan mata, menikmati jemari Helsa yang menyugar rambutnya.
"Mi, nikah muda enak?"
"Tergantung siapa pasangan kamu dan cara dia memperlakukan kamu," jawab Helsa.
"Papi masih mencintai Mami?"
"Kalau udah nggak, kamu dan Cemara bakal punya adik dari wanita lain." Helsa melihat ke arah tangga, suaminya turun dengan jubah tidur berwarna krem. Usia matang 45 tahun dengan guratan-guratan kecil pada wajahnya tidak mengurangi ketampanan dokter itu.
"Kirain udah nyenyak Mas," tukas Helsa.
"Istri nggak ada di ranjang gimana mau nyenyak?"
"Bucin," sinis Devan.
"Sirik aja," balas Adryan, memukul pelan pipi anak sulungnya. "Habis dari mana?"
Adryan mengambil tempat di samping istrinya, dan Helsa terhimpit oleh dua pria bertubuh besar itu.
"Devan habis ketemu seseorang."
"Selesaikan semuanya kalau kamu mau bertemu orang baru," sarkas Helsa yang mengerti kemana arah pembicaraan anaknya.
"Devan punya Cemara, Mi, Pi. Devan nggak mau apa yang Devan lakuin sama anak gadis orang, karma nya kena di adik Devan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments